Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

Bab 21: Elin Hamil

______________
______________

 Bab 21: Elin Hamil

Bab 19 dan 20

Untungnya dulu tidak jadi nikah lagi. Elin hamil. Kata dokter kembar. Waahh… Senangnya. Rupanya vonis mandul tidak selamanya benar. Andi senang sekali. Hampir saja menikah lagi. Jika itu terjadi, bisa rumit urusannya.

“Ayah jangan nakal ya,” canda Elin. “Sudah ada adiknya loh…” Senangnya.

Mungkin rezeki anak, dua bulan terakhir, pendapatan bisnisnya meningkat. Terasa mudah sekali mendapatkan uang. Tidak disangka, berawal dari info lowongan dulu. Ternyata kini san bos akan jadi ibu anak-anaknya.

Andi tersenyum saja mendengar candaan Elin. Bingung juga, pikirnya, saat hamil begini, tidak bisa beraksi di ranjang. Malah jadi mikir ingin nambah istri, tapi tidak tega. “Nggak papa...”

“Idih... Libur dulu ya... Hehe...”

Andi tertawa. “Yang penting posisinya aman.”

“Dasar laki-laki…!!” Elin gemes.

“Hehe...”

“Ayah ingin yang laki, atau yang perempuan?”

“Kan kembar... Terserah Allah, yang penting sehat. Banyak baca sholawat biar jiwanya terang.”

“Kalau laki dan perempuan, lengkap.”

***

Rian belum bisa tidur. Tadi siang ia mengungkapkan cintanya pada Olivia. Sungguh tidak ia duga, rupanya Olivia menolak cintanya. Pikirnya, cewek aneh, sok jual mahal. Menurutnya, seharusnya cewek itu beruntung ada yang menyukainya. Pikirnya, jaman sekarang, cewek lebih sulit mendapatkan pasangan.

Rian masih belum bisa menerima penolakan Olivia. Dia masih yakin Olivia mau pada dirinya. Rian seperti lupa kalau dirinya sudah punya istri walau istri rahasia. Bahkan sehari ini dia lupa untuk bercinta dengan istrinya. Kuliahnya juga terasa tak jelas arahnya. Tidak seperti yang ia bayangkan dulu.

Pagi tiba. Sekitar jam 8 Rian menemui Olivia. “Maaf, Rian. Aku masih ingin fokus kuliah.”

Ah, Rian kecewa, tapi tidak tahu kecewa pada siapa. Pikirnya, rumit sekali. Pikirannya galau dan langsung pulang. Dia tidak jadi kuliah hari ini. Marah, tapi tidak tahu marah pada siapa. Dilentangkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit. Saat ada beban di pikirannya, Bu Rahma sangat ia butuhkan. Ia pun menghubunginya.

“Loh, tidak kuliah?”

“Tidak.”

Bu Rahma pun datang.

Tanpa basa-basi, Rian langsung beraksi biar lepas segala beban pikirannya.

Bab 21: Elin Hamil


***

“Mas, kalau anak kita besar nanti, Mas ingin dia jadi apa?” tanya Elin saat duduk santai memandangi bunga-bunga.

Andi tersenyum. “Jadi ulama sufi,” jawabnya.

Elin kaget. “Hah...?! Kok ulama sufi?”

“Ulama itu orang berilmu. Sufi itu orang yang senang mensucikan hati. Orang yang hatinya selalu disucikan biasanya terang hatinya dan tentram jiwanya.” Elin mendengarkan sambil tersenyum. “Maka dia akan hidup bahagia, bahkan membuat orang di sekitarnya bahagia.”

“Maksudku, jadi dosen, apa jadi direktur, apa jadi menteri...”

Andi tertawa. “Buat apa? Hidup itu yang penting bahagia. Buktinya, kita tidak jadi apa-apa, Allah kasih rizki yang banyak. Dikasih istri cantik.”

“Cieeee.....!!”

Ada tamu seorang wanita seumuran Elin. Elin dan Andi menyambutnya. “Mau lihat-lihat bunga,” katanya. Maksudnya mau beli bunga.

“Ow, monggo silahkan,” kata Elin sambil menunjukkan tanaman bunganya.

“Mau beliin suami. Sama dokter disuruh sering-sering lihat tanaman segar.”

“Sakit apa, Mbak, suaminya?”

“Lupa saya nama penyakitnya. Kata dokter karena stress, terlalu banyak mikir.”

“Kerja apa?”

“Direktur perusahaan.”

Elin kaget mendengarnya. Pikir Elin, kasihan juga ya. Dia kira jadi direktur itu keren, banyak uang. Ternyata banyak beban pikiran. Andi sempat tergoda sama kecantikan tamunya ini. Hmm... Cantiknya. Dasar jiwa lelaki. Untungnya kuat iman.

“Beli 10 ya yang polibek besar ini,” kata wanita tersebut.

Waaahhh... Rezeki memang tidak tertukar.

Bab 22: Rian Menikah Lagi

Waktu terus berlalu. Tak terasa. Rian sudah menyelesaikan kuliah S1-nya. Bu Rahma tetap setia menemaninya. Bahkan ia menawarkan kalau Rian mau lanjut S2. baik sekali, tapi Rian merasa malu. Aneh memang, ia kuliah dan hidup dengan harta istri. Tetapi, pikirnya, ini kesempatan.

Rian pun lanjut kuliah S2. Bu Rahma yang biayai.

Malam ini Rian tidak bisa tidur. Dia menatap langit. Sungguh memalukan apa yang dilakukan dirinya. Sebenarnya, tak patut ia lakukan. Bu Rahma itu istrinya. Tetapi, ia kuliah dengan hartanya. Ia hidup juga dengan hartanya. Bahkan ia juga yang memuaskan hasrat biologisnya. Mau dianggap ibu angkat, tapi jadi teman bercinta.

Siang ini Rian merasa tak enak makan. Padahal Bu Rahma masak masakan yang cukup enak. “Kenapa?” tanya Bu Rahma melihat Rian tidak semangat makan.

Rian meletakkan sendok di piring dan memandang Bu Rahma. Bu Rahma pun menghentikan makannya juga. Rian menghela nafas. “Bagaimana perasaan Bu Rahma selama ini?” tanya Rian.

“Kok nanya gitu? Kenapa?”

“Aku tidak mungkin sanggup membalas kebaikanmu. Kamu berikan semua yang kamu miliki untukku: hartamu, bahkan tubuhmu. Padahal aku suaminya. Seharusnya akulah yang melakukan itu.”

Bu Rahma tersenyum. “Aku bahagia kok.”

***

Rian mendapat kesempatan untuk mengajar, jadi dosen di kampusnya. Walau belum selesai kuliah S2, rupanya dia diterima juga. Lumayan, dapat pemasukan. Jadi sedikit berkurang rasa malunya.

“Belum ada calon, Pak?” tanya Bu Silvi, salah seorang dosennya dulu yang sekarang satu ruangan dengan Rian.

Rian tersenyum saja. Maklum, beliau tidak tahu kalau Rian sudah punya istri. “Belum, Bu. doakan saja,” jawabnya.

Bu Silvi lebih tua dari Bu Rahma. Beliau beliau lebih gemuk badannya dan lebih pendek. Sebenarnya ada dua dosen wanita yang masih belum bersuami. Kadang Bu Silvi nyomblangin mereka ke Rian. Tetapi, sepertinya ada yang aneh pada Rian. Sejak ditolak Olivia dulu, dia jadi tidak suka wanita muda.

Bahkan karena seringnya dicomblangin oleh Bu Silvi, Rian malah ada ketertarikan pada beliau. Beberapa hari yang lalu Bu Rahma menawarkan Rian agar nambah istri. Katanya Bu Rahma sudah semakin tua, kesehatannya tentu menurun. Rian jadi melirik Bu Silvi. Pikirnya, bisa buat ganti selera.

Malamnya Rian mencoba inbox Bu Silvi via WA dengan nomor baru. “Bu Silvi tidak ingin bersuami lagi?”

“Ini siapa? Kalau Allah menghendaki, insya Allah.”

Rian tidak memberi tahu kalau dirinya yang inbox, yang penting Rian tahu kalau masih ada peluang. Sepertinya dia malah jadi lebih berhasrat melihat wanita yang lebih tua. Aneh sebenarnya, menurut Rian, semakin tua, tampak semakin mempesona.

“Kalau saya lamar jadi istri say, mau?” Rian inbox lagi.

“Ini siapa?”

Bu Silvi Punya dua anak. Anak pertamanya jadi direktor sebuah perusahaan di Jakarta. Anak keduanya menjadi dosen di Australia. Mereka sudah sukses semua. Anak pertamanya mempunyai 2 anak, sedangkan yang di Australia sudah memunyai 4 anak. Bu Silvi ditinggal suami saat kedua anaknya masih SMA. Suaminya meninggal karena penyakit stroke.

Di usianya yang sudah tua, beliau tinggal sendiri. Harta banyak, tapi anak cucu tidak bersamanya. Dulu pernah jadikan anak tetangga sebagai anak angkat, tapi sekarang dia juga pergi merantau ke Malaysia.

Beliau tidak menolak sebenarnya andai ada yang mau menikahi dirinya, biar hidupnya tidak kesepian. Tetapi, tentu harus jelas calonnya.

“Boleh saya bertamu ke rumah anda?” balas Rian.

“Anda kenal saya dari mana?”

Rian nekad,”Saya Rian, Bu.”

Bu Silvi kaget. Pikirnya, kok Pak Rian aneh begini? Beliau pun mengira ini bukan Pak Rian mahasiswanya dulu yang kini jadi dosen. “Rian siapa?” Beliau mencoba memastikan.

“Mahasiswa ibu yang kini jadi dosen juga.”

Astaghfirullah... Pria ini lebih pantas jadi anak beliau. Bu Silvi tidak menduga mahasiswanya ini punya kelainan seperti ini. “Maaf.” Lalu beliau matikan HP-nya.

***

Di kampus, Rian bersikap biasa saja sama Bu Silvi. Sedangkan Bu Silvi sudah enggan sekali melihat Rian. Menjijikkan sekali menurut beliau. Rian tahu itu. Tetapi, Rian tidak peduli itu. Hasratnya sudah menguasai dirinya. Dia pun main senjata ghaib. Rian minta bantuan kyai Sakir. Kebetulan meja Bu Silvi dekat dengan meja Rian. Mudah sekali ia menabur pasir di kursi dan di meja beliau.

Malam ini menjadi beda bagi Bu Silvi. Beliau tidak bisa tidur, terus gelisah, terbayang Rian. Beliau mencoba menalihkan pikirannya, tapi tidak bisa. Beliau mencoba mendengarkan musik kesukaannya agar lupa Rian, tapi malah tambah ingat dia. Beliau mencoba ambil foto almarhum suami, tapi malah terbayang wajah Rian.

Tiga malam berlalu. Bu Silvi menyerah. Beliau yakin ini takdir. “Iya, aku mau jadi istrimu.”

Rian pun menikahi beliau.

Bukan pernikahan untuk mencari berkah, tapi pemuas hasrat anehnya. Seperti singa buas mendapat tubuh baru, tubuh Bu Silvi. Walau sudah tua, tapi itu yang diharap Rian, baginya bisa mengobati kebosanan pada istri pertamanya.

Bu Silvi sah menjadi istri Rian.

Rian dengan buasnya seperti singa memangsa mangsanya.

***

“Bagus ya mobilnya,” Elin menunjukkan gambar mobil di brosur. Tadi ada pembeli bunga yang ternyata seorang marketing mobil, dia menawarkan mobil pada Andi.

“Kemahalan,” kata Andi. “Mending buat sedekah aja. Fungsi mobil buat jalan aja.”

Elin tersenyum.

Tamat

Belum ada Komentar untuk "Bab 21: Elin Hamil"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel