BAB 21: Mata-mata Ustadz Kaya
“Rupanya, meskipun harga dibuat sangat mahal, malah tambah laris,” kata Mak Da. Ada beberapa produk Hamdi yang dijual dengan harga sangat mahal karena semakin laris.
Hamdi tersenyum. “Rejekinya orang beristri tiga,” katanya.
“Hahahahaa...” Mak Da, Mak Lastri dan Yuli tertawa. “Kok cuma tiga?” kata Mak Lastri.
Hamdi lupa pada ustadzah Ana. “Eh… Iya, empat ya..., lupa,” katanya. “Dia yang bikin saya senang dengerin murottal, bacaan Quran para syeikh. Kok malah lupa…,” Jadi adem tentram suasana rumah oleh lantunan suara merdu para syeikh yang membaca Al Quran.
“Masak lupa sama yang paling cantik,” kata Yuli.
Hamdi paham, dia cemburu dengan menyebut ustadzah Ana istri yang paling cantik. “Kan yang serumah, kalian bertiga,” kata Hamdi. Ia cium ketiga istrinya.
Saat berkumpul dengan istri-istrinya begini, kadang Hamdi ingat masa lalu, masa lugu, masa saat dirinya jalani hidup normal. Dia teringat istri pertamanya yang sudah jadi mantan. Masih sayang sebenarnya. Ingin melihatnya lagi sebenarnya, tapi sakit juga hatinya kalau ingat penghianatan yang ia perbuat. Ah, lebih baik ia alihkan pikirannya pada istri-istrinya yang sekarang. Nikmati saja hidup yang sekarang.
***
Dr. Salman, seorang ustadz kaya yang melamar ustadzah Ana, masih memendam cinta untuk beliau. Beliau mencoba main-main lagi, tapi tidak mampir, hanya lihat-lihat keadaan di sekitar pesantren ustadzah Ana. Di tepi jalan beliau melihat banner besar bertuliskan nama lembaga pendidikan milik ustadzah Ana. Gambar bangunannya sudah tampak megah. Padahal, dulu waktu berkunjung, belum semegah itu. Rupanya tambah berkembang.
Beliau tidak mengerti, kenapa saat dulu ditawari kerja sama untuk dirikan lembaga pendidikan yang super mewah, ustadzah ana menolak. Padahal, banyak pimpinan lembaga yang justru malah mencari dana bantuan. Ustadzah Ana seorang perempuan janda, pikir Dr. Salman. Tidak tahu kalau ustadzah Ana punya suami rahasia kaya. Dr. Salman pun curiga, pikir beliau, pasti ada yang dukung dana.
Dr. Salman berhenti di tepi jalan, di area persawahan, memandangi pemandangan alam yang indah. Dilihatnya ada seorang pria sedang merumput. Pikir beliau, mungkin dia bisa dijadikan alat untuk mencari tahu tentang ustadzah Ana. Beliau turun dari mobil dan menghampiri orang yang sedang merumput tersebut. “Cari rumput, Mas?” tanya beliau.
Pria itu kaget disapa Dr. Salman. Bingung, tak kenal siapa yang menyapanya. “Iya, Pak,” jawabnya dengan ekspresi bingung.
“Buat pakan sapi?”
“Iya.”
“Banyak sapinya?”
“Satu, punya orang.”
“Mau tidak, kalau saya belikan sapi banyak.”
Tentu saja dia kaget. “Bapak siapa?” tanyanya, ekspresinya tampak semakin bingung.
“Saya Salman. Saya butuh bantuan, sebagai imbalannya, saya belikan sepuluh ekor sapi, kalau mau.”
Waaahhh….!! Sepuluh ekor sapi, siapa yang bisa menolaknya. “Mau, Pak. Mau… Bantu…. Bantu apa ya…?”
“Saya butuh info tentang ustadzah Ana, saya ingin tahu tentang beliau.”
Waduh. Ini berat. Mana bisa? Tapi, 10 ekor sapi itu banyak. “Mau, Pak, mau…,” jawabnya. “Nama saya Sukir, Pak.”
“Baik, hari ini saya belikan dua ekor dulu.”
Sukir senang sekali dibelikan dua ekor sapi limosin dewasa. Dia juga dibelikan HP android baru. Satu lagi, dia dibelikan motor. Senangnya. Diajak makan di warung makan yang enak juga. “Jangan sampai ada orang yang tahu ya,” pinta Dr. Salman.
“Baik, Pak.”
“Satu yang paling penting, kenapa ustadzah Ana tidak mau saya lamar? Apa ada pria lain? Kemudian dana pesantren, dari mana itu?”
***
Malam ini Sukir bingung. Bagaimana caranya untuk mencari info tentang ustadzah Ana? Aneh. Seharusnya kan Pak Salman minta tolong sama orang cerdas, paling tidak ustadz yang mengajar di lembaganya ustadzah Ana. Tetapi, pikirnya, mungkin ini cara Allah memberi rizki. Dia bersyukur sekarang punya dua ekor sapi milik sendiri, sapi limosin lagi. HP-nya juga baru.
Setahu Sukir, banyak orang yang membantu pembangunan pesantrennya ustadzah Ana. Apalagi, dengar-dengar, beliau buka toko di kota. Mungkin dari situ bisa bangun gedung pesantren. Sedangkan mengenai kenapa tidak mau bersuami, wah, mana tahu? Dirinya jadi takut, tapi ingin dapat 8 ekor sapi.
Sehabis dzuhur Sukir melihat mobil ustadzah Ana keluar. Ia pun memberanikan diri mengikutinya. Ia menjaga jarak agak jauh biar tidak dicurigai. Setibanya di kota, dilihatnya ustadzah Ana berbelok ke samping toko. Sukir yakin itu tokonya ustadzah Ana. Dilihatnya di dalam toko ada wanita tua, tidak ia kenal. Jadi penasaran, orang mana dia.
Ia coba cari lokasi yang enak untuk mengamati, berapa lama kira-kira ustadzah Ana di tokonya. Sukir menepi di bawah pohon di pinggir jalan. Rupanya menjelang ashar ustadzah Ana baru keluar dari tokonya. Sukir mengikutinya lagi, siapa tahu ada tujuan lain. Rupanya beliau langsung kembali ke pesantren. Ngapain di toko? Sukir jadi bertanya-tanya.
Sepertinya, biar lebih jelas, Sukir harus pura-pura beli sesuatu di tokonya ustadzah Ana dan ngobrol dengan yang jaga.
***
Pagi ini, usai merumput, Sukir ke tokonya ustadzah Ana, mencoba cari tahu tentang beliau. “Cari apa, Mas?” tanya Mak Da.
Sukir melihat-lihat produknya. Pura-pura aja dia ingin lihat madu, “Coba lihat itu, Buk.” Mak Da mengambilkan madu yang ditunjuk Sukir. “Ustadzah Ana ke sini tiap hari, Buk?” tanyanya.
“Iya,” jawab Mak Da dengan santai.
“Ibuk orang mana?”
Mak Da pun menjawab dengan jujur.
“Orang gunung ya,” kata Sukir.
“Iya.”
“Naik apa ke sini?”
Mak Da jadi curiga. Buat apa orang ini banyak tanya. “Ada yang anterin,” jawabnya.
Sukir mau nanya, sebenarnya, barangkali ustadzah Ana pernah bicara soal kawin lagi, tapi, pikirnya, terlalu cepat. Ia pun membeli madu tadi dan pergi.
***
Rupanya Mak Da merasa cemburu juga sering melihat ustadzah Ana bersama Hamdi di situ. Jadi ingin juga dia. Ia pun memakai parfum dan bedak pengasihan buatannya sendiri. Tentu saja Hamdi mengetahuinya. Ilmu itu kan turunan dari almarhumah Mak Halima, turun ke Hamdi, terus diajarkan ke Mak Da.
Tetapi, Hamdi tidak mau mengecewakan istrinya. Dia penuhi saja keinginan Mak Da. Merasa berhasil, Mak Da pun jadi rutin memakai bedak dan parfum pengasihan saat jaga toko.
***
Malam ini Sukir tidak segera tidur. Ia jadi penasaran, orang mana sebenarnya Pak Salman itu. Apa dia malaikat ya? Pikirnya, malaikat yang ditugaskan Allah untuk mengantar rizkinya. Info tentang kenapa ustadzah Ana tidak mau menikah dengan Pak Salman belum ia dapatkan. Mau masuk ke dalam pesantren, tidak mungkin.
Daripada pusing, ia pun browsing-browsing, lumayan, dia juga diberi uang lumayan banyak oleh Pak Salman. Senang juga kalau punya HP baru dan banyak uang. Tak terasa, ia tertidur. Bangun tidur ia langsung teringat ustadzah Ana, ingin segera tahu pasti, ingin dapat info yang dibutuhkan Pak Salman agar segera dapat 8 ekor sapi.
Saat merumput, ia teringat Pardi, temannya yang kerja bangun pesantrennya ustadzah Ana. Nah, berarti, Sukir kan bisa tanya dia. Tapi, kalau Pardi tidak bisa jaga rahasia, bisa bahaya. Tidak jadi. Usai merumput, ia coba ke tokonya ustadzah Ana lagi. Mengamati dari jarak agak jauh. Sampai lupa sholat dia.
Tak lama kemudian terlihat mobil ustadzah Ana. Sukir pun segera ke sana. Sempat sekilas ia melihat ustadzah Ana bersama seorang pria yang ia tidak tahu namanya beriringan ke belakang. Tetapi, Sukir tidak bisa fokus, dia tergoda oleh pesona Mak Da, pesona pelet cinta. “Cantik,” kata Sukir. Keceplosan dia.
Mak Da kaget. Ia segera menyadari, pasti itu efek bedak pengasihannya. “Ada suami saya,” bisik Mak Da pada Sukir. "di dalam.
Sukir terus menatap Mak Da.
Ah, Mak Da punya ilmunya untuk mengatasi pria begitu.
Belum ada Komentar untuk "BAB 21: Mata-mata Ustadz Kaya"
Posting Komentar