BAB 18: Rumah Buat Ustadzah Ana
Hari ini banyak sekali yang order produk Hamdi dari para dropshippernya. Sebagian besar resellernya juga order lebih dari biasanya, katanya permintaan cukup banyak. Pikir Mak Da, barokah pesantren ini. Mak Sari sepakat. Pikir mereka, sedekah untuk anak menuntut ilmu itu berkah. Yuli tidak begitu paham, dia diam saja.
Hamdi senang sekali, puas sekali bisa mendapatkan wanita secantik ustadzah Ana. Tetapi, dirinya sangat khawatir, khawatir ada orang yang tahu rahasia dirinya. Apalagi ustadzah Ana tidak tinggal bersama dirinya. Itu beresiko sekali. Bisa jadi di sana dia bicara dengan banyak orang. Bisa jadi keceplosan cerita. Ah, Hamdi kok jadi ketakutan.
Ustadzah Ana duduk merenung di kamar. Beliau masih tak paham dengan apa yang terjadi kemarin. Dirinya telah nekad menikah dengan seorang donatur yang baru saja dikenalnya, nikah rahasia lagi. Bagaimana kalau hamil? Beliau bingung. Mau KB, tidak mungkin. Nikahnya tidak secara resmi.
Siang ini beliau ingin berada di dekat suami, tapi takut. Kalau terlalu sering, bisa cepat hamil. Pikiran beliau jadi kacau. Pernikahan ini malah bikin tidak fokus urus pesantren. Beliau tidak paham kok bisa kemarin mau saja diajak nikah? Sama sekali tidak terpikirkan akibatnya. Sepertinya beliau harus musyawarah baik-baik dengan Hamdi. Beliau pun ke sana.
Tiba di depan rumahnya Hamdi, ustadzah Ana jadi khawatir, takut ada orang yang mengenali mobilnya. Tetapi, ia nekad aja dulu masuk. Mak Da dan Mak Lastri menyambutnya. Si Yuli belum bisa bersikap ramah. Hamdi langsung mengajaknya ke kamar.
“Saya mau bicara dulu, Mas,” pinta ustadzah Ana.
Hamdi tidak tahan melihat kecantikannya. “Bicara apa?”
“Bagaimana kalau saya hamil?”
Hamdi kaget. Tak terpikirkan olehnya. Rahasianya akan bocor kalau ustadzah Ana hamil. Hamdi bingung. Ini beresiko
“Kenapa kita tidak nikah resmi saja?”
“Tidak mungkin. Saya tidak punya ilmu agama.”
Ustadzah Ana menyesal. Sadar dirinya telah melakukan hal bodoh. Hamdi meniup wajah ustadzah Ana. Beliau jadi tunduk. Hamdi pun beraksi. Lupa lagi dia kalau apa yang dilakukannya bisa jadi bumerang.
“Kenapa mas melakukan lagi?”
Hamdi dikuasai hasratnya, lupa dengan resikonya. “Saya akan cari solusinya.”
“Kenapa mas tidak jalani pernikahan yang normal saja, tidak rahasia seperti ini?”
Hamdi jadi bersedih. Teringat masa lalu sebelum dirinya terjerat dosa besar. Seharusnya dirinya jadi manusia normal, hidup bebas, bahagia bersama istri dan anak. Itu lebih baik, sebenarnya, daripada banyak harta seperti sekarang, tapi hidup tidak bebas. Mau menyerahkan diri ke polisi, sepertinya, pikirnya, itu bukan jalan untuk bertaubat. Apa sebaiknya melepas ustadzah Ana? Tapi, ia tidak mau kehilangan wanita cantik ini. Sudah terlanjur.
“Kenapa mas tidak jawab pertanyaan saya?”
Hamdi bingung. “Saya seorang pendosa yang ingin bertaubat.”
“Dosa apa?”
Hamdi rasa, ia tak perlu menceritakannya pada Ustadzah Ana. Sepertinya ia tidak perlu tahu. Tetapi, sepertinya, ia pikir, sebagai istri, sudah selayaknya ustadzah Ana tahu. “Saya pernah membunuh pria yang selingkuhi mantan istri dulu.”
“Astaghfirullah,” Ustadzah Ana kaget mendengarnya.
“Pikiran saya gelap waktu itu karena sakit hati menyaksikan istri bersamanya.”
“Terus, jadi buronan?”
“Iya.” Sejenak mereka terdiam tanpa kata. “Makanya saya mendonasikan harta saya untuk pesantren, saya harap, dengannya dosa saya terampuni.”
Rumit. “Saya juga khawatir yang mau ke sini, takut ada yang mengenali mobil saya dan curiga.”
Hamdi kaget, benar juga. “Sebaiknya kamu segera pulang. Saya cari solusi lain,” kata Hamdi, tampak ketakutan.
Ustadzah Ana pun segera pamit.
***
Hamdi mengajak musyawarah ketiga istrinya mengenai ustadzah Ana. “Kasih minum jamu itu aja,” kata Mak Da. “Kalau ingin tidak hamil.” Dirinya sudah biasa bikin racikan jamu untuk pasangan yang tidak ingin hamil. “Atau saya kerja di sana saja.”
“Jangan,” kata Hamdi. “Di sini malah kurang.”
“Hahahahaa….” ketiga istrinya tertawa.
“Sepertinya harus disediakan rumah, biar dia tidak ke sini,” kata Hamdi. “Sekalian buat toko.”
“Atas nama siapa tokonya?” tanya Mak Lastri.
“Terserah,” kata Hamdi. Asal jangan atas nama saya.
Ketiga istrinya saling pandang. “Atas nama Ustadzah Ana saja,” kata Mak Da. Pikir Yuli, kenapa tidak atas nama dirinya aja? Tapi, dirinya kan sudah diberi tanah.
“Mak Da mau jaga di sana?” tanya Hamdi.
“Boleh.”
Dengan begitu jadi lebih aman.
BAB 19: Al Quran Jadi Sahabat
Dengan akun samarannya, Hamdi mencoba mencari tanah pinggir jalan di beberapa grup jual beli di Facebook untuk membangun toko. Dengan cepat banyak yang komentar, tapi kebanyakan bukan di pinggir jalan, bahkan ada yang dipinggir sungai. Bahkan ada tetangga di kampung halamannya, bikin Hamdi teringat orang tua dan saudaranya. Tetapi akhirnya ada juga yang menawarkan bangunan di pinggir jalan, yaitu di Jalan Pelita. Itu kawasan lumayan ramai.
Hamdi bersama Mak Da dan Yuli berkunjung ke rumah pemilik bangunan tersebut mengendarai mobilnya. Mereka pun melihat bentuk bangunannya. Lumayan, masih ada sisa tanah di belakang dan samping. Bisa buat parkir mobilnya. Sudah ada kamar mandinya juga, bahkan ada ruangan seperti gudang di lantai duanya. Harganya Lumayan tinggi, tapi biar cepat segera jalan tokonya, Hamdi pun tidak terlalu banyak nawar, yang penting jelas. Menurutnya, itu wajar mahal karena berada di daerah strategis buat bisnis. Bangunan tersebut pun jadi dibeli.
Ustadzah Ana menerima WA dari Hamdi tentang bangunan yang baru ia beli. “Alhamdulillah,” sujud syukur beliau. Lumayan buat tambahan dana pesantren. Rupanya, walau nikah sirri dan sangat dadakan, Allah menunjukinya seorang pria baik, meskipun agak aneh, pikir beliau.
“Nanti, Mak Da yang jaga tokonya,” lanjut WA Hamdi. “Jadi, kita bisa sering bersama di sana, aman kan.”
Ustadzah Ana terdiam sejenak. Berarti madunya yang jaga tokonya. Beliau pikir, diserahkan pada dirinya seutuhnya dan beliau carikan karyawan buat jaga. Ada sedikit rasa khawatir untuk bertemu madu. Memang sih, dua kali bertemu madunya yang tua, mereka baik, ramah. Beliau iyakan saja, daripada sulit bertemu suaminya.
Sepertinya pelet Hamdi masih kuat melekat sehingga Ustadzah Ana tak begitu berpikir resiko ketahuan orang. Ingin ketemu Hamdi terus.
“Di belakang masih ada sisa tanah, rencana tak buat kamar kita.” Ustadzah ana paham maksudnya. “Di atas ada sih ruangan, tapi buat gudang aja.” Ustadzah Ana setuju aja.
“Jualan apa?” tanya ustadzah Ana.
“Herbal,” jawab Hamdi. Pikirnya, kalau jualan obat kebutuhan para suami, kurang pantas karena atas nama seorang ustadzah pimpinan pesantren. Pikirnya, di online banyak yang bisa suply produk herbal.
Ustadzah ana setuju aja.
Mak Da mencari tukang untuk membangun kamar di belakang toko tersebut. Cuma bangun ruangan kecil, tidak butuh waktu lama.
***
Ustadzah ana meminta orang kepercayaannya untuk mengurus surat izin pendirian toko. Izin beres, toko bisa segera dibuka. Nama toko juga ustadzah Ana yang buat, yaitu Toko Asy Syifa.
Hari ini Hamdi dan keempat istrinya berkunjung ke tokonya yang belum dibuka. Bersantai aja di sana, di halaman belakang, duduk lesehan di bawah pohon kersen menikmati makanan ringan. Ustadzah Ana semakin yakin Mak Da dan Mak Lastri baik. Mereka sudah tua, tidak tampak ekspresi cemburu. Beda dengan Yuli, walau dia senyum-senyum, tapi ustadzah Ana paham. Beliau melihat tanda kecemburuan di raut wajahnya.
“Assipa ya namanya,” kata Mak Da.
“Hahahahaa...” beliau kesulitan mengucap Asy Syifa. Maklum orang desa dan sudah tua. Bikin tertawa aja.
“Dandannya yang cantik nanti kalau jaga toko,” kata Hamdi.
***
Suply barang datang sekitar jam 2 siang, dikirim dari Sidoarjo. Hamdi segera menata semuanya. “Barangnya sudah datang,” ia kirim WA ke ustadzah Ana. Hamdi nekad nyetir mobil sendirian tadi, padahal tidak punya SIM. Yaa…. ingin berduaan dengan sang istri tercantik. Ustadzah Ana pun ke sana. Hamdi menyuruhnya langsung ke belakang.
Bebas bercinta kalau begini.
Habis mandi Hamdi dan Ustadzah Ana bersantai di halaman belakang. Sambil bersandar ke bahu Hamdi, beliau tanya-tanya, “Mas bisa ngaji kan?”
Hamdi jadi teringat masa kecilnya, teringat waktu di pesantren. Rasanya, dirinya sudah jauh tergelincir. Dirinya sholat, baca Quran juga, tapi itu seakan hanya sampingan. Tidak seperti waktu di pesantren dulu. Sekarang sibuk urus dunia. “Bisa,” jawabnya.
“Coba baca,” pinta Ustadzah Ana.
“Mana Qurannya?” tanya Hamdi.
Ustadzah Ana tertawa. “Yang dihafal saja.”
“Takut salah.”
“Di HP, Mas?”
“Tidak ada.”
Ustadzah Ana mengambil HP Hamdi, buka playstore. Ia download applikasi Al Quran.
Hamdi tertawa. Ia pun membaca surat Al Waqiah. Surat yang biasa dibacanya karena katanya bikin rizki jadi lancar.
Ustadzah Ana langsung menegur Hamdi karena menurut beliau bacaannya tidak benar. “Makhorijul hurufnya yang pas,” kata beliau. “Pelan-pelan bacanya. Tirukan saya,” kata beliau.
Hmm… Indahnya suaranya. Hamdi menirukannya.
Ustadzah Ana menilai lidah Hamdi salah tempat dalam mengucapkan huruf. “Lihat lidah saya,” kata ustadzah Ana.
Hamdi melihatnya. Hmm… Malah mikir kemana-mana. Jadi tidak tahan dia.
“Banyak latihan ya,” kata Ustadzah Ana. Beliau ambil lagi HP Hamdi. Beliau download video syekh Misyari Rasyid, Syekh Abdurrahman Al Ossy, Syekh Mansur As salimi, Syekh Fahd Al Kanderi. “Ni… Tirukan cara beliau membaca Al Quran.”
Cinta yang indah. Hamdi merangkulkan tangannya ke leher Ustadzah Ana dan menciumnya.
***
Malam ini Hamdi terbangun sekitar jam 1 malam. Dia mandi dan sholat malam. Lalu merenung kejadian tadi siang bersama ustadzah Ana di belakang toko. Dilihatnya wajah istrinya, Mak Lastri, yang sudah terlelap tidur. Seakan dirinya hidup kembali. Seakan selama ini dirinya mati. Cantik sekali ustadzah Ana. Sungguh nikmat yang tak terkira Allah izinkan dirinya memilikinya. Dirinya malah bertanya-tanya, apa rencana Allah untuk dirinya, mengenalkan dirinya pada ustadzah Ana?
Bidadari cantik yang pernah ia lihat di dunia ini. Dilihatnya beberapa video yang tadi didownload oleh ustadzah Ana. Hamdi coba putar dan ia dengarkan menggunakan headset. Bikin ia teringat salah seorang ustadznya di pesantren dulu, yang pernah juara Qiroat. Indah suaranya. Jadi kangen pesantren, jadi ingin main ke pesantrennya ustadzah Ana.
***
Pagi ini Hamdi memutar murottal para syekh menggunakan sound di rumah. Istri-istrinya kaget. Tidak biasanya. Biasanya orang kampung putar suara orang ngaji kalau pas ada acara saja, seperti nikahan, acara kematian, atau menjelang waktu sholat maghrib dan subuh. Tetapi, enak juga suaranya, bikin tenang.
“Kapan mulai buka tokonya?” tanya Mak Da.
“Hari Rabu,” jawab Hamdi. Memang banyak orang desa memulai kebaikan pada hari Rabu. Entah kenapa.
Belum ada Komentar untuk "BAB 18: Rumah Buat Ustadzah Ana"
Posting Komentar