BAB 11: Istri Marah
Ima mengadu pada Fikri kalau Pak De-nya, menurut Ima, agak usil. Ima takut dan merasa terancam. Lagi-lagi Fikri merasa tidak enak sama Bu De-nya. Dulu waktu mau pindah ke rumah ini, dia merasa tidak enak pada mertuanya. Sekarang mau pindah lagi, bagi Fikri, rasanya malu sekali dia. Tetapi, menurutnya, wajah istrinya sama sekali tidak menunjukkan ekspresi rasa malu. Mungkin karena sudah biasa.
“Pindah besok ya,” kata Ima, agak berbisik, takut didengar Bu De-nya di kamar sebelah.
Mendadak banget. Fikri masih mikir mencari alasan. Tidak biasa dia dadakan begitu. Harus mencari alasan yang tepat dulu, tidak enak sama Bu De-nya, entar dikira ada apa-apa pindah lagi. Bisa saja dikira tidak suka sama Pak De-nya. Meskipun itu memang benar, tapi kan tidak pantas bersikap seperti itu.
Ima menatap Fikri. Dia sudah menebak, dari ekspresi wajah suaminya, dia pasti sedang bingung. Ima menciumnya. “Tidur aja dulu biar fresh mikirnya,” kata Ima sambil mendorong tubuh suaminya. Dia memang pintar menenangkan pikiran galau suaminya.
***
“Punya suami tidak berguna…!!” Sofi marah karena semalam ditinggal tidur lagi oleh Hamdi.
Pak Haji dan Bu Haji yang masih di tempat sholat kaget mendengarnya. Mereka sangat kenal suara itu, itu suara menantunya di kamar sebelah. Keduanya saling pandang, tanpa suara, berusaha mendengar kelanjutannya.
“Lebih baik saya pulang saja…!!” kata Sofi lagi.
Hamdi bingung. Pagi ini dia berencana berkunjung ke salah satu rekan petani untuk membicarakan bisnis obat-obat pertanian. Hamdi berencana jualan obat-obatan pertanian di rumah. Dia bingung dengan sikap istrinya. Tak paham apa yang membuatnya marah. Rasanya Hamdi ingin menamparnya saja, tapi bukan lelaki kalau kasar sama perempuan. Begitu yang diajarkan abahnya.
Sofi ambil tas dan membuka lemari. Hamdi bengong. Pikirnya, disaat suami sedang sibuk membangun bisnis, seharusnya didukung. Ia teringat wanita di acara pertemuan kelompok tani, senangnya jika suami istri saling dukung seperti mereka. Wanita hebat, pikirnya. Dia kagum melihat wanita bisa mandiri seperti itu, meskipun uminya sendiri tidak bekerja. Sofi menghubungi sepupunya minta jemput.
“Aku aja yang antar,” Hamdi mencoba membujuknya.
“Tidak usah…!!” Ekspresi Sofi sangat marah.
Tak ada masalah selama ini. Sungguh aneh, pikir Hamdi, mendadak sekali perubahan sikapnya. Pak Haji dan Bu Haji menahan diri, tidak mau ikut campur dulu. Percuma orang lagi marah diajak bicara. Biarlah Sofi pulang dulu ke rumah orang tuanya, nanti bisa berkunjung ke sana bicara baik-baik. Tak lama kemudian sepupu Sofi datang. Sofi tidak menyalami mertuanya, “Kayak tidak punya suami…!!” tambah Sofi ketika berdiri di teras, lalu pergi.
Beberapa tetangga mendengar ucapan Sofi yang penuh amarah. Mereka melihat Sofi pergi dengan sepupunya. Hamdi hanya berdiri di teras menyaksikannya. Dengan cepat satu per satu tetangga mendengar kabar dan sampai juga ke rumah Bu Salma. Ima pun segera mengajak suaminya ke rumah orang tuanya untuk mencari tahu lebih jelas. Bu Salma ikut.
“Biasa perempuan,” kata tetangga sebelah. “Nanti balik lagi.”
“Habis sholat, tiba-tiba marah-marah,” kata Hamdi.
Ibuk-ibuk sudah paham. Wanita memang seperti itu, kadang tidak ada angin, tidak ada ombak, tiba-tiba marah-marah. Yang penting, lakinya harus sabar. Begitu kata mereka. Perempuan itu, pagi marah, sore sudah sayang lagi. Banyak yang memberi nasehat Hamdi agar sabar.
***
Rupanya Pak Haji, Buk Haji dan Hamdi gagal mengajak Sofi kembali. Dia masih marah. Mungkin butuh beberapa hari bagi Sofi untuk menenangkan diri. Hamdi tidak mau pusing. Dia terus saja memulai bisnisnya. Dengan support dana dari komunitas tani, dia mulai jualan. Dia juga nekad ternak ikan di tanaman padinya.
Ima mengajak bicara Bu De-nya. “Umi sendirian sekarang, Bu De,” katanya. “Ima mau balik saja, kasihan umi,” pintanya. Padahal dia mau pindah karena merasa terganggu oleh suami Bu De-nya.
“Iya sudah, kasihan dia,” kata Bu De-nya.
BAB 12: Cinta Yang Lain
Sekarang Fikri lebih tenang di rumah ini karena istri Hamdi tidak di sini lagi. Apalagi Hamdi sudah terlihat sangat sibuk dengan bisnisnya, sepertinya sudah tidak akan cemburuan lagi. Tetapi, Fikri masih khawatir kalau nanti istri Hamdi kembali, bisa jadi Hamdi cemburu lagi pada dirinya. Fikri juga khawatir dengan sikap istri Hamdi, sering memandang dirinya dengan pandangan yang tidak biasa. Untung istri Fikri bukan tipe wanita pencemburu.
“Kayaknya, jualan enak ya,” kata Ima pada Fikri. Sepertinya dia terinspirasi kakaknya, Hamdi. Daripada diam saja di rumah, kan lumayan penghasilannya.
Berfikiran maju sih bagus. Menurut Fikri itu bagus. Tetapi, rasanya bagi Fikri kurang patut seorang istri bekerja atau bisnis. Nanti kan ada anak, itu yang utama, menurutnya. Kalaupun mau jualan, mungkin dirinya saja yang menjalankan, jika memang cukup potensial.
***
Sore ini Pak Haji, Bu Haji, Hamdi, juga Ima hendak menjemput Sofi. Fikri tidak ikut. Mereka naik motor, rombongan. Pak Haji sudah menyiapkan strategi jitu agar menantunya itu mau kembali. Fikri malah jadi bimbang. Masih dia ingat dulu tatapan Sofi padanya. Kalau Sofi mau kembali lagi, rasanya Ia ingin pindah rumah lagi, tapi kemana?
Mungkin emosi Sofi sudah mereda atau strategi Pak Haji cukup jitu. Ia pun mau ikut kembali. Hamdi memboncengnya. Fikri menunggu mereka di ruang depan. Tak lama kemudian mereka tiba. Benar dugaan Fikri. Setibanya di rumah, Sofi memandang Fikri dengan tatapan manja. Fikri segera memalingkan pandangan dan segera mengajak Ima ke kamar.
Sebenarnya Sofi masih marah, tapi dia ingin mencoba, apakah suaminya malam ini akan membahagiakan dirinya atau tidak. Jika tidak, ia berniat pulang lagi saja. Tetapi, mungkin karena sudah agak lama tidak seranjang, Hamdi merasa kangen dan memeluk erat istrinya. Sofi senang. Malam ini mereka lalui dengan penuh cinta. Bahkan paginya pun nambah lagi.
***
Namun, terjadi lagi. Sudah seminggu Sofi kembali ke rumah ini. Hamdi seakan lupa lagi pada dirinya. Sofi sangat marah. Ditambah lagi ia mendapat tugas baru karena suaminya jualan. Tentu dia harus bantu urus barang dagangan. Capek rasanya jika suaminya terus-terusan begitu. Masak harus ia tinggal lagi hanya untuk mendapatkan malam-malam bahagia?
“Saya berharap nanti kita punya toko besar,” kata Hamdi. Sofi melirik jam di dinding, sudah hampir jam 10 malam. Ini sudah bukan waktunya bicara soal bisnis. “Siapa tahu bisa bangun rumah, beli mobil,” lanjut Hamdi. Sofi menunggu topik bisnis dihentikan oleh suaminya. Di kamar sebelah Sofi mendengar desahan adik iparnya.
Pagi tanpa kebahagiaan. Sofi menjaga barang dagangan di teras depan. Rasanya, seperti bersuami benda mati dia. Ada tetangga sebelah, Hanif, menghampirinya, “Beli racun serangga, Mbak. Ada?” Sofi mencari produk yang dimaksud dan memberikan pada Hanif. Lumayan banyak yang beli walau produknya belum begitu banyak. Kadang ada yang pesan online juga.
Pagi ini Sofi mencoba memakai pakaian yang menurutnya cukup seksi, mungkin dengan begitu suaminya lebih tertarik. Make up-nya juga berubah. Sambil jaga barang dagangan, dia memang browsing-browsing tips cantik. Ima kaget melihat perubahan kakak iparnya itu. Lebih kaget lagi Fikri. Pikirnya, jangan-jangan mau menarik perhatian Fikri. Untuk siapa dia berdandan?
Hanif hendak membeli pupuk. Dia kaget melihat penampilan Sofi. Namanya anak bujang, masih sering menghayal, dia tergoda. Biasanya Sofi tidak berdandan seperti itu. Dibuat lama dia lihat-lihat produk. Cantik sekali pikirnya. Tetapi, tidak enak juga kalau terlalu lama. Akhirnya ia segera membeli pupuk yang ia butuhkan. Tetapi Hanif masih kurang puas melihatnya. Ia masih penasaran. Ia mencoba ke ruang tamu rumahnya, dari sana ia bisa melihat Sofi. Dari situ ia bisa berlama-lama melihat Sofi. Cantiknya menggoda.
Hanif masih berusia 20 tahun, lebih muda dari Sofi. Dia bertani sejak kecil, pendidikannya hanya sampai SMP. Ayahnya sudah meninggal waktu dia masih SD, di rumah ia tinggal bersama ibunya yang menderita sakit, sakit di kaki kanannya, jadi jarang keluar. Hanif terus memandangi Sofi. Punya tontonan baru sekarang.
***
Malam ini Hanif ke rumah temannya yang Pak De-nya punya ilmu pelet. Ia meminta pelet yang super. Ia ditawari media asap, foto dan pasir. “Foto sama pasir saja.” Menurut Hanif itu lebih mudah. Ia bisa ambil foto Sofi dengan mudah, dia juga bisa menaburkan pasir dengan mudah. Paginya ia melancarkan aksinya. Dari ruang tamunya dia foto Sofi. Lalu pura-pura beli racun serangga sambil bawa pasir yang sangat halus. Kamera HP juga ia nyalakan videonya. Pura-pura saja lagi nelfon, padahal ambil video Sofi.
Target kena.
Malam ini Hamdi merasa lelah sekali. Dia langsung tidur. Jam sudah menunjuk pukul 11, Sofi belum bisa tidur. Tiap malam juga begitu, tak ada gunanya ditunggu. Tiba-tiba Sofi merasa seperti ada yang memanggilnya. Dia ke belakang, membuka pintu belakang, keluar, dan menutupnya lagi. Rupanya Hanif sudah menunggunya. Sebenarnya dia sangat takut, pertama kalinya ia berbuat jahat, istri tetangga lagi yang jadi sasaran. Tetapi, nafsu sudah membutakan. Dia langsung menarik Sofi ke rumahnya, lewat pintu belakang rumahnya dan langsung ke kamarnya.
***
Pagi ini Sofi bahagia sekali. Dia semangat sekali menjaga toko, bahkan promosi online lebih giat. “Saya ke sawah dulu ya,” Hamdi pamit.
“Iya, banyak yang nanyak nih,” katanya. Biasanya jarang menanggapi, sekarang tampak ceria sekali dia.
Hamdi biasa aja. Memang kurang memperhatikan istrinya, jadi tidak tahu kalau ada perubahan. “Semoga banyak yang beli,” katanya, lalu pergi.
“Aamiin.”
Belum ada Komentar untuk "BAB 11: Istri Marah"
Posting Komentar