BAB 3: Peristiwa Perselingkuhan
Siang mulai tampak sepi. Orang-orang mulai pada tidur siang. Ima menunggu suaminya datang di ruang depan. Tak sengaja dia melihat tetangganya, Mbak Sana, yang rumahnya berhadapan dengan rumahnya tampak sedang bercanda dengan iparnya, suami adiknya, Andi. Ima curiga, sepertinya bercandanya kelewatan.
Ima jadi teringat keluarganya sendiri. Dirinya tinggal bersama, tiga pasangan satu rumah. Mungkin saja suaminya tergoda mbak iparnya. Hmm… Ngeri juga. Fikri datang. Ia ke kamar mandi dan mandi. Ima segera ke kamar menunggunya. Sofi yang sedang nonton TV geleng-geleng kepala. Belum pernah rasanya, adiknya itu, saat istirahat siang di luar kamar.
Sofi sempat memandang Fikri sejenak. Gagah sekali dia. Pantas saja rajin di kamar sama Ima. Sofi mengeraskan suara TV-nya sedikit, biar tidak mendengar suara desahan di kamar Ima. Tapi tetap saja terdengar sedikit.
Tiba-tiba terdengar suara orang teriak-teriak di depan. Sofi segera keluar. Pak Haji dan Bu Haji yang lagi bersantai di teras menghampiri tetangga depannya.
“Tega….!! Tega…!! Tega…!!” Terdengar suara Lia, adiknya Sana, teriak-teriak.
Ima penasaran ingin segera lihat. Sofi juga ke sana. Ramailah orang berkumpul.
“Rajam…!! Rajam…!!” teriak suami Sana sangat marah.
Bu Badriya, orang tua mereka pingsan. Pak Hanan, suaminya, menangis, tak percaya dengan apa yang terjadi pada anak dan menantunya.
Pak RT dan beberapa warga menenangkan suami Sana yang ingin menghajar suami Lia.
“Mereka sudah berzina, harus dirajam…!!” teriaknya lagi.
“Betul, rajam saja…!!” tambah sepupunya suaminya Sana.
“Rajam berlaku kalau saksinya empat orang dan melihat langsung,” kata Pak RT. “Hukum agama harus sesuai syariat.”
Sofi jadi terbayang Fikri. Pikirnya, jika suaminya terus-terusan tidak romantis, bisa jadi dirinya akan berbuat hal yang sama dengan iparnya. Sofi tahu, suami Sana mirip suaminya, sibuk dengan pekerjaan, tidak romantis dengan istri. Ima jadi takut, tapi ia tidak mau buruk sangka pada Sofi. Dia tahu Sofi baik.
“Begini kalau sudah pada nikah, tinggal bersama,” kata Pak Sarno.
Bu Haji jadi merasa tersindir. Tapi, memang benar. Dua pasangan dalam satu rumah itu beresiko. Hanya saja, keadaan yang memaksa begitu.
“Cobaannya orang berumah tangga,” kata Mak Dira pada Bu Haji. “Ekonomi lancar, ada ujian lain.”
***
“Tadi ramai di rumah,” cerita Fikri pada Rahman setibanya di kandang.
“Ramai apa?”
“Tetangga depan rumah, ketahuan selingkuh sama iparnya.”
“Waduh…!!” kata Saiful. “Makanya, kamu hati-hati punya ipar cantik.”
“Aku ini kuat iman.”
“Iya, sekarang,” kata Rahman.
“Itu kayak tetanggaku dulu gitu,” kata Saiful. “Tapi selingkuh karena ingin hartanya. Suami mbaknya kan kaya, jadi niat direbut sama adiknya. Punya mobil empat.”
“Suami dia?”
“Cuma jualan tempe, pagi saja. Setelah itu diam, tidak ada kerjaan.”
“Namanya perempuan kan ingin yang lebih ya, apalagi kan punya anak. Males paling lihat suami kerja cuma gitu.”
“Terus, ketahuan selingkuh?” tanya Fikri.
“Ketahuan berkali-kali, cuma disembunyiin, mungkin dipikir aib keluarga ya. Tapi, akhirnya tidak tahan juga, akhirnya diusir, adiknya juga. Tapi, sekarang kayaknya sudah rukun, sudah dianggap takdir.”
“Sudah nikah lagi mbaknya itu?”
“Belum. Kamu, kalau mau nambah?”
Rahman tertawa. “Gitu ya, hidup. Bersyukur punya istri bisa menerima kita-kita yang hanya kuli,” katanya.
“Tidak bisa ngasih harta,” kata Fikri. “Kasih kepuasan.”
“Hahahahaa…. Pikiranmu itu terus,” kata Rahman.
“Lah, kan benar. Kita itu wajib bahagiain istri lahir batin.”
“Memangnya berapa kali sehari, kamu?” tanya Saiful.
“Jamunya kan sama seperti Pak Haji,” jawab Fikri. “Sama lah efeknya.”
“Tiga kali?! Tidak capek kamu?!”
“Pak Haji yang usianya udah tua saja, masih bisa muasin empat istri.”
“Hahaha… Keren ya beliau.”
BAB 4: GODAAN IPAR
Sekitar jam 11 malam Fikri terbangun, ingin pipis. Dia pun ke kamar mandi. Usai pipis, saat membuka pintu kamar mandi, rupanya Sofi sedang menunggunya dengan pakaian minim. Fikri kaget. Tak sengaja pandangannya sempat tertuju pada bagian yang tak seharusnya ia lihat. Sofi tersenyum padanya. Fikri segera memalingkan wajahnya dan segera ke kamarnya. Ia terkejut dengan sikap mbak iparnya.
Pikirannya jadi tidak tenang. Sepertinya ini tanda akan ada konflik keluarga. Sebagai lelaki, walaupun sudah beristri, kalau ada kesempatan, melihat Sofi dalam keadaan seperti tadi, sulit rasanya untuk menahan hasrat. Untungnya selama ini istrinya selalu dekat dirinya. Pikirnya, sepertinya Hamdi tidak bisa memuaskan istrinya.
Dirinya jadi terbayang-bayang Sofi. Ah, setan. Ia peluk istrinya.
Pagi tiba. Ketika hendak sarapan bersama, sejenak Fikri menangkap tatapan Sofi sambil tersenyum pada dirinya. Fikri segera memalingkannya. Sepertinya mbak iparnya sudah keterlaluan. Kalau Hamdi melihatnya, bisa jadi masalah besar.
***
“Benar katamu, Man,” kata Fikri pada Rahman saat membersihkan kandang.
“Benar kenapa?”
“Tadi malam, mbak iparku godain aku.”
Rahman kaget mendengarnya. “Terus….!! Kamu tidurin?!”
“Tidak lah,” jawab Fikri. “Aku punya istri, ngapain nidurin istri orang.”
“Godain gimana?” Saiful penasaran.
“Aku kan ke kamar mandi sekitar jam sebelas, pas keluar, tiba-tiba dia di depanku dengan pakaian minim sambil senyum-senyum memandangku.”
“Astaghfirullah….,” kata Saiful. “Berarti kamu lihat?!”
“Yaaa… Namanya lelaki, sempat lihat sih.”
“Terus?!”
“Aku segera ke kamar, meluk istri.”
“Assoy…!!” seru Rahman.
“Mending pindah, Fik,” kata Saiful. “Bahaya itu.”
“Takutnya suaminya lihat,” tambah Rahman.
“Tadi juga gitu. Tidak biasa pandangannya.”
“Atau, sekalian aja kamu rebut,” kata Rahman. “Hahahaa… Cantik kan?”
“Cantik, seksi juga,” canda Fikri.
“Jablai tah?”
“Yaa… Gimana ya… Mas itu kaku orangnya. Komunikasi sama istri itu tidak cair,” jelas Fikri. “Perempuan kan suka yang romantis.”
“Kurang jamu itu, suaminya,” kata Saiful.
“Malah lebih romantis mertua, meskipun sudah tua.”
“Sih, mertuamu?” Rahman kaget mendengarnya.
“Iya. Romantis mereka.”
***
Hamdi merasa sedih dengan penghasilannya yang sedikit. Sejak kecil ia terbiasa hidup dengan harta melimpah saat ekonomi abahnya sedang jaya. Penghasilannya dari bertani hanya cukup untuk dimakan. Stres rasanya mikir strategi bisnis. Tidak tahu harus bisnis apa agar punya penghasilan banyak. Dia ingin sekali bisa mengembalikan kejayaan abahnya dulu.
Sempat ia mengira ada orang yang menyihir keluarganya sehingga merosot perekonomiannya. Kalau sampai dugaannya benar dan ketahuan orangnya, ingin ia hajar saja. Kalau perlu, musnahkan. Dia merasa malu sama tetangga, karena tinggal serumah dengan orang tua dan ipar. Seharusnya ia bisa bangun rumah sendiri.
Sofi tidak bisa tidur. Ia hanya bisa memandangi suaminya yang sudah terlelap. Sedih rasanya jadi istri tapi seperti jomblo. Walau tidur seranjang dengan suami, tapi seperti tidur sama guling saja. Pikirnya, kalau ada kesempatan, ia ingin cari selingkuhan saja. Malam ini ia lalui tanpa belaian suami.
Setiap ada kesempatan, Sofi sempatkan kontak mata dengan Fikri. Fikri jadi semakin tidak enak. Sepertinya Sofi sudah ingin sekali bisa berhasil menggodanya. Diam-diam, sepertinya Hamdi merasakannya. Tetapi, tetap saja dia tidak peka, tetap sibuk mikir nyari ide usaha.
***
“Suami Ima kok sering lihat-lihat istri saya,” kata Hamdi saat hendak bepergian bersama istrinya suatu sore.
Ima sedang duduk di ruang depan bersama Fikri, di ruang tamu. Pak Haji Salim dan Bu Haji sedang duduk di teras.
Fikri dan Ima kaget. Akhirnya yang dikhawatirkan Fikri terjadi. Beginilah jika satu rumah lebih dari sepasang jiwa. Apalagi Usia mereka tidak begitu jauh. Hamdi sudah dua tahun menikah dengan Sofi, sedang Ima baru dua bulan yang lalu menikah dengan Fikri. Satu rumah, hanya beda kamar. Hamdi di kamar paling depan, Ima dan suaminya di kamar tengah, orang tua mereka di kamar paling belakang. Kamar mandi ada di belakang.
Fikri dan Ima saling pandang. Ima tidak curiga padanya. Menurutnya tidak mungkin suaminya selingkuh sama mbak iparnya. Pak Haji dan Bu haji sejenak melihat ke dalam. Hamdi kemudian pergi bersama istrinya. “Tidak usah dihiraukan, Nak Fikri,” kata Pak Haji dari luar. Bu Haji agak khawatir. Perasaan Fikri menjadi tidak enak. Pikirnya, seharusnya Hamdi marah pada istrinya, dia yang bersikap tak biasa pada Fikri.
***
Orang tua dan kerabat Fikri sebenarnya menyarankannya untuk mengajak istri tinggal di rumah orang tua. Di sana hanya ada ibu dan adiknya yang masih kuliah. Tetapi, Fikri tidak mau karena setahu dia banyak istri merasa tersiksa hidup dengan mertua. Dirinya laki-laki, lebih tahan hidup dengan mertua walau kadang ada rasa tidak enak. Karena itulah dia memilih tinggal di rumah Ima saja.
Tetapi, sekarang masalahnya lain. Istri kakak iparnya sepertinya suka pada dirinya dan kadang godain dirinya. Kakak iparnya, Hamdi, sudah mulai cemburu pada dirinya. Memang usia istri Hamdi lebih muda dari Fikri. Tetapi, Fikri lebih muda dari Hamdi.
Sebenarnya Pak Haji ingin membangunkan rumah buat mereka dulu, tapi usahanya mendadak bangkrut. Si Hamdi sendiri belum sukses, jadi belum bisa bangun rumah. Dia hanya kerja ngurus sawahnya sendiri, penghasilannya tidak seberapa. Belum dapat ide bisnis untuk mendapatkan penghasilan yang besar.
Ima mengajak fikri ke kamar. “Apa kita tinggal di rumah mas saja?” kata Ima. Menurutnya itu lebih baik.
Fikri merasa berat. “Kamu pasti tidak tahan dengan sikap ibuk,” kata Fikri.
“Tapi di sini, mas Hamdi cemburu sama mas.”
Sebenarnya di sini, umumnya, suami yang ikut istri. Tetapi, Hamdi tidak kerasan di rumah istrinya. Padahal sudah dibangunkan rumah oleh mertuanya. Dia lebih suka tinggal bersama orang tuanya sendiri. Mungkin Hamdi sulit menyesuaikan dengan lingkungan hidup baru.
Sebagai kuli ternak di peternakan Pak Haji Shaleh, gaji Fikri tidak banyak, tidak cukup buat bangun rumah atau beli tanah. Memang Ima punya sawah, tapi tak banyak hasilnya, apalagi tidak diurus sendiri. Bagi hasil dengan orang yang garap sawahnya.
Sebenarnya dia diajak ternak madu oleh teman kecilnya, belakang rumah orang tuanya. Di sana masih ada pekarangan buat usaha ternak. Tapi, aneh rasanya jika buka usaha di sana, sedang tidurnya di rumah mertuanya. Bisa jadi, nanti orang mengira istrinya tidak suka sama orang tuanya.
Belum ada Komentar untuk "BAB 3: Peristiwa Perselingkuhan"
Posting Komentar