Featured post

Menikahi Janda Kaya Untuk Biaya Kuliah

BAB 1: Makan Malam Masakan Ibu Kost Ada orang ketuk pintu. Rian membuka kamar kostnya. Rupanya ibu kostnya, Bu Rahma. "Ibuk masak agak ...

BAB 7: Ungkapan Cinta Untuk Bos

______________
______________

BAB 7: Ungkapan Cinta Untuk Bos


Bab 5 dan 6

Ada dua pemuda membeli es buah.  Lumayan sepi siang ini. ”Kenapa tidak kuliah aja?” tanya yang satunya.

“Tanggung kuliah di Indonesia itu,” jawab yang satunya. Andi mendengarkan percakapan mereka. Percakapan pelajar memang menarik baginya. “Mending aku mantapkan dulu bahasa Arab, ntar mudah cari beasiswa ke Timur Tengah.”

“Tidak minat ke Eropa?”

“Wah… Bahasanya. Daripada kelamaan mantapkan bahasa Inggris, mending fokus tingkatkan bahasa Arab saja, sudah punya basic.”

“Aku langsung kuliah saja, mumpung lagi semangat belajar.”

“Aku inginnya sampai S3, makanya ingin ke timur tengah sekalian. Lulus dari sana kan gampang dapat pekerjaan, mau cari beasiswa untuk S2 pun tidak begitu sulit.”

Andi jadi semakin termotivasi. Dia bayangin 10 tahun ke depan, pasti mereka yang menempuh pendidikan dengan gigih akan berbeda dengan yang hidup biasa-biasa. Dunia bisnis juga lumayan menjanjikan masa depan cerah, tapi dari beberapa referensi yang ia baca dan tonton di YouTube, jalannya tidaklah mulus. Hidup memang penuh perjuangan.

***

Andi langsung ke kamarnya sehabis meletakkan gerobak. Ia langsung sholat isyak dan berencana makan malam di warung depan. Tetapi, rupanya bosnya mengajaknya makan malam bersama. Ya sudah, tidak enak juga mau nolak, sudah dimasakin.

Dari sikapnya, Andi semakin yakin bosnya merasa nyaman ada dirinya di dekatnya. Bosnya bahagia Andi menemaninya.

“Saya berencana pulang kampung, Mbak,” kata Andi saat makan. Ia nge-test aja.

Bosnya kaget. Andi mencoba mengamati ekspresinya. “Kok… ?” beliau tampak kaget. “Kenapa…? Tidak suka tinggal di sini ya?” Kalau hanya karena tidak suka tinggal di situ, kan bisa kost lagi.

“Rencana aja sih, Mbak.”

“Di sini aja kenapa?! Apa ada yang tidak menyenangkan?”

“Tidak sih.” Sepertinya Andi sudah yakin bosnya suka, dari ekspresinya. Ia coba test dengan topik lain. “Tidak enak aja sih, Mbak, kita kan bukan mahrom, tinggal serumah.”

Bosnya tampak bingung. Dia berhenti makan, lalu minum. “Terus...?” Tatapannya memaksa minta kepastian. Ekspresi wajahnya tampak serius.

Andi jadi kaget. Sepertinya dirinya sudah bermain api, dan api itu sudah berkobar. Bingung untuk menjawabnya. Pikirannya jadi tegang. Tetapi, ini lebih baik, daripada tidak ada kejelasan. Andi siap jika memang harus diusir.

“Kamu ingin yang sah?” tanyanya lagi, mendesak.

What…?! Andi kaget. Dugaannya benar. Dirinya istimewa bagi bosnya. Kasihan sebenarnya, tapi dia juga cantik, seksi, menggoda. Sungkan rasanya, dia lebih tua, bosnya juga, sudah sukses. Sedangkan Andi anak buahnya, lebih muda, bukan orang kaya. Terbalik posisinya. “Mbak mau?” Terlanjur tenggelam, berenang sekalian.

“Aku yang seharusnya nanya.”

Sebenarnya bagi Andi tidak masalah. Dia suka juga. Hanya saja, mungkin ibu dan saudara-saudaranya di kampung akan menganggapnya aneh nikahin janda yang umurnya sudah jauh lebih tua dari dirinya. “Mbak cantik.” Tak sengaja sebenarnya kata tersebut terucap. Andi bingung mencari kata-kata.

Elin tersenyum. Tampak bahagia. Tidak ia duga. Berani juga Andi bilang dirinya cantik di hadapannya. Padahal, Andi hanya keceplosan saja. Jadi terasa romantis bagi Elin. “Mas Andi serius?”

Hmm… Pertanyaan sederhana yang masih berat untuk dijawab. Tetapi, Andi kan sudah lulus, sudah bukan siswa lagi. Sudah dewasa. “Jika mbak mau, saya siap,” jawabnya.

Merekah cinta.

Walau bukan yang pertama, tapi rasanya….

Dunia jadi tampak indah bagi Elin. Entahlah, seperti cinta pertama saja. Pertama kalinya Andi nyatakan cinta pada seorang wanita. Malam yang semakin sunyi membuat suasana jadi tambah romantis. Elin tak mampu berkata-kata, hanya tersenyum menatap Andi. Manisnya. Andi membalas senyumnya.

BAB 8: Lamaran

Dia cantik. Dia baik. Sudah cukup matang. Cantiknya, sikapnya, kepribadiannya, Andi suka. Indah. Hidup akan indah bersamanya, begitu pikir Andi. Maju saja. Yakin. Andi akan menikahinya. Andi pulang kampung untuk sementara, hanya untuk menyampaikan niat baiknya untuk menikahi Elin, bosnya sendiri. Ibunya sudah tua, ayahnya sudah tidak ada. Kakaknya jauh merantau. Hanya ada Pakdenya yang bisa menggantikan ayahnya.

Awalnya Andi ragu ibu dan pakdenya akan direstui. Tetapi, rupanya mereka menganggap takdir tak bisa ditolak. Kalau sudah jodoh, tidak akan bisa dihalangi. Syukurlah. Andi segera memberi kabar Elin via video call. Kaget. Tak percaya. Elin sujud syukur. Sejenak ia berkesempatan untuk berbicara dengan calon mertuanya. Bangganya punya calon menantu cantik.

Pakdenya dan ibunya mempersiapkan segala keperluan lamaran.

Elin anak tunggal. Ayahnya sudah tiada. Ibunya entah kemana, sejak cerai dengan ayahnya, beliau pergi tanpa kabar. Saudara dari ayahnya pada tidak akur dengan keluarga dari ibunya, termasuk pada Elin. Satu-satunya anggota keluarga yang masih kadang komunikasi adalah anak sepupu ibunya yang sekarang bekerja di Saudi Arabia.

Lamaran Andi tak disambut keluarganya, hanya dia sendiri. Ibunya Andi tak menyangka anaknya akan dicintai wanita secantik Elin dan kaya. “Kami hanya orang miskin,” kata ibunya Andi. “Ingin sebenarnya menguliahkan Andi, tapi biaya yang tidak ada.” Elin menanggapinya dengan senyum. “Saya kaget mendengar Andi bilang mau melamar Nak Elin, dia bilang bosnya. Kata saya, kok mau sama kamu?”

“Mas Andi baik,” kata Elin.

Tidak disangka oleh Andi dirinya bisa sejauh ini. Rasanya kemarin dia masih berada di bangku kelas berseragam abu-abu. Sebentar lagi dirinya akan menjadi seorang suami. Ada rasa ragu, tapi melihat Elin, tak mau kehilangan kesempatan. Ia yakin akan bahagia.

***

Pagi ini Andi main ke tempat kost lama, menemui Rian. “Aku bawa kue ni,” katanya setibanya di sana. Rian baru saja selesai jemur cucian.

“Banyak sekali?” Rian kaget melihatnya.

“Iya, kemarin sore acara lamaran.”

“Lamaran?!” Rian kaget mendengarnya. “Kamu lamaran?”

Andi menanggapi dengan senyum.

“Serius, Di? Kamu melamar bosmu?”

“Iya.”

“Mantap....!!”

“Kamu bagaimana?”

“Apanya?”

“Tidak lamaran juga?”

“Mau melamar siapa?”

“Hahaha... Kirain dah ada.”

“Jangan ngawur,” Rian paham, yang dimaksud Andi ibu kost yang baik. “Aku lagi nunggu pengumuman.”

“Daftar dimana?”

“UNESA,” jawabnya sambil mencicipi kue.

“Semoga lulus.”

“Aamiin. Terus, kapan kamu nikah?”

“Bulan depan.”

“Waaahh... dah dekat banget tu. Gimana rasanya, dah mau ngerasain surga dunia?”

“Hahahaaa... pikirannya....!”

“Atau... jangan-jangan udah....?”

“Eh...!! tidak ya.... Ngawur. Imanku masih kuat.”

“Kamu serumah sama calonmu, gimana kalau pas malam?”

“Ya, biasa aja.”

“Tidurnya bareng?”

“Tidak lah. Kalau bareng, berabbe.”

“Enak paling ya….”

“Jangan menghayal…!”

“Hahahahaa...”

“Makanya, segera cari calon.”

“Waduh, jangan. Fokus kuliah aja dulu. Kecuali nemu yang bikin hati jadi gimana gitu...”

Belum ada Komentar untuk "BAB 7: Ungkapan Cinta Untuk Bos"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel