BAB 7: Sholawat Jibril Bikin Kaya
Ima mendesah keras,Fikri mengingatkannya agar tidak keras-keras takut mengganggu BuDenya di kamar sebelah. BuDenya yang kebetulan belum tidur tersenyum saja. Dulu dirinya waktu baru menikah juga begitu. Begitulah pengantin baru, gairahnya masih sangat tinggi. Nanti kalau sudah sibuk ngurus anak, sudah tidak terlalu mikir lagi. Beliau biasa aja, tidak merasa terganggu. Justru senang, kalau anak atau ponakan rukun sama pasangan, daripada berantem terus.
Sedangkan Hamdi malam ini segera tidur, katanya besok mau ke Lumajang. Tadi siang diajak temannya untuk berkunjung ke salah satu temannya, seorang petani sukses di sana. Katanya ingin sharing. Sofi tidak bisa tidur. Dia hanya memandangi suaminya yang sudah terlelap. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Andai dirinya yang laki-laki kan bisa berbuat sesuatu. Tetapi itu mustahil. Lebih menderita lagi hampir setiap pagi menyaksikan rambut basah ibu mertuanya. Untung adik iparnya sudah pindah. Sedikit berkurang rasa irinya.
Malam berlalu tanpa cinta di kamar Sofi, berbeda dengan kamar Ima. Pagi yang cerah tampak gelap bagi Sofi. Hamdi bersiap untuk berangkat ke Lumajang. Sofi memasak di dapur dengan Bu Haji. Banyak cerita yang diceritakan oleh Bu Haji sambil masak. Beliau memang baik. Tetapi, Sofi kurang fokus mendengarkan ceritanya. Nafkah batinnya tak terpenuhi bikin tidak bahagia dan tak semangat. Saat sarapan pun Hamdi tidak menyempatkan meliriknya. Cepat sekali makannya, sepertinya urusan bisnis lebih penting dari sekedar senyum pada istri. Hamdi sudah tampak tidak sabar untuk segera tiba di Lumajang untuk urusan bisnis.
“Masakannya enak, Bude,” kata Fikri saat sarapan.
“Bude ini memang jago masak,” puji Ima.
Bu Salma senang ada teman makan bersama. “Yang banyak makannya,” kata beliau.
“Hehe...” Fikri nambah sepiring lagi.
Meja makan mereka penuh canda. Bersyukur sekali walau hidup tidak bergelimang harta. Habis makan fikri pamit berangkat kerja, cium istri dan cium tangan Bude.
***
“Assalamualaikum,” Pak Haji memberi salam pada Hamdi, Rahman dan Saiful yang sedang mengolah pakan di samping kandang.
“Waalaikumsalam,” jawab mereka.
Tumben pagi-pagi begini beliau ada di kandang. “Ada yang mau beli sapi empat ekor, lumayan tinggi harganya,” kata Pak Haji. “Sebagian buat kalian,” kata beliau. Maksudnya mereka dapat bonus. Alhamdulillah. Rejeki tidak disangka. “Kalian banyak baca sholawat jibril,” kata Pak Haji.
Mereka tidak paham apa itu sholawat jibril. “Seperti apa, Pak Haji?” tanya Saiful.
“Sholawat jibril itu sholawat yang paling pendek: shallallahu ‘ala muhammad,” jelas beliau. “Baca minimal 1000 kali sehari. Biar tambah lancar rizki.” Benar juga pikir Fikri. “Orang ibadah itu, kalau tidak khusuk, tidak ikhlas, belum tentu diterima, belum tentu dapat pahala. Tapi kalau baca sholawat, niat pamer sekalipun tetap dapat pahala, itu keringanan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lumayan dapat siraman rohani pagi, pikir Rahman. “Makanya, banyak baca sholawat biar semakin dekat pada Allah, semakin dicintai Allah, kalau sudah dicintai Allah, apapun yang kita mau, mudah terkabul. Tapi kalau lagi di dalam kandang, jangan baca, kata beliau.”
Setahu Saiful, lebih mantap itu, biasanya kalau dapat ijazah dari seorang alim. “Boleh ijazahkan, Pak Haji,” kata Saiful.
“Iya, saya ijazahkan pada kalian.”
“Qobiltu, Pak Haji,” jawab Saiful. fikri dan Rahman turut mengucap Qobiltu.
“Sholawat itu, sebenarnya tidak perlu nunggu dapat ijazah, bebas semua umat boleh membacanya,” kata beliau. “Banyak baca sholawat, pikiran jadi tenang, jadi tambah encer otak. Sehingga, banyak ide yang bikin hidup tambah meningkat.”
Pikir Saiful, berarti ini yang bikin beliau murah rizki. Jadi bukan hanya karena istri empat.
Tak lama kemudian datang mobil truk bersama mobil mewah. “Sepertinya ini orangnya,” kata Pak Haji. “Nanti siang makan sate,” kata beliau lagi.
Wah, mantap, pikir Rahman.
Di Lumajang Hamdi mulai dapat pencerahan. Rupanya banyak ide baru ia dapatkan dari petani sukses di Lumajang tersebut. Memang, untuk sukses butuh kerja keras dan kerja cerdas. Ia ingin banyak sharing dengan petani-petani sukses lainnya juga biar dapat banyak ide. Hamdi pulang agak malam. Ia capek sekali. Istrinya ia bawakan oleh-oleh makan. Sofi senang, tapi tetap saja malamnya tidak bahagia karena Hamdi langsung tidur sehabis makan.
BAB 8: Bercinta Lagi
Pagi ini Ima sama Fikri lagi di kamar. Ima terlalu manja, bikin Fikri tergoda. Mumpung ada waktu, lanjut aja. BuDenya baru saja selesai nyuci piring di sumur belakang. Ia mau tanya sama Ima mau masak apa pagi ini. Ima lupa tidak mengunci pintu. Langsung beliau dorong pintunya. Duar....!! terlihatlah oleh beliau, tapi segera beliau tutup lagi. Beliau geleng-geleng kepala dan kembali ke sumur lagi.
Wah…!! Kalau begini terus, yang tua pun bisa ingin muda lagi. Sejak Ima dan suaminya tinggal bersama Beliau, sering sekali kepergok romantisme mereka. Entah sekedar suara atau yang lainnya. Rupanya beliau terpengaruh juga.
***
Malam ini terasa beda. Di kamar sebelah terdengar Ima mendesah-desah. Tak seperti biasanya, Bu Salma tiba-tiba teringat masa-masa waktu suaminya masih ada. Ia terbayang beliau di sampingnya. Terasa kembali keindahan malam-malam itu. Sulit beliau pejamkan mata. Dipeluknya bantal guling di sampingnya. Perasaan itu semakin menguat. Beliau mencoba menghilangkan pikiran tersebut, pergi ke sumur belakang dan mencuci piring, gelas, dan semacamnya yang masih kotor, ingin mengalihkan pikirannya.
Pagi tiba. Bu Salma sudah selesai masak bersama Ima tadi. Tetapi, habis sarapan, Ima ke kamarnya lagi sama suaminya. Bu Salma teringat suaminya lagi. Beliau segera ke sawah saja biar pikirannya tidak mikir kesana terus. Di sawah beliau mencari beberapa sayuran. Sekitar jam delapan beliau pulang.
Siang hari suami Ima datang lagi. Bu Salma langsung menebak, pasti di kamar lagi. Ternyata dugaannya benar. Sepertinya jiwa muda Bu Salma bangkit lagi. Hasratnya naik lagi. Beliau mencoba ke belakang untuk mengalihkan pikiran, tapi rupanya tak ada yang bisa dikerjakan. Beliau pun bingung.
***
Beberapa hari kemudian, Bu salma merasa tak bisa menahan lagi, beliau berkunjung ke salah satu teman kecilnya dulu, Mak Sani. Beliau ahli ilmu pelet. “Carikan aku suami, Mak?” pintanya.
“Ingin yang seperti apa?” tanya Mak Sani.
“Terserah sudah, yang penting mau sama saya.”
Mak Sani tertawa. “Perempuan kalau sudah kebelet.”
“Tak tunggu kabarnya ya, Mak.”
“Paling tiga hari, tapi kalau belum, sabar aja dulu.”
Bu Salma menunggu seorang pria datang menikahinya. Beliau tidak membayangkan pria tampan, yang penting sehat saja. Tiga hari berlalu, tapi tak ada kabar. Beliau tidak sabar. Apa ilmu peletnya kurang kuat? Pikirnya. Tapi beliau memilih sabar. Semakin tidak tahan rasanya setiap hari siang malam mendengar suara desahan Ima. Seminggu berlalu, tapi tak datang juga. Bu Salma merasa putus asa. Sepertinya ilmu pelet sudah tidak berfungsi.
***
“Beli baju, Buk,” seorang pria penjual pakaian berjalan kaki menawarkan Ima dan Bu De-nya yang sedang duduk di depan rumah. Pria itu mendekati mereka. “Bagus-bagus, Buk, Mbak. Monggo dipilih,” katanya.
Dari logatnya, sepertinya pria itu orang jauh. “Orang mana?” tanya Bu Salma.
“Jawa Tengah, Buk.”
“Ow. Tinggal dimana di sini?”
“Sementara masih tingga di terminal. Belum dapat tempat tinggal,” jawabnya. “Kalau ada, ingin kawin sama orang sini aja, Buk,” katanya. Enak saja bicara begitu. Padahal, di daerah sini, bicara begitu bukanlah hal yang biasa. Pikir Bu Salma, mungkin di daerahnya dia biasa bicara begitu. Ima dan Bu Salma tertawa. Bu Salma tertarik juga untuk menawarkan diri, kebetulan juga sedang menunggu seorang pria pendamping hidup, tapi dia terlalu muda. Sepertinya umurnya baru 40an. “Janda tidak apa-apa,” tambah pria itu.
“Banyak janda di sini,” kata Ima.
“Ibuknya janda?” tanya pria itu menunjuk Bu Salma, bukan Ima. Padahal kan jauh lebih cantik Ima dan masih muda. Kalau cari istri, seharusnya kan cari yang cantik dan masih muda. Dia malah nunjuk Buk Salma.
Pikir Bu Salma, mungkin ini efek pelet Mak Sani. “Iya, sudah janda,” jawab beliau.
“Mau kawin sama saya?” kata pria itu. Wah, ini vulgar banget, terlalu terang-terangan. Bu Salma agak kaget juga. Masak urusan nikah bicaranya santai sekali, pikirnya.
“Mau, mau, Mas,” kata Ima sambil tertawa. Dia bercanda sebenarnya.
“Kamu ini...!!” kata Bu Salma sambil memukul lengan Ima, beliau tampak malu. Tetapi, beliau suka sebenarnya.
“Serius. Nikah kan ibadah,” kata pria itu lagi. “Monggo kalau mau, minta kawinkan ke kyai di daerah sini.”
“Iya sudah Bu De,” kata Ima.
Tak mau kehilangan kesempatan, Bu Salma pun mau dan segera mengajaknya ke rumah kyai Latif pada sore hari. Ima dan suami ikut mengantar mereka. Pernikahan dilangsungkan secara sirri, pernikahan janda tua memang biasanya secara sirri. Ada beberapa tetangga yang berkomentar tentang pernikahan mereka, tapi Bu Salma tidak peduli, ntar juga bosan sendiri yang komentar.
Akhirnya, malam ini tak hanya menjadi pendengar suara kenikmatan. Bu Salma senang sekali. Tetapi, rupanya wanita menopause seperti dirinya sudah tidak semudah waktu muda dulu. Untung suaminya paham. Ia memilih bersabar, “Besok beli vigel dulu,” katanya. Malam ini berpelukan saja.
***
Suami Bu Salma berangkat menjajakan pakaian di pagi hari. Ia kurang fokus karena kegagalan tadi malam. Ia ingin segera menunaikan hajatnya yang tertunda tadi malam. “Baju, Bu,” ia menawarkan pada ibu-ibu yang lagi berkumpul di teras, di desa sebelah.
“Coba lihat, Mas.”
Rupanya ada yang tertarik. Langsung ia gelar di lantai. Banyak yang lihat.
“Ini menarik. saya ambil ini ya.”
“Saya ambil ini, buat ponakan.”
“Saya ini dan ini.”
Wah, kayaknya rizki orang menikah ni. Laris sekali. Bersyukur sekali. Ia lanjut berjalan ke daerah pasar kecamatan. Sekalian ia mau membeli vigel di sana. Begini kalau nikah sama wanita tua, pikirnya, sudah kering, jadi repot. Tapi, kalau nikah sama wanita muda, terlalu ribet urusannya. Dirinya kan hanya butuh teman tidur yang tidak terlalu mengikat. Istri yang usianya udah tua, kalau mau ditinggal, tidak serumit istri yang masih muda.
Ia pun langsung pulang sebelum duhur dan siap segera menunaikan kewajiban sebagai suami yang semalam ditunda. Bu Salma senang suaminya pulang siang. Beliau sudah tidak sabar. Sehabis duhur orang-orang biasa istirahat. Ima juga istirahat bersama suaminya. Keindahan cinta semalam yang tertunda, akhirnya, kini tertunaikan juga. Bu salma sangat bahagia.
Belum ada Komentar untuk "BAB 7: Sholawat Jibril Bikin Kaya"
Posting Komentar