BAB 11: Rumah Buat Rian
Malam pertama berlalu. Andi masih terbayang-bayang keindahan tadi malam. Saat sarapan pun ia tidak konsentrasi. Wah, rupanya begini jadi pengantin baru, pikirnya. Habis sarapan sebenarnya ia ingin ajak istri ke kamar, tapi tidak enak. Jadi sungkan, rasanya tidak bebas karena sang istri adalah bosnya. Andi malah takut istrinya marah kalau terlalu banyak tingkah. Pikirnya, seharusnya istri yang merasa takut salah. Ini malah terbalik.
“Mas mau makan siang sama apa?” tanya Elin, sikapnya manja. Andi suka. Kalau lagi begini, ia berani aja. Karena Elin dekat banget saat nanya, ia rangkul aja sekalian. Ia kecup pipinya. Rasanya belum percaya kalau sudah halal begini. Karena Elin diam saja ia cium, ia terusin aja pipi kanan, bibirnya. Sepertinya Elin paham. “Makan siang dulu ya,” katanya.
Yes... Andi OK aja.
“Tak masakin ayam goreng ya,” kata Elin.
Urusan makan, bagi Andi, yang penting kenyang. Ia ke dapur, bantu istrinya masak.
Masakan siap untuk disantap. Andi jadi tidak fokus, kayak tidak ada rasanya ayam goreng masakan istrinya. Pikirannya lagi tidak fokus pada makanan. Elin tersenyum mamandangnya sambil makan. Andi membalas senyumnya. “Tidak nambah makannya?” tanya Elin.
“Sudah cukup,” kata Andi.
Elin tertawa. “Udah tidak sabar ya...”
Paham dia. Habis makan kumur-kumur bersihkan mulut. “Ayo,” ajak Andi, ke kamar.
Kalau lagi begini, hilang rasa sungkannya. Tancap gas aja.
***
Rian tak sabar menunggu jawaban pasti dari Bu Rahma. Dia yakin sekali Bu Rahma mau karena selama ini dirinya tidak pernah menolak kalau dimintai bantuan oleh Bu Rahma. Malu sebenarnya, tapi sudah terlanjur. Setengah sadar juga dirinya saat menemui beliau untuk mengatakan hendak menikahi beliau. Pikirnya, apa yang dilakukannya tidak merugikan, karena dirinya akan merawat Bu Rahma hingga tua.
Urusan bercinta, tak terlintas di benaknya sebenarnya. Ia hanya ingin hartanya. Ia coba curhat kirim WA pada Andi. Tetapi, Andi tidak segera membalasnya. Dia masih di kamar bersama istri. Pikir Rian, pasti Andi juga akan kuliah dengan uang istrinya.
Tak lama kemudian Andi membalas WA Rian, “Sorry, lagi ada kerjaan tadi,” jawab Andi. Dia kaget membacanya. Padahal, Rian sangat menghormatinya, kok malah mau nikahi beliau hanya untuk mendapatkan biaya kuliah. Padahal, Andi sendiri tidak tega rasanya mau pake uang istri. Kalau belum nikah sih, sempat mikir gitu, tapi kalau sudah jadi istri, malah ingin cari uang sendiri aja. . “Kamu serius...?”
Kalau ditanya serius, Rian agak bingung jawabnya. Niatnya kan hanya agar dapat uang aja. “Iya, serius,” ia jawab serius aja.
“Kawin enak,” kata Andi. “Hehe... Lanjut dah.”
Wah, istri Andi sih tidak begitu tua. Ia masih terlihat muda, terlihat cantik dan seksi. Kalau Bu Rahma, sepertinya sudah tidak cocok untuk dijadikan objek kenikmatan cinta. Rian balas dengan emot tertawa aja.
Masih di ranjang. Andi cerita tentang Rian pada istrinya. Dia kaget mendengarnya, “Udah kering biasanya kalau udah tua gitu,” kata Elin.
Andi belum paham. “Kering gimana?”
Elin tertawa. “Kamu pura-pura tidak tahu....!!” katanya sambil mencubit Andi.
“Lah, apanya yang kering?”
“Emang tadi tidak terasa basah?”
Andi baru paham. “Oooo... Memang kenapa kalau kering?”
Elin tepuk jidat. “Logikanya belum sampai ke sana ya?” katanya. Andi tidak segera menjawab. “Kalau kering, bisa luka, bisa jadi penyakit lukanya,” jelas Elin.
“Lah, terus gimana?”
“Yaaa... bisa, pake vigel, pelumas buatan.”
Andi baru tahu. “Yaaa.. tidak apa-apa, yang penting enak.” Andi jadi ingin lagi gara-gara ngomongin begituan.
***
Sehabis sholat ashar Bu Rahma memanggil Rian ke rumahnya. Rian pasrah kalau harus menerima jawaban yang tidak diharapkan. Sepertinya merasa bersalah telah nekad mengatakan hal tersebut. Saya senang kamu semangat untuk kuliah, dan saya siap membantu biaya kuliahmu. Tapi..., untuk menikah, saya belum bisa memastikan. Saya senang kamu bersedia hidup bersama saya.
“Jika ibu butuh sesuatu, selagi saya bisa bantu, dengan senang hati saya bersedia.”
Seperti biasanya, dari dulu memang begitu. Bu Rahma senang juga untuk tinggal serumah sama Andi, jadi tidak sepi, walau bukan anak kandung. Tetapi, kalau serumah di rumah tersebut, bisa muncul isu miring. Nanti orang akan bilang, ada kamar kos, kok malah tinggal di rumah ibu kost.
Bu Rahma punya usaha kebun bunga di desa Kaliwan. Usaha baru sebenarnya, belum dua bulan berjalan. “Kalau kamu mau, saya bangunkan rumah di sana,” kata Bu Rahma. “Urus tanaman di sana.”
“Baik, Bu, saya bersedia.”
***
Dua minggu pembangunan rumah selesai. Rian pun menempati rumah tersebut. Bu Rahma mengajaknya ke rumah Kyai Sakir, minta doa agar usaha barunya tersebut sukses. “Sudah nikah?” tanya Kyai Sakir.
Bu Rahma dan Rian bingung untuk menjawabnya. Akhirnya Bu Rahma menjawabnya, “Belum, Kyai.” Kalau bilang belum, berarti akan.
“Segera nikah,” kata Kyai Sakir. “Suami istri itu ibadahnya dihitung double. Suami banyak baca sholawat, istri banyak baca sholawat, semakin lebar pintu rizki.”
Bu Rahma tersenyum. “Saya belum siap, Kyai.”
“Kalau belum nikah, tapi sering bertemu, itu malah dosa.” Hmm... Benar juga. “Saya ijazahkan amalan sholawat untuk Nak Rian, biar suami istri sama-sama membaca sholawat.” Sepertinya Bu Rahma jadi terdorong untuk mengiyakan. Ia tampak bingung. “Ayo, saya yang nikahkan. Saya panggilkan saksi.”
Rian dan Bu Rahma saling pandang. Rian jadi ragu kalau sudah begini. Sepertinya ini bukan urusan sepele, tapi urusan besar. Tetapi, sepertinya sudah terlanjur tenggelam, tidak ada pilihan lain, kecuali berenang sekalian. “Baik, Kyai,” jawab Rian. Bu Rahma kaget dan bingung harus bilang apa.
“Sebentar, saya panggilkan saksi,” kata Kyai Sakir dan ke belakang.
Bu Rahma menunduk.
Tak lama kemudian Kyai Sakir keluar lagi dengan 2 orang lelaki. Akad nikah pun dilaksanakan dengan maskawin bacaan sholawat 1000 kali. Sah.
BAB 12: Perasaan Usai Akad Nikah
Pagi sehabis menyiram bunga, Rian dan Bu Rahma duduk di taman. Sudah sah sebagai suami istri, tapi hubungannya tidak seperti suami istri. Hanya sekedar sah saja. Bu Rahma belum atau tidak bisa menganggap Rian selayaknya suami. Ia lebih pantas jadi anaknya. Rian juga terlalu hormat pada beliau.
“Masa depanmu masih panjang, Rian,” kata Bu Rahma. “Kalau memang ingin kuliah, yang semangat, kejar cita-citamu. Ibu hanya bisa bantu.” Rian diam saja mendengarkannya. Agak menyesal dia karena telah lancang menawarkan diri untuk menikahi Bu Rahma hanya agar dibiayai kuliah. “Kamu bisa mulai belajar jalankan bisnis dari bisnis tanaman ini. Jangan lupa rutinkan, baca sholawat yang diajarkan Kyai Sakir, istiqomahkan.” Jika sepasang suami istri rajin bersholawat, insya Allah double pahalanya.
Tadi malam, meskipun sudah sah sebagai suami istri, keduanya tidur terpisah. Rian tidur sendiri di rumah ini, Bu Rahma di rumah sendiri. Namun, ada rasa bahagia juga karena kini Bu Rahma sudah sah bisa hidup bersama Rian. Jadi, tidak kesepian lagi. Akan tetapi, untuk hubungan selayaknya suami istri, rasanya tidak mungkin.
Rian tidak menyangka dirinya bisa berbuat sejauh ini: nikah sirri tanpa sepengetahuan orang tua. Pernikahan yang tidak wajar. Kalau boleh waktu diulang, ingin dia menarik perkataannya. Sedangkan Bu Rahma sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Kyai Sakir. Mungkin ini sudah takdir. Tidak masalah, yang penting ada seseorang bersama dirinya.
“Maafkan saya, Buk,” kata Rian.
Dari ekspresi wajahnya, Bu Rahma paham, Rian menyesal. “Tidak apa-apa, mungkin sudah takdir.” Sebenarnya beliau juga menyesal telah menabur garam yang diberi kyai Sakir di halaman. Beliau yakin itu yang bikin Rian nekad berkeinginan menikahi dirinya.
Tak terasa ngobrol berdua berjam-jam. Adzan dzuhur berkumandang. “Ayo, Sholat,” ajak Bu Rahma.
Rian jadi imam. Mereka sholat di kamar, berdua. Baca sholawat 1000 kali usai sholat.
Habis sholat Bu Rahma mengajaknya makan siang. Tadi pagi sudah dimasakin. Rian duduk menghadap ke selatan, Bu Rahma menghadap ke utara. Beliau ambilkan Rian nasi dan lauknya. Rian jadi merasa tidak enak. Semua ini milik Bu Rahma. Rasanya tidak pantas kalau beliau yang masakkan dirinya, apalagi sampai ambilkan nasi begini. “Kamu suka udang kan?” tanya beliau. Sudah tahu kalau Rian suka udang. “Makan yang banyak.”
***
Andi WA Rian sore hari, “Bagaimana kabar, Bro? Jadi nikah?” Dia bercanda aja nanya gitu.
“Eh, jangan bilang siapa-siapa ya. Aku sudah sah, tapi nikah sirri aja.”
“Serius…?! Berarti sudah malam pertama?!”
Rian tidak segera membalas. “Hmm… Aku kok jadi tidak enak, sungkan...”
“Berarti belum?!”
“Kayak tidak patut. Udah kayak ibu sendiri.”
Pikir Andi, ngapain nikah, kalau begitu? aneh-aneh saja teman yang satu ini. Tetapi, aneh juga pikir dia, kok bisa Bu Rahma mau? Beliau orang baik yang berwibawa, terhormat. Kalau ketahuan kan mencoreng namanya? Kalau istrinya Andi kan memang belum terlalu tua, masih boleh dibilang wajar. Andi akan merahasiakannya status pernikahan Rian, tidak cerita pada istrinya.
“Kamu tinggal serumah?”
“Aku sekarang tinggal di desa Kaliwan, dibangunkan rumah di sini, di kebun bunganya beliau.”
“Sendirian?”
“Kalau siang, beliau di sini, ngurus tanaman bareng.”
Pikir Andi, kalau sering bersama, ntar juga jadi terbiasa tu. “Terus, tentang kuliahmu, bagaimana?”
“Beliau siap bantu biaya kuliah. Ya sudah, aku akan merawat beliau sampai masa tuanya.”
Andi coba candain dia. “Bro, sekali-kali coba lah. Udah halal. Enak loh.”
Rian paham. “Hmm… Berat rasanya. Aku jadi tidak mikir ke sana.”
“Hehehe… Mau kuliah dimana?”
“Rencana di STIKOM.”
“Sejak kapan kamu suka komputer? Kenapa tidak kuliah pertanian aja? Kan cocok dengan bisnis tanaman bunga?”
“Pertanian itu butuh lahan, kalau IT kan hanya butuh alat. Kamu?”
“Entahlah. Mau usaha aja dulu, bareng istri. Tapi masih ada niat. Aku ingin nampak dulu hasil usahaku sendiri. Malu juga aku punya istri lebih sukses.”
Rian jadi tersindir. Dia jadi tambah tidak ingin ada hubungan layaknya suami istri dengan Bu Rahma. Cukup sekedar saling memberi manfaat. Tapi, kalau bisa, lebih baik, kalau dirinya bisa punya usaha sendiri. “Kamu masih jaga stand di alun-alun?”
“Sehabis akad itu, tidak. Tapi rencana tetap jualan. Tidak enak di rumah aja.”
Belum ada Komentar untuk "BAB 11: Rumah Buat Rian"
Posting Komentar