BAB 9: Merasa Terancam
“Semangat sekali tadi malam,” kata suaminya Bu salma pada Ima saat mereka ngobrol bersama di depan rumah. Ima kaget. Perkataan seperti itu kan tidak patut. Hal seperti itu tidak baik dijadikan pembicaraan. Sepertinya dia memang tidak bisa milah-milah topik pembicaraan. Buk Salma tertawa saja.
Ima menanggapi dengan senyum saja.
Pria itu duduk dekat Bu De-nya. “Tapi kita tidak kalah kan ya,” katanya sambil melirik istrinya. “Hahahaha... Meskipun tua begini, mesinnya masih bagus. Tapi, kuat sekali aja,” tambahnya.
Ima tidak menanggapi. Tidak baik membicarakan hal tersebut.
***
Pagi ini Bu Salma merasa capek sekali, dia tidur. Ima yang habis nyuci di dapur mencarinya ke teras depan, kaget karena tidak ada. Coba diintipnya di kamarnya,rupanya beliau sudah lelap sekali. Ima tersenyum. Pasti kelelahan, pikirnya. Fikri dan suami Bu De-nya sedang mencari nafkah. Tidak ada teman ngobrol deh.
Ima main ke rumah orang tuanya. Abah dan uminya sedang duduk berdua di teras. Sofi paling ada di kamarnya. “Udah sarapan?” tanya Bu Haji.
“Udah tadi. Bu De masak oseng kacang,” kata Ima. “Mas Hamdi ke sawah?” tanyanya.
“Iya, baru saja berangkat,” kata Bu Haji. “Eh, suami Bu De-nya orang mana?” tanya beliau, penasaran.
Ima bersandar ke dinding, masih berdiri. “Orang Jawa Tengah, Mi.”
“Ada sekarang?”
“Keliling jualan.”
“Bu De-nya ke sawah?”
“Tidur.”
Bu Haji sama Pak Haji tertawa. “Jam segini tidur,” kata Pak Haji. “Kecapean tadi malam itu.” Bu Haji dan Ima tertawa.
Sofi yang lagi di dalam kamar mendengarnya, tapi tidak ikut tertawa. Rasanya belum pernah ia kelelahan karena bahagiakan suami. Jarang juga melakukannya. Rasanya tidak ada kisah menarik dalam hidupnya.
“Masih muda kan ya?” kata Bu Haji.
“Umur empat puluh, Mi,” jelas Ima.
“Loh, ya jauh selisihnya. Bu De-mu sudah lima puluh lebih.”
“Masih sehat-sehatnya itu,” tambah Pak Haji.
Rasanya Sofi ingin pergi saja. Panas telinganya mendengar cerita romantis terus. Tidak hanya yang muda, yang tua pun omongannya itu terus. Ia sumbat telinganya dengan bantal. Hamdi sedang ngobrol dengan salah satu tetangganya di sawahnya. Mereka sedang membicarakan ide pengembangan bisnis pertanian.
***
Siang ini panas sekali. Tapi, di kamar tidak terasa panasnya. Suami Ima bersiap berangkat kerja lagi, sudah fresh habis tidur siang. Ima dan Bu Salma lalu bersantai di teras. Tak lama kemudian suami Bu Salma datang. “Laku banyak?” tanya beliau pada suaminya.
“Alhamdulillah, lumayan,” jawabnya sambil tersenyum. “Mau jalan lagi ntar lagi.” Ia duduk di samping Bu Salma. Ia pegang lengan Bu Salma, ditarik ke dalam. Bu Salma kaget, tapi ikut saja. Keduanya ke kamar. Ima hanya tersenyum melihat mereka. “Kalau lagi semangat kerja, hasratku juga tinggi,” kata suaminya. Bu Salma masih merasa lelah sebenarnya. “Tidak apa-apa ya...? Biar lebih fresh lanjut kerja ntar lagi.” Bu Salma nurut saja.
Buk Ina, tetangga Bu Salma, menghampiri Ima yang lagi sendirian. “Mana Bu De-nya?” tanyanya. Dia membawa rebus singkong.
“Sssshhh....!!” Ima ngasih isyarat agar tidak keras-keras.
Bu Ina paham. “Tidur?” tanyanya, berbisik.
Ima mengangguk saja.
Bu Ina tertawa. “Mantap punya suami muda,” katanya. “Ini ambil di sawah tadi,” katanya menunjuk pada singkongnya.
Ima mengambilnya satu. “Di sawah juga ada beberapa, yang di atas sungai.”
“Iya, kemarin saya lewat di situ. Paling sudah banyak itu buahnya.”
“Coba tak lihat kapan-kapan. Enak juga direbus.”
Akhirnya, tidak terasa habis juga singkongnya. Bu Salma belum mencicipinya. “Kok tidak keluar-keluar?” bisik Bu Ina pada Ima. Dia tertawa.
***
Hari ini Bu Salma ke sawah. Ima tidak ikut. Sekitar jam 10 pagi suami Bu Salma datang. “Mana Bu De-nya?” tanya beliau.
“Lagi di sawah, Pak De.”
“Waduh...!!” Beliau tampak bingung. “Saya lagi ingin? Gimana terus?!” Ima kaget mendengarnya. Orang ini memang kurang bisa jaga omongan. Lalu lelaki itu masuk ke dalam, Ima di luar saja. Ia takut. “Tidak tahan nih...!” katanya. “Udah tadi Bu De-nya ke sawah?” tanyanya dari dalam.
“Barusan, Pak De.” Ima keceplosan bilang barusan, seharusnya bilang sudah tadi. Ia segera ke rumah orang tuanya, biar lebih aman. Dari jarak agak jauh, ia melihat mbak iparnya berjalan di samping rumahnya. Tidak biasanya. Selama ini dia jarang keluar rumah kalau tidak sama suaminya. Ima memperlambat jalannya, enggan juga mau nyapa. Tapi ia bertanya-tanya dalam hati, keluar kemana dia.
Tiba di rumah, Sofi menyapa Ima, “Singkong, De,” katanya sambil makan singkong di ruang tamu.
Ia tampak ceria sekali. Ima duduk saja di sampingnya. “Abah sama umi ke sawah, Mbak?” tanya Ima.
“Iya,” ceria sekali jawabnya. Ima jadi curiga dengan perubahan sikapnya.
***
Sore ini Bu Salma diundang ke rumah Bu Ratna untuk bantu bikin kue buat acara, “Aku ke rumah Buk Ratna, Ima,” kata Bu De-nya, pamit.
“iya, Bu De,” jawab Ima yang lagi di kamar. Ia sedang melipat pakaian yang habis dijemur.
Pak De-nya sedang duduk di teras. Hari ini ia tidak pulang malam, hanya sampai sore saja. Lumayan banyak cucian Ima. Satu per satu ia lipat dan diletakkan ke lemari. Tak lama kemudian Ima mendengar suara pintu terbuka. Ia menolehnya. Rupanya Pak De-nya membuka pintu. “Di kamar terus,” katanya. Ima kaget dan ketakutan. Tetapi beliau menutup lagi pintunya. Ima langsung keluar ke teras menunggu suaminya. Paling Fikri sudah ada di jalan.
Menjelang maghrib Ima mencuci piring di sumur. Fikri lagi mandi. Bu De-nya lagi di dapur. Pak De-nya berdiri di pintu, Ima mencoba melihat wajahnya, dia tersenyum pada Ima. Entah itu mau bercanda sebagai seorang Pak De, atau mulai ada sesuatu yang salah? Ima mulai curiga. Ima coba lihat lagi, rupanya masih memandanginya. Kemudian Bu De-nya ke sumur juga.
BAB 10: Ide Bisnis Keluarga
Sore ini rumah Pak Haji Ramadhan diadakan acara pertemuan kelompok tani. Hamdi tertarik untuk mengikutinya. Habis sholat ashar ia langsung menuju rumah beliau, tidak jauh dari rumahnya, hanya sekitar 1 km. Hamdi yakin bisa sukses. Setibanya di sana, hanya ada dua orang: Pak Dulla dan Pak Darman. Hamdi menyalami mereka.“Sampeyan anaknya Pak Haji Salim?” tebak Pak Dulla menatap Hamdi, tidak segera melepas tangan Hamdi.
Hamdi tersenyum, senang ada yang mengenalnya. “Benar, Pak.”
Ditepuknya bahu Hamdi oleh Pak Dulla. “Sudah sebesar ini,” katanya. “Dulu tahunya masih kecil.”
“Sampeyan anak pertamanya kan?” tanya Pak Darman.
“Iya. Yang kedua perempuan.”
“Sudah punya anak berapa?” tanya Pak Dulla.
“Baru nikah kan?” sela Pak Darman.
“Adiknya yang baru nikah,” kata Pak Dulla. “Ini sudah lama nikahnya.”
Hamdi tersenyum. “Masih belum, Pak.”
“Loh, kok masih belum,” Pak Dulla kaget. “Kurang jamunya paling.”
“Jamu bawang putih, Mas,” kata Pak Darman.
Datang seorang perempuan paruh baya, seumuran Bu Haji, tapi terlihat lebih muda. Ia langsung ikut nimbrung. “Iya kan, Buk?” kata Pak Darman pada ibu itu. Tentu saja dia bingung apa maksudnya. “Ini belum punya anak,” tambahnya menunjuk pada Hamdi. Wanita itu melihat Hamdi juga. “Tak suruh jamu bawang putih.”
“Hmm... Kalau cocok, sampek pagi sampeyan,” kata ibu itu.
“Hahahaha...” Pak Dulla tertawa. “Pengalaman.”
“Lakiku dulu gitu, sibuk kerja sampek lupa,” kata wanita itu. “Diam-diam tak kasih jamu, tak campur sama makanan.”
“Gimana hasilnya?” kata Pak Darman.
“Sampai pagi...!” katanya. “Sampek teler saya.” Hamdi tertawa. “Bukan sampek pagi sih, Cuma semalam itu full ngamuk dia.”
***
Acara musyawarah dimulai. Rupanya wanita tadi adalah ketuanya. Beliau adalah Bu Ratna, istri dari Pak Haji sulaiman. Anggotanya memang ada empat yang perempuan. Pertanian organik menjadi salah satu topik pembahasan. Tetapi, yang banyak dibahas adalah strategi pemasaran dan ide kreatif. Cara tradisional mulai ditinggalkan. Mereka ingin petani bisa membangun pasar sendiri, tidak lagi mengandalkan pengepul. “Hasil pertanian tidak harus langsung dijual, bisa kita olah dulu menjadi sesuatu yang lebih bernilai,” kata Bu Ratna.
Banyak ide baru yang didapatkan oleh Hamdi. Kenapa baru kali ini ia mau sharing dengan petani lain? Pikirnya. Andai dari dulu begitu, kan sudah banyak ide yang dijalankannya. Tapi tak apalah, tak ada kata terlambat. “Pak Haji Hamid sukses sekarang,” kata salah seorang di saping Hamdi. Beliau berbicara dengan rekan di sampingnya saat acara sedang berlangsung.
“Dia itu pengamal sholawat nariya,” kata yang di sebelahnya.
“Dapat dari mana ijazahnya ya?”
“Kayaknya dia berguru ke daerah Wringin, kyai di sana.”
Dulu Hamdi juga sering membaca sholawat itu, katanya, banyak orang yang rutin mengamalkannya, Allah luaskan rizkinya. Entah itu benar atau tidak, tapi banyak bukti. Katanya begitu. Membaca sholawat tak ada jeleknya. Katanya sholawat sekali mendapat 10 kebaikan, dihapus 10 kesalahan, diangkat 10 derajat, dan Allah balas dengan 10 sholawat. Begitu yang Hamdi tahu. Sholawat memang menjadi salah satu jalan untuk meraih cinta Allah. Tetapi, Hamdi sudah lama tidak membacanya secara khusus, akibat dari sibuk ingin kaya.
***
Hamdi ingin mencoba ajak istrinya untuk jualan kue. Pasarnya bisa online. Lumayan kan. Dengan wajah ceria Hamdi mengajak Sofi bicara bisnis di kamar. “Kalau laris, kan, siapa tahu bisa jadi jalan sukses kita,” katanya.
Sofi tampak tak bahagia. Dibenaknya belum ada terlintas pikiran untuk berbisnis. Tetapi, kalau dipikir, benar apa yang diusulkan oleh suaminya. Hidup butuh uang. Apalagi nanti akan ada anak. Tetapi, bahagia kan tidak hanya dengan uang. Malam ini Sofi berharap suaminya bisa membahagiakan dirinya. Jika tidak, sudah sepatutnya dia cari jalan lain, pikirnya.
Belum ada Komentar untuk "BAB 9: Merasa Terancam"
Posting Komentar