BAB 22: Sang Buronan Jadi Ustadz
Siang ini Yuli mencari sayur di sawah sendirian. Babun, salah seorang pemuda desa, terpana melihatnya. Sejak jadi istri orang kaya, Yuli jadi mengkilap, bening menggoda. Sudah tidak nampak seperti orang gunung lagi. Maklum, jarang terkena panas matahari. Babun coba mendekatinya. “Cari sayur, Mbak?” tanyanya.
Yuli agak kaget. “Eh, kamu, Bun,” responnya. “Iya, lama tidak main-main ke sawah. Ingin masak kangkung.”
Babun tolah-toleh, tak ada orang di sekitar. Kesempatan. “Mbak mau sama saya?” pintanya, suaranya dibuat aga berbisik. Yuli kaget. Dia paham maksudnya. Dia tolah-toleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada orang. “Ayo kalau mau?!” Babun mendekatinya. Yuli jadi bingung dan tercengang diam saja. Melihat wajah bening, Babun tancap gas saja. Eh, Yuli malah terus diam. Babun mendorong tubuh Yuli ke lorong antara tanaman jagung dan langsung beraksi.
Rupanya ada Pak Dasuki sedang merumput. Babun tidak melihatnya. Beliau segera pergi dan lapor ke Mak Lastri. Mak Lastri pun menuju lokasi. Didapatinya keduanya masih bergulung di tanah. Mak Lastri ambil batu dan melemparnya. Babun kaget dan segera menghentikan aksinya, lalu kabur. Mak Lastri melemparnya dengan batu lagi.
Tak perlu ramai-ramai. Mak Lastri, Mak Da dan Hamdi sepakat, Yuli harus ditalak dan diusir dari kehidupan mereka. Yuli pun pergi
***
Hari ini, sehabis dzuhur ustdzah Ana ke toko. Tiba di sana, rupanya Hamdi sudah menunggunya sambil membaca Al Quran. Ustadzah Ana terkejut. Beliau berdiri memandangi Hamdi yang melantunkan Al Quran mirip suara syekh. Padahal, dulu dia salah-salah bacanya. Beliau kemudian mendekatinya dan duduk di samping Hamdi. Hamdi berhenti membacanya dan menoleh ke Ustadzah Ana. cantiknya.
“Sudah mirip syekh,” kata ustadzah Ana.
Hamdi tersenyum. “Tiap hari menirukan syekh. Bahkan ada beberapa halaman yang aku hafal.”
“Serius?!” ustadzah Ana kaget. “Coba baca!”
Hamdi membaca surah Al Baqarah, rupanya tak ada salahnya, menurut ustadzah Ana. Hamdi terus lanjut ke Ali Imran. Menjelang akhir, Hamdi lupa.
“Masya Allah….!!” Tidak disangka, Hamdi sudah hafal dua surat panjang tersebut. Ustadzah Ana merangkulnya dan menciumnya.
Di tepi jalan, tak jauh dari toko, Sukir sedang mengamati toko ustadzah Ana. Tetapi, pikirannya kok jadi tidak fokus cari info tentang ustadzah Ana. Dia malah terbayang wajah Mak Da terus. Aneh pikirnya. Wah, bisa gagal untuk dapat 8 ekor sapi dari Dr. Salman. Rupanya pelet Mak Da lumayan ampuh.
***
Tak terasa waktu berlalu. Hari berganti, bulan berganti. Mak Da dan Mak Lastri meninggal dunia. Sama seperti Mak Halima dulu, hanya sakit pusing seperti demam. Usai pemakaman, Hamdi dan ustadzah Ana duduk di ruang depan rumah Hamdi. “Saya ini buronan,” kata Hamdi.
Ustadzah ana kaget mendengarnya. Berarti ini alasan Hamdi selama ini minta dirahasiakan hubungannya. “Dosa apa yang mas lakukan?” tanya ustadzah Ana.
“Semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Hamdi. “Istri saya selingkuh dengan tetangga. Begitu ketahuan, saya bunuh selingkuhannya, saya perkosa ibunya yang terbaring sakit dan saya bunuh.”
“Astaghfirullah…!!” Tidak disangka, selama ini ustadzah Ana telah menjalin hubungan dengan penjahat. Efek ilmu pelet Hamdi membuat dirinya lebih mementingkan cinta.
“Saya ingin mengisi sisa usia saya dengan amal sholih.”
Ustadzah Ana menyambut baik niat Hamdi. Pikir beliau, di pesantren lebih baik daripada di penjara. “Bagaimana kalau tinggal di pesantren saja, ngajar ngaji?” Hamdi tidak segera menjawab. “Tidak akan ada orang yang mengenalimu.” Pikir ustadzah Ana, kalau penampilan Hamdi berubah, tentu tak akan ada yang tahu.
Sepakat. Hamdi pun dibawa ke pesantren. Bisnisnya ia tinggalkan. Ia mengajar anak-anak membaca Al Quran. Namanya pun diganti. Dia dipanggil Ustadz Abdurrazaq. Tempat tinggalnya di ruangan yang dulu digunakan sebagai koperasi di samping rumah ustadzah Ana. Di bagian belakang ada pintu tersambung dengan rumah beliau.
***
5 tahun kemudian
Pagi-pagi sekali Hamdi melihat tamu di teras ustadzah Ana. Dia mengintip dari jendela. Sepertinya dia kenal dengan sepasang suami istri itu. Mungkin anak yang dibawanya adalah anaknya. Dia perhatikan dengan seksama. Akhirnya ia teringat. Seperti mau pingsan. Air matanya mengalir. Ima dan suaminya. Lama Hamdi tidak mendengar kabar mereka, sejak jadi buronan. Dia jadi teringat abah dan uminya. Hamdi tersungkur dan menangis.
Benar. Ima dan Fikri hendak mendaftarkan anak pertama mereka, Fadlan, untuk mondok di sana dan belajar di MI. Ima tertarik melihat santri-santri ustadzah Ana yang hafal Al Quran dengan bacaan yang sangat indah.
Hamdi jadi ingin pulang.
Sebelum tidur, Hamdi menanyakan tentang tamu tadi pagi pada ustadzah Ana, tamu yang bawa anak satu. “Anaknya sudah tinggal di sini,” kata ustadzah Ana. “Fadlan namanya. Langsung kerasan dia. Langsung bermain sama teman-temannya.”
Pagi tiba. Hamdi mencoba ke kamar asrama putra, menemui Fadlan. Anak itu bersalaman, mencium tangan Hamdi. Hamdi mengajaknya ngobrol. “Saya ingin hafal Quran, Ustadz,” kata Fadlan. Wah, positif sekali mindsetnya. Hamdi menanyakan tentang keluarga di rumah. Fadlan menceritakannya. Kakek dan nenek sudah meninggal dunia. Hamdi tak tahan menahan air mata.
Belum ada Komentar untuk "BAB 22: Sang Buronan Jadi Ustadz"
Posting Komentar