BAB 15: Sang Buronan Terjebak Cinta
“Maafkan saya, Abah, Umi.”
Itu kalimat terakhir Sofi, sekaligus penutup statusnya sebagai menantu. Sofi pulang ke rumah orang tuanya. Pak Haji dan Bu Haji tidak menyangka menantunya akan melakukan perbuatan keji itu. Kini anak sulung mereka jadi buronan. Nama keluarga tercoreng. Kerabat Hanif memusuhi mereka. Cobaan yang cukup berat.
Hamdi lari ke daerah pinggiran, tak tau mau tinggal dimana, ia berjalan saja menyusuri persawahan hingga pagi tiba. Ia melihat rumah gubuk. Ia mencoba mendatanginya, barangkali ada tempat untuk dirinya. “Assalamualaikum,” tak ada jawaban. Ia ulangi lagi, tak ada jawaban. Karena kelelahan dan ngantuk juga, ia duduk di depan rumah tersebut dan tertidur.
Hamdi merasakan ada yang menggoyang-goyang tubuhnya. Perlahan ia buka mata. Dilihatnya ada seorang perempuan seusia uminya berdiri di dekatnya. Ia bangkit, duduk. “Siapa?” tanya perempuan itu.
“Saya Hamdi, Buk.”
“Rumahnya dimana?”
“Saya tidak punya rumah.”
Sepertinya wanita itu tahu Hamdi berbohong. “Kamu dikejar orang ya?” tanya wanita itu.
Hamdi kaget. “Kok ibu tahu?”
Wanita itu tertawa. “Sudah, sini, masuk,” ia mengajak Hamdi masuk ke rumahnya.
Hamdi senang, tapi masih agak takut, tapi pasrah ikut saja masuk ke rumah itu. Sangat terasa aroma bau kemenyan.
“Saya Mak Halima,” kata Perempuan itu. “Saya tinggal sendiri di sini. Kalau kamu mau, tinggal di sini saja.”
Hamdi bimbing. Suasananya menyeramkan di rumah tersebut. Dia khawatir wanita itu bukan wanita baik, tapi ia bingung juga, kalau tidak mau tinggal di situ, mau dimana? Hamdi pun mau.
“Istrimu itu tidak tahan karena jarang kamu sentuh,” kata Mak Halima.
Hamdi kaget. Pikirannya mulai mengingat-ingat hari-harinya di rumah. Sepertinya, itu benar. Ia terlalu berambisi mikir harta, sampai lupa memperhatikan istri, terlalu fokus pada urusan bisnis. Siang malam, yang dipikir, hanya bisnis.
“Padahal memegang tangan istri saja, guru dosa. Tapi, dia sudah pergi dari kehidupanmu. Kamu lupakan saja dia.”
Hamdi menghela nafas dalam.
“Kamu istirahat saja dulu, aku buatkan makan.”
Di situ hanya ada satu tempat tidur, dimana nanti Hamdi tidur? Ah, di lantai tidak apa-apa, pikirnya. Tapi lantainya tanah, rumah itu hanya gubuk dari anyaman bambu, ular atau kalajengking bisa masuk. Ngeri juga. Ia duduk saja di kursi. Aroma masakannya beda sekali. Sepertinya Hamdi tidak menyukainya. Entah masakan apa itu.
Mak Halima selesai masak dan menghidangkannya untuk Hamdi. Beliau juga makan. Rupanya enak juga rasanya meskipun aromanya masih asing bagi Hamdi. Lahap sekali dia makannya. Sepiring masih kurang. “Nambah lagi,” kata Mak Halima. Untung ditawarin, Hamdi agak malu untuk nambah lagi. Dia nambah nasi sepiring lagi.
Belum habis makanannya Hamdi merasakan hasrat birahi yang sangat tinggi. Dia kaget dan menghentikan makannya. Nafasnya menjadi berat, detak jantungnya sangat cepat. Dia bingung. Pikirannya jadi seperti melayang. Dia letakkan makanannya dan menghampiri Mak Halima. Dia berusaha merangkul tubuh Mak Halima dan menciumnya. Rupanya Mak Halima pandai silat, dia melompat dengan gesit, Hamdi tersungkur di tanah.
“Tunggu sini...!!” kata Mak Halima. Lalu keluar.
Hamdi seperti tak punya tenaga, tapi hasrat birahinya sangat tinggi, seperti singa sedang kelaparan. Dia diam saja tergeletak di tanah. Lama sekali Mak Halima pergi. Tapi akhirnya datang juga bersama tiga orang lelaki tua. “Sini bangun!” kata Mak Halima. Hamdi bangun dan duduk bersila di tanah. Ia kaget melihat tiga pria tua bersama Mak Halima.
Mak Halima ambil air di timba di dapur menggunakan gayung. “Sini, wudhu,” katanya.
Hamdi nurut saja. Pikirannya jadi agak tenang, tapi hasratnya masih tinggi.
“Kalau mau tidur sama saya,” kata Mak Halima. “Harus nikah dulu.” Hamdi tidak begitu mampu berpikir, dia mengiyakan saja. “Saya minta maskawin al fatihah saja,” katanya.
Tiga pria itu tertawa. “Wanita sholihah murah maharnya,” katanya. Mak Halima tertawa.
Salah seorang dari mereka menghampiri Hamdi dan memegang jemarinya Hamdi, “Siapa namanya?” tanyanya. Hamdi pun menyebutkan namanya. ”Saya nikahkan....” Hamdi pun menerimanya. Kedua saksi berucap sah. Mak Halima memberi uang tiga pria itu dan mereka pun pergi.
Mak Halima mengajak Hamdi ke ranjang. Belum beliau buka pakaiannya, Hamdi sudah melompat dan menindihi tubuh Mak Halimah dengan sangat agresif. Mak Halima tertawa. “Buka baju dulu,” kata beliau. “Baca bismillah dulu,” kata beliau lagi. Entah ramuan apa yang Mak Halima berikan pada Hamdi. Keduanya memadu cinta seakan berjalan di taman surga yang amat luas, menyusuri jalanan tak bertepi.
Matahari mulai meninggi. Hamdi terbangun. Rupanya ia tertidur sehabis bercinta tadi. Ia turun dari ranjang. Dilihatnya Mak Halima sedang meracik sesuatu. Hamdi mendekatinya, menciumnya. Mak Halima balas mencium Hamdi juga, “Mencium suami itu pahala,” kata Mak Halima. “Di ranjang tadi, pahalanya seperti jihad melawan orang kafir di medan perang.” Hamdi sudah tahu itu. Hamdi menciumi Mak Halima lagi. “Ayo, mandi,” ajak Mak Halima. Beliau mengajaknya keluar dan ke belakang rumah, agak jauh berjalan menuruni tebing, di sana ada sungai. Rupanya mandinya di sungai.
***
Habis makan siang, Hamdi minta lagi. Sore, lagi. Malamnya lagi. Wah, jadi manusia aneh dia. Mak Halima turuti saja. Paginya ia minta lagi tapi ada tamu. Tunda dulu. Mak Halima belum mau orang jauh tahu ada Hamdi di situ. Ia suruh Hamdi ke dapur. Mak Halima menemui tamunya di depan rumah. Dia menggelar tikar di sana.
Hamdi tak sengaja mendengar obrolan mereka. “Anu, Mak. Adik saya ini sudah tiga tahun menikah, tapi belum punya anak,” katanya. “Sudah periksa ke dokter, katanya normal.” Rupanya Mak Halima ahli pengobatan alternatif.
Mak Halima ke dalam. Ia ambil ramuan yang sudah dibungkus di dalam lemari di dapur. Ia sempatkan mencium Hamdi lalu keluar lagi. “Minum ini,” kata Mak Halima. “Istrinya suruh minum juga.”
Boleh juga bisnisnya, pikir Hamdi. Kalau dikembangkan, bisa jadi bisnis besar.
Belum ada Komentar untuk "BAB 15: Sang Buronan Terjebak Cinta"
Posting Komentar