Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

Dijodohkan Dengan Bude

______________
______________

Dijodohkan Dengan Bude

Sehabis sholat Ashar, Ibrohim menelfon keluarga di rumah, hendak memberi kabar bahwa bulan depan dia akan pulang. Dia sudah menuntaskan semua pelajaran di pondoknya. Sebenarnya bukan tuntas segala ilmu, tapi di pondok tempat ia belajar, memang tidak semua ilmu yang ada diajarkan, sesuai levelnya.  “Langsung kawin ya pulangnya,” kata umminya. Umur Ibrohim sudah 23 tahun. Menurut ukuran orang desa, sudah cukup umur. Apalagi tanah warisan keluarga banyak, tak perlu cari kerja.

“Iya, Mi,” jawab Ibrohim. Urusan kawin gampang, pikirnya. Bahagia itu bukan karena punya ini dan itu. Bukan wajah cantik istri yang bikin bahagia, pikirnya, bahagia bersama itu lebih indah. Tetapi, tetap saja dia ingin yang cantik. Mereka yang pilih-pilih istri, ujungnya juga tak sayang sama istri. Mungkin karena wajah tak cantik lagi atau tubuh tak indah lagi. Paling sayangnya di awal-awal aja. Ibrohim tak mau repot, yang penting happy aja dah.

Ibrohim anak seorang kyai, tapi abahnya sudah meninggal dunia. Dia anak bungsu. Umminya sudah sepuh, sudah tidak begitu normal akalnya. Kadang ngelantur bicaranya. Tetapi, namanya istri kyai, tetap dihormat oleh keluarga dan masyarakat. Perkataannya masih dianggap keramat. “Sudah ada calon?” tanya umminya lewat telefon.

Pilihan orang tua dan guru itu berkah. Begitu yang diyakini Ibrohim. Ia tidak tahu kalau umminya sudah kurang normal akalnya. Maklum, fokus belajar, lama tidak pulang dari pondok. “Belum. Ummi saja yang pilihkan,” jawab Ibrohim. Seperti apapun, namanya istri, harus disayang. Tak usah banyak syarat, pikirnya.

“Iya, sudah,” kata umminya. “Nanti pulang langsung nikah.”

Ibrohim senang sekali. Dia menghayal akan tidur bersama wanita cantik nanti. Wah, selama ini ia hanya bisa berkhayal. Saat melihat wali santri berkunjung membawa anak gadis, hmm... Bulan depan, Ibrohim akan memilikinya. Rasanya sudah cukup ia berkutat dengan kitab. Kini tiba saatnya menikmati sedikit keindahan dunia. Asal tidak lupa akhirat, pikirnya, boleh-boleh saja.

Umminya berpesan pada mbaknya Ibrohim, Neng Nina. Beliau ingin Ibrohim menikah sama Neng Fatma. Neng Nina kaget. Pikirnya, pasti umminya lagi ngelantur. Neng Fatma dulu memang cantik. Beliau mantan istri keempat Kyai Shiddiq, kakak sepupu abahnya. Tetapi, sekarang umurnya sudah 55 tahun, sudah tua, sudah punya cucu. Hm… Tetapi, Neng Nina tidak berani membantah, bisa dimusuhi semua anggota keluarga dan orang sekampung kalau menentang umminya.

Neng Nina pun menyampaikannya pada Nyai Fatma, panggilan akrabnya sekarang. Ibrohim dan Neng Nina manggil beliau BuDe. Nyai Fatma kaget. Beliau tertawa. Namanya orang sudah sepuh, sudah tidak normal akalnya dipercaya untuk milih jodoh, ya, jadi ngelantur. Beliau iyakan saja. Pikir beliau, nanti akan berubah juga. Tersebarlah kabar tersebut. Sebagian keluarga memang kaget mendengarnya, tapi tidak berani membantah. Mereka meyakini perkataan istri kyai itu keramat.

***

Bulan berikutnya.

Ibrohim bersiap pulang. Gembira sekali dia. Dia bercerita pada teman-temannya kalau setibanya di rumah akan segera menikah. “Pasti seru ya kalau udah nikah,” katanya pada temannya. “Tak sabar bayangin malam pertama.” Meskipun tidak tahu seperti apa calonnya, dia sangat bahagia. Sepanjang jalan ia berkhayal malam-malam indah bersama gadis cantik. Bahkan hingga terbawa mimpi.

Tiba di rumah. Ia disambut dengan hadrah. Meriah sekali. Sepertinya sudah siap akan segera dilangsungkan acara pernikahan. Meriah sekali, dihadiri orang banyak. Apalagi dia sudah bertahun-tahun tidak pulang. Sudah banyak rindu. Dia juga sudah banyak menghafal kitab, ilmunya sudah banyak, sudah siap melanjutkan memimpin lembaga pendidikan yang dipimpin almarhum abahnya, madratsah ibtidaiyah, yang kini kurang terurus.

Ibrohim langsung menyalami umminya, Pak Denya, dan semua keluarganya, serta para tetangga. Satu yang belum ia lihat, calon istrinya dan calon mertuanya. Umminya memanggilnya, “Ini calon istrimu,” kata umminya menunjuk Nyai Fatma di sampingnya. Ibrohim kaget. Mau ketawa dia, dikira umminya bercanda. Memang beliau kadang bercanda. Tetapi, kok orang-orang pada diam, berarti serius. Nyai Fatma juga mau tertawa sebenarnya, tapi ditahan. Pikir Ibrohim, kok ummi jadi aneh? Tetapi, tidak boleh menentang ummi. Doanya makbul. “Sebentar lagi akad,” kata umminya lagi. Langsung nih.

Waduh. Gawat. Soal umur sih tidak masalah, menurut Ibrohim. Tapi, yang jadi masalah, beliau kan BuDenya, dan dulu beliau mengajar Ibrohim di madratsah sebelum ia belajar di pesantren. Bahkan dirinya pernah disuruh berdiri karena lupa menghafal hadits. Beliau sangat disegani. Ibrohim sudah menganggapnya seperti orang tua sendiri. Bahkan sebelum berangkat mondok dan masa-masa awal mondok, beliau yang sering menasehati Ibrohim.

Akad nikah dilangsungkan. Maskawinnya mengajarkan Al Quran. Ibrohim kaget. Jadi teringat saat sekolah dulu. Kalau salah, bisa dihukum oleh Nyai Fatma. Sah. Semua saksi berucap sah. Hmm… 

Ibrohim OK saja, happy aja. Iya jalani saja, Allah pasti menghendaki yang terbaik.

Bab 2: Malam Pertama dengan Bude

Malam sudah sepi. Sudah waktunya tidur. Ibrohim masih asyik ngobrol dengan semua anggota keluarga, kerabat dan teman-temannya di teras rumahnya. Ia merasa biasa aja, tidak seperti pengantin baru. Pernikahannya hanya karena mematuhi orang tua saja. Tak lama kemudian mereka semua pada pulang untuk tidur. Ibrohim disuruh tidur di rumah Nyai Fatma yang kini sudah sah menjadi istrinya. Dia bingung. Aneh-aneh saja, pikirnya.

Ia pun ke rumah Nyai Fatma, masih satu halaman. Dilihatnya nyai Fatma sedang duduk di ruang depan. Ibrohim masuk dan bersalaman, cium tangan, seperti salaman sama ibu. Nyai Fatma mau tertawa. “Mau tidur?” tanya beliau, tak tahan juga nahan tawa.

Ibrohim pun ikut tertawa, tapi ia tahan. ”Kok bisa begini, Bude?” kata Ibrohim.

“Lah, katanya kamu yang minta dicarikan jodoh ke ummimu?”

Ibrohim duduk di depan Nyai Fatma, di lantai. “Saya itu tidak tahu kalau kondisi ummi sudah begitu. Tak pikir masih normal.”

Nyai Fatma tertawa. “Terus?”

Ibrohim memandang Nyai Fatma. “Kita jadi suami istri?”

Nyai Fatma tertawa. “Sudah sah kan.”

Ibrohim garuk-garuk kepala sambil tertawa.

“Ya sudah. Ayo ke kamar,” ajak Nyai Fatma. “Sudah malam.”

Nyai Fatma berangkat duluan ke kamar. Ibrohim berdiri, tapi masih mikir untuk melangkah. Hmm... Rasanya tidak sopan banget. Beliau Budenya sekaligus ustadzahnya, yang mendidiknya dulu. Sudah diajari sopan santun, jangan dekat-dekat guru, tidak sopan. Duduk aja sebaiknya di bawah, di lantai. Sekarang? Masak tidur seranjang?

Nyai Fatma keluar lagi. “Kok masih di situ?” tanyanya.

Waduh. Ibrohim tambah bingung. Ini serius? Pikirnya. Ia paksakan melangkah ke kamar pengantin. Tiba di pintu kamar, dilihatnya nyai Fatma berbaring. Hmm... Laki-laki normal sih pasti tergoda. Meskipun sudah tua begini, tapi kan namanya wanita, tetap indah dipandang. Ibrohim melangkah masuk dan duduk di tepi ranjang.

“Tidur sini aja,” kata nyai Fatma, mempersilahkan Ibrohim tidur di sampingnya.

Perlahan Ibrohim membaringkan tubuhnya di samping nyai Fatma. Telentang kakau dengan sikap sempurna kayak anak sekolah sedang upacara. Lalu ia coba menoleh ke Nyai Fatma. Hmm.... rasanya.... Begini rasanya dekat perempuan. Ia segera mengalihkan pandangannya. Rasanya tidak sopan sama bude.

“Sebagai istri,” kata Nyai Fatma. “Sudah jadi kewajibanku.”

Jantung Ibrohim jadi tidak menentu. Deg...!! Deg...! Deg...!! Mau ngapain? Pikirnya. Masak sama bude, sama ustadzah, mau ngelakuin kayak suami istri? “Maksud Bude?” tanyanya. Bertanya karena bingung sebenarnya.

Nyai Fatma tertawa. “Kamu kan suamiku sekarang.”

Nafas Ibrohim jadi ngos-ngosan seperti habis main bola. Ia berusaha menenangkan diri. Ia miringkan badannya ke arah Nyai Fatma. Sejenak ia pandang wajah nyai Fatma yang sudah amat dekat jaraknya dengan wjahnya. Nyai Fatma tertawa. Ibrohim coba mau mencium beliau, tapi ia batalkan. “Maaf, Bude,” katanya.

Nyai Fatma tertawa. “Kalau kamu mau, sudah halal kok.”

Sebagai lelaki normal, Ibrohim sudah tidak tahan sebenarnya. Tetapi, Nyai Fatma kan orang yang selama ini dia hormat. Rasanya ia ingin ganti posisi saja. Nasib…!! pikirnya. Seharusnya malam pertama itu indah, bercinta dengan wanita cantik, bercumbu mesra, malah jadi canggung begini, karena yang jadi istri orang yang ia hormat. Sebenarnya tidak apa-apa sih langsung hajar aja, pikirnya, tapi... hmm... kan jadi tidak sopan.

“Ya sudah, kalau kepingin, bilang ya,” kata Nyai Fatma. “Aku ngantuk, mau tidur.”

Tak lama kemudian nyai Fatma terlelap. Ibrohim memandanginya. Wanita memang indah dipandang. Sebenarnya sudah halal. Tancap gas aja, pasti nikmat nih. Tapi... Dengan lancang, ia mencoba mendekatkan wajahnya pada wajah Nyai Fatma. Pikirnya, sudah halal, sudah boleh dinikmati kan. Ia cium pipi istriya. Ia kecup keningnya, ia kecup bibirnya. Tak bisa digambarkan rasanya.

Tetapi, dia malah merasa bersalah. Rasanya tidak sopan. Sebenarnya ia ingin lebih dari itu, tapi...? Ibrohim duduk dan memandangi keindahan istrinya. Ia cium lagi pipinya. Nikmat juga rupanya. Ah, jadi tidak seru malam pertamanya. Canggung amat.

Bab 3: Gagal Malam Pertama, Paginya Sukses

Habis sholat subuh, Ibrohim menyapu lantai. Pikirnya dulu, kalau udah nikah, mau buat kejutan buat istri, ia sendiri yang urus rumah dan yang masak. Ia kan jago masak di pondok. Pasti istrinya bahagia. Tapi, karena yang jadi istrinya bude yang sekaligus ustadzahnya, ya, sudah sepantasnya dirinya melakukan hal itu semua. Murid kan memang wajib mengabdi pada guru.

Habis nyapu ia ke dapur. “Saya bantu, Bude,” katanya. Manggilya tetap bude meskipun sudah melewati malam pertama. Tapi, gagal sih malam pertamanya gara-gara canggung.

Nyai Fatma tersenyum. “Tadi malam kok tidak bangunin aku?” tanya Nyai Fatma.

Waduh…! Kok malah alih topik. Ibrohim garuk-garuk kepala. Dipandangnya tubuh nyai Fatma dari ujung kepala hingga ujung kaki. Udah halal semua ni, pikirnya. “Takut ganggu bude tidur,” jawabnya. “Telurnya mau digoreng, Bude?” tanyanya kemudian mengalihkan topik.

“Kamu suka?”

“Dibuat telur mata sapi enak.”

“Ya sudah, tak buatkan.”

“Saya aja, Bude, yang bikin.”

“Aku kan istrimu, wajib mengabdi pada suami.”

Hmm… Jadi bingung. Inginnya sih silat-silatan sama istri, tapi kok tidak enak kalau orang terhormat. Ia duduk saja.

Nyai Fatma jadi mikir juga. Dirinya sudah jadi istri. Mungkin Ibrohim sungkan, pikirnya. Sepertinya harus ditawari biar dia tidak sungkan. Coba nanti habis sarapan. Tak lama kemudian sarapa siap. Nyai Fatma dan Ibrohim duduk berhadap-hadapan di meja makan.

Kalau istrinya bukan orang terhormat, ia ingin menyuapi istrinya sih, bercanda di meja makan. Jadinya kaku deh. Makan aja ia tidak berani banyak-banyak. Padahal kalau di pondok, dua piring kadang masih nambah. Sekarang sungkan ada ustadzahnya.

“Ibrohim,” kata nyai Fatma. “Kita sudah sah.” Ibrohim menebak-nebak maksudnya. “Istri wajib melayani suami.” Duar….!! Jadi tegang semua badan Ibrohim. “Tidak usah sungkan. Aku sudah jadi istrimu.”

Ah, jadi kayak roket mau meluncur aja. “Sekarang, Bude?” tanyanya. Sudah sejak tadi malam sebenarnya tidak tahan.

Nyai Fatma mau tertawa. Tidak enak sebenarnya pagi-pagi. Tapi, wajib kan menuruti kemauan suami. “Kalau kamu kepingin, boleh.”

Yes. Tancap gas. “Iya sudah, Bude.” Nafasnya jadi kayak kereta. Sepertinya sudah hilang rasa sungkannya. Mungkin karena tidak tahan.

Nyai Fatma berangkat duluan ke kamar. Ibrohim mengikutinya. Pikir Ibrohim, nikmat itu dari Allah. Nikmati dan syukuri aja. Lagian, ini dari Allah. OK. Ia kunci pintu kamar dan tancap gas.

Akhirnya… Gagal malam pertama, sukses pagi pertama.

Ibrohim senang sekali walau masih ada rasa canggung. Los aja dah. Terbang ke angkasa angannya, menejlajahi indahnya taman surga dunia.

“Aku mandi dulu ya,” kata nyai Fatma.

Cantiknya. Ibrohim juga mandi sehabis nyai Fatma mandi. Usai mandi, dilihatnya nyai Fatma sedang berdandan di depan cermin. Hmm… Menggoda. Tapi, ia jadi canggung lagi. Tidak sopan banget rasanya. Kalau saja bukan orang terhormat, ingin ia peluk cium. Ibrohim duduk di ranjang menyaksikan istrinya lagi berdandan.

Fresh rasanya. Nyai Fatma merasa muda lagi. “Bagaimana rencanamu ke depan?” tanyanya pada Ibrohim.

Ibrohim pikir pertanyaan itu tentang lembaga pendidikan yang dulu dipimpin abahnya. “Saya coba buka program tahfidz Quran Bude,” jawabnya. “Saya punya banyak teman yang punya pesantren, banyak program menarik yang dilaksanakan di pesantrennya, salah satunya tahfidz Quran.”

“Ada dananya?” tanyanya sambil menyisir rambutnya.

“Saya coba sambil bisnis.”

“Memang bisa urus madratsah sambil bisnis?”

“Insya Allah.”

“Kalau sudah bisnis, biasanya sibuk dengan bisnis. Ntar terabaikan madratsahnya.”

“Tapi kalau tidak bisnis, malah gampang terpancing untuk menjadikan madratsahnya alat cari uang.”

“Na’udzubillah.”

Usai dandan nyai Fatma merasa games pada Ibrohim. Ia cubit hidung Ibrohim, “Iiiiihhhh…!! Gemes aku…!! Terlalu agresif kamu tuh…!!” katanya sambil tertawa.

Ibrohim kaget. Mau bercanda juga. Ia tarik lengan Nyai Fatimah, ia peluk dan ia rebahkan di ranjang.

“Eh…!! udah siang…!! Udah siang…!!” kata Nyai Fatma. “Ntar lagi ada tamu…!!”

Ibrohim tertawa. Ia kecup bibirnya, lalu turun dari ranjang.

bersambung...

Belum ada Komentar untuk "Dijodohkan Dengan Bude"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel