BAB 13: Hari Pertama di Kampus
Rian parkir motor di pojok. Ada beberapa mahasiswa dan mahasiswi sedang bersantai di tempat parkir. Beda banget suasananya dengan dunia sekolah. Rasanya seperti main saja, karena tidak pakai seragam. Dia menuju loby, mencari info ruangan yang digunakan untuk ospek (orientasi study dan pengenalan kampus) hari pertama.
“Mahasiswa baru, Mas?” Ada yang menyapanya.
“Iya.”
“Katanya di aula ya? Dimana ya?” Rian juga belum tahu. “Oya, saya Herman.”
“Rian.”
Keduanya pun berjalan mencari gedung aula. “Coba tanya mbak cantik ini,” kata Herman, melihat ada mahasiswi berjalan berlawanan arah. “Mbak, aula dimana ya?”
“Di lantai dua. Ospek ya?”
“Iya.”
Rian dan Herman segera ke lantai dua. Sudah lumayan ramai, tapi masih belum mulai. Mereka memilih duduk di luar dulu, dekat pintu. “Bisa pemrograman, Mas?” tanya Herman.
“Belum. Belum sama sekali.”
“Ow, gampang kok. Saya sudah setahun belajar sendiri di online.”
“Saya baru tertarik dengan dunia IT, waktu sekolah tidak begitu minat.”
“Enak, Mas, kalau mahir IT, peluangnya besar. Pemrograman dibutuhkan dimana-mana.”
“Iya. Saya baca-baca di internet begitu.”
“Sudah punya pacar, Mas?”
Waduh. Kok malah bahas topik cinta. Rian jadi bingung. “Belum,” jawabnya. Padahal sudah punya istri.
“Saya baru putus. Mau cari lagi, siapa tahu ketemu yang sip.”
Ah, bikin Rian jadi ingin juga. Datang beberapa mahasiswi.
“Yang kerudung pink anggun,” kata Herman. “Coba tak dekatin nanti, siapa tahu jomblo.”
Ada dua mahasiswa mendekati mereka. “Belum mulai ya, Mas?” tanyanya.
“Belum,” jawab Rian.
“Oya, saya Leo.”
“Saya Aris.”
“Rian.”
“Herman.”
Leo melihat ke dalam ruangan. “Banyak juga ya ceweknya,” katanya.
“Mau nyeleksi, Mas?” kata Herman.
“Hahahahaaa… Banyak yang cakep kayaknya. Aris sudah punya istri,” katanya kemudian bercanda. “Harus tutup mata.”
“Mulutnyaaa...,” kata Aris. “Kapan kawinnya, katanya…?”
“Loh, katanya sudah punya istri, kamu? Ini sukanya janda, Mas.”
Hmm… Rian jadi tersindir. Dirinya sudah menikahi janda.
“Oya, simpan nomor WA saya,” kata Leo. Mereka pun saling tukar nomor WA. “Masuk yuk!”
“Ayo.”
Mereka duduk berdekatan. “Mbak yang di pojok, manis,” kata Aris.
“Tidak cocok sama kamu,” kata Leo. “Kamu cocoknya sama yang itu, dekat bendera.”
Herman tertawa. Cewek yang berdiri di dekat bendera gendut banget. Parah si Leo, pikirnya. “Mpuk itu,” kata Herman.
“Kalau nikah sama itu,” kata Leo. “Tidurnya di lantai aja, tidak usah kasur.”
Kok jadi bully orang, pikir Rian.
***
Hari ini mereka dibuat berkelompok. Rian, Leo, Herman, Aris, Lia, Fina, dan Indah satu kelompok. Mereka keliling kampus mengenal hal-hal yang ada di kampus. Rian terpana dengan kecantikan Lia. Kalau saja dirinya belum nikah, boleh juga. “Mbak Lia single?” tanya Leo. Santai saja dia nanya gitu.
Lia tertawa. “Memangnya kenapa kalau single?”
“Berarti sama.”
Rian jadi ingin menikmati indahnya romansa cinta kampus. Diam-diam di belakang, Herman berjalan beriringan dengan Fina. Tampak asyik banget mereka sambil ngobrol berdua. Indah mendekat ke Rian. “Mas Rian udah bisa pemrograman?” tanyanya.
Hmm… Jadi tidak enak. Meskipun dia tidak begitu cantik, tetap saja ada rasa. “Belum.”
“Aku udah bisa bikin aplikasi,” kata Indah. “Sudah bisa bikin desain template blog.”
Banyak obrolan: tentang IT, tentang cinta, tentang karir. Tak terasa jam istirahat tiba. “Ke kantin, yuk,” ajak Leo.
Rian melihat Herman bersama Fina duduk di bawah pohon mangga. Lia sama Indah juga pergi. Tinggal Leo, Aris dan Rian. “Udah jadian mereka itu?” tanya Leo, melihat Herman dan Fina.
“Kayaknya,” kata Aris. “Kalah cepat kamu.”
“Ah, aku lebih suka si Lia.”
“Ayo, ke kantin,” ajak Aris.
Sambil berjalan ke kantin, “Kamu tidak mau cari ayam kampus, Ris?” tanya Leo.
“Astaghfirullah,” respon Aris. “Saya ini orang beriman dan bertaqwa. Tidak mungkin lah berbuat dosa.”
“Sih, sih…!! Sok suci. Hahaha…!”
“Hahaha… Tapi kalau ada, boleh juga.”
Pikir Rian, rupanya lingkungan kampus tak selalu ilmiah. Wajar sih, masa muda, pasti semangat berburu cinta. Kalau saja dirinya anak orang berada, udah pacaran sejak SMA. Pikirnya, rupanya belajar di kampus seperti ini, kalau tidak bisa ngontrol, bisa lupa tujuan. Teman-teman SMA-nya juga banyak yang begitu.
***
Setibanya di rumah, rupanya ada Bu Rahma di taman lihatin tanaman. Rian memandanginya dengan perasaan campur aduk. Sosok wanita baik, terhormat, yang kini sah jadi istrinya. Rian langsung masuk aja dulu ke dalam. Lalu dia menghampiri Bu Rahma. “Baru pulang?” tanya Bu Rahma.
“Iya.”
“Bagaimana kuliahnya hari ini?”
“Baru ospek, Buk.”
“Sudah makan?”
“Sudah tadi di kampus.”
“Itu, tadi tak masakin ayam goreng.”
Hmm… Jadi malu. Rian belum bisa ngasih apa-apa sama beliau.
BAB 14: Cerita Rasa
Rian membaca tulisan di Mading, cerita pengalaman menjadi freelancer. Tertulis nama Amelia Fani, semester V. Berarti kayak tingkatnya dua tahun. Ada tiga poin tertulis di situ: personality, tentang karakter atau kepribadian. Katanya, jika ingin sukses, maka harus berkepribadian orang sukses, diantaranya yakin akan sukses, tidak ragu, tidak khawatir. Semanat, terus belajar.
Poin kedua juga cukup menarik, banyak baca cerita orang sukses. Itu yang dilakukan oleh Amelia, tertulis dalam cerita tersebut, lengkap dengan daftar buku yang ia baca. Poin ketiga adalah fleksibel dan mudah bergaul dengan banyak orang. Salah satu caranya, suka bikin orang lain senang.
Rian mencatat beberapa judul buku yang tertera di tulisan tersebut. Ia ke perpustakaan. Rupanya tidak begitu ramai perpustakaannya, dan didominasi mahasiswi. Rian memeriksa semua rak, mencari judul buku yang disebutkan Amelia.
Ia temukan dua judul. Rupanya tebal sekali. Kisah tentang seorang miskin yang berhasil menjadi bos kaya. Buku yang satunya juga tidak kalah tebalnya, kisah tentang perjuangan seorang sales yang sukses. Tebal sekali, sepertinya sisanya tidak ada di perpustakaan. Rian pun meminjam dua buku tersebut.
Ia coba ke Toga Mas, siapa tahu ada di sana. Ternyata benar, ada dua judul di sana. Tetapi, harganya diatas Rp 100 ribu. Rian sih punya uang, diberi Bu Rahma. Tetapi, tidak patut rasanya menggunakan uang itu untuk membeli buku semahal itu. Rian merasa hina jika harus menggantungkan semuanya pada Bu Rahma. Cukup buat kuliah saja, ia berniat nanti akan ia ganti. Ia juga akan memperlakukan beliau selayaknya ibu kandungnya, merawatnya hingga akhir hayatnya.
Rian mencoba lihat-lihat anggota grup Facebook STIKOM. Ia mencari nama Amelia Fani. Rupanya ada, bahkan ia cukup aktif posting tulisan. Rian lihat profilnya. Hmm… Cantiknya. Rian coba baca-baca postingannya. Luar biasa. Positif sekali dia, penuh semangat. Masak dirinya sebagai lelaki kalah sama cewek?
Status terbaru Amelia: info acara kopdar programmer. Pemula boleh ikut. Rian tertarik untuk ikut. Tetapi, waktunya sore. Rian tidak bisa, waktunya menyiram tanaman.
***
Elin coba tanya Andi saat istirahat siang, “Mas tidak ingin punya anak?”
Andi tersenyum saja. Hari-hariya penuh cinta. Andi merasa tidak terlalu mikir ke situ. Punya istri saja sudah bahagia. Mau dikaruniai anak atau tidak, pikirnya, biar Allah yang menentukan. “Yaaa… Terus berdoa dan berusaha,” jawabnya.
Elin merasa tidak sempurna sebenarnya, bahkan kadang merasa tak berguna. Sudah banyak pria tidak jadi menikahi dirinya karena mandul. Untungnya Andi mau menerima dirinya apa adanya. Direbahkan kepalanya di dada Andi. Andi membelai-belai rambutnya. Ia seperti lupa pada niatnya untuk lanjut kuliah, sepertinya terlalu bahagia. Dikecupnya kening istrinya.
Sebelum menikah, pikir Andi, dirinya harus kuliah agar hidup menjadi lebih baik. Tetapi, sekarang kok malah asyik di rumah bersama istri. Hanya saja, merasa tidak enak pada istri, terasa seperti numpang hidup. Pikirnya, dirinya harus punya peran dalam hidup, entah jadi dosen, entah jadi pebisnis sukses. Istrinya seorang bos, malu kalau dirinya malah jadi anak buahnya.
***
Rian ke foto copyan, ia memfoto copy buku yang dipinjamnya di perpustakaan biar puas bacanya. Sebab, kalau hanya pinjam, terbatas waktunya. Lalu ke wifi id corner untuk online. Online di sini murah. Rian lagi belajar HTML dan CSS, jadi bisa sepuasnya online.
Hingga saat ini Rian tidak begitu akrab dengan teman-teman di kampus. Canggung juga ternyata karena dirinya sudah punya istri. Saat kumpul sama teman-temannya, obrolannya pasti soal cewek atau game online atau pertandingan bola. Jarang bahas tentang bagaimana karir ke depan. Rian tidak tertarik, buang waktu, pikirnya. Tetapi, perlu juga bergaul dengan banyak orang, untuk sukses butuh banyak relasi.
Rian mencoba membuat sebuah mini blog dan mempromosikan bibit tanaman bunganya. Tak lupa juga ia buatkan Fans page di Facebook. Dirinya juga baca-baca tentang ilmu SEO (Search Engine Optimization), yaitu ilmu untuk membuat blog/website berada di posisi halaman depan google. Tentunya sangat penting dalam bisnis online.
Di Grup kampus Amelia juga share beberapa tips SEO. Luar biasa dia. Cantik, semangat, sukses. Rian yakin bisa lebih darinya.
***
Di rumah, Bu Rahma kadang mikir hubungan dirinya dengan Rian. Hubungan yang unik. Resmi sebagai suami istri, tapi tak bersikap selayaknya suami istri. Aneh. Terkadang beliau berpikir, saat nanti, bisa jadi dirinya dan Rian akan menjalin hubungan layaknya suami dan istri. Entah kapan. Tetapi, itu bukan impian. Dirinya mau menikahi Rian karena menurut guru spiritualnya, itu jawaban doanya, harapan agar dihadirkan seseorang agar tidak kesepian dalam hidup.
Pikirnya, saling membahagiakan sudah cukup. Rian mendapatkan dari dirinya apa yang ia inginkan. Dirinya juga mendapatkan seseorang yang mau jalani hidup bersama. Terkadang ingin tidur bersama, tapi, rasanya aneh. Kadang, saat jauh begini, ingin nelfon, tapi takut Rian tidak berkenan.
Bu Rahma ke kebun bunganya, menikmati indahnya warna-warni bunga. Daripada melamun terus, mending di sini. Biasanya sebentar lagi Rian pulang.
Belum ada Komentar untuk "BAB 13: Hari Pertama di Kampus"
Posting Komentar