Featured post

Menikahi Janda Kaya Untuk Biaya Kuliah

BAB 1: Makan Malam Masakan Ibu Kost Ada orang ketuk pintu. Rian membuka kamar kostnya. Rupanya ibu kostnya, Bu Rahma. "Ibuk masak agak ...

Tentang Pendidikan dan Sekolahku

______________
______________

Tentang Pendidikan dan Sekolahku

“Belajar” 

Kata itu yang dulu sering dinasehatkan ibu guru di sekolah. “Jangan lupa mengerjakan PR,” begitu juga nasehatnya. Tak jarang kami langgar, aku dan teman-teman yang nakal. “Jadi orang pintar, biar disayang ayah, biar disayang ibu.” Banyak nasehat-nasehatnya yang tidak kuingat semua.

Aku dan teman-teman melotot memandang bu guru, menontonnya yang sesekali menirukan bebek berjalan, atau burung terbang, dan semacamnya, menirukan suara kuda, burung, suara ayam bertelur. Lucu.

Aku dan teman-teman diajak bernyanyi, meyanyi bintang kecil, menyanyi burung kutilang, sudah tidak kuingat semua. Sudah terlalu lama waktu itu untuk diingat. “Rajin itu pangkal pandai,” begitu juga nasehatnya. “Hemat pangkal kaya.” 

Ibu guru, masih kukenang.

Dulu aku lebih suka bermain, bermain kelereng, layangan, kucing-kucingan, kadang maling-malingan atau polisi-polisian. Haha…, sampai-sampai tidak mau sekolah. Bapak sama ibu marah, kadang aku dipukul. Katanya biar hidup lebih baik nanti, biar bisa jadi orang berpangkat. 

Entahlah, aku belum paham waktu itu, seperti apa enaknya jadi orang berpangkat, seperti apa hidup yang lebih baik? Kuturuti kemauan orang tua, pergi ke sekolah setiap hari, Senin sampai Sabtu, sampai tengah hari, kadang tidak sampai. Sepulang sekolah aku mengerjakan PR. Begitu setiap hari. Kadang tidak dikerjakan, esok harinya pun disuruh berdiri di depan kelas.

Pernah juga aku dimarahi sama bu guru, “Mau jadi apa, kamu?!” katanya. Agak kasar suaranya. Aku diam saja, takut. Tetapi aku tidak tahu, sebenarnya, kalaupun aku rajin, mau jadi apa nanti? Kalaupun andai aku benar-benar jadi sesuatu, entah jadi apa, jadi orang berbangkat, mungkin, lalu …? Aku tidak paham.

Waktu itu aku hanya bisa bermain. Ya. Aku suka bermain. Sayang, aku harus merelakan waktu bermainku untuk bersekolah, belajar bersama ibu guru. Belajar, ya, belajar. Waktu itu aku tidak paham maksud, kenapa aku harus belajar? Kenapa harus sekolah. Aku diajari banyak ilmu, ilmu pengetahuan, ilmu hitung, dan ilmu keterampilan.

Tapi, aku tidak tahu untuk apa itu? Pertama aku diajari membaca. Tapi, untuk apa, apa yang harus kubaca, dan, apa gunanya? Aku tidak tahu. Paling hanya rasa bangga saat jadi juara kelas. Bangganya jadi pemenang. Disanjung-sanjung sama ibu guru, sama ibu dan bapak. Nilai raport jadi bukti.

Ada juga yang bilang, sekolah biar pintar, biar tidak ditipu orang. Ya, kalau tidak bisa baca mudah ditipu orang. Dulu orang-orang mencontohkan ketika mau naik angkot atau bus di terminal, bisa ditipu kalau tidak bisa baca. Begitu katanya. Tapi, dibaca apanya? Aku tidak tahu.

Hhmm…

Kakak kelasku ada yang berhenti di kelas lima. Ia memilih bekerja, ikut menjadi buruh tani. Lumayan, dia bisa dapat uang banyak, meski tak cukup buat beli mobil, apalagi membangun rumah. Tapi palinng tidak ia bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, untuk jajan, beli mainan, macam-macam. Bahkan bisa membantu belanja orang tuanya. Pasti senang orang tuanya.

Kalau ia lagi berkumpul bersama kami, teman-teman yang masih bersabar terus sekolah, ia sering memprovokasi, katanya kami ditipu disuruh sekolah rajin-rajin, nggak dibayar, katanya. Memang nggak dibayar. Malah kami yang membayar SPP setiap bulan.

Ditipu biar tidak ketipu.

Hhmm… Gimana, sih?!

Kalau ada siswa yang mendapat nilai bagus, bu guru memujinya. Senangnya, dia dipuji-puji oleh bu guru. Kasihan yang lain. Salahnya, jadi anak bodoh.

***

Pada sore hari aku harus sekolah lagi, sekolah di madratsah diniyah, setara dengan SD, tapi hanya diajari ilmu agama. Pakaiannya pun harus busana muslim, yang laki memakai kopyah, yang perempuan berkerudung. Tulisannya menggunakan huruf arab. Pengajarnya dipanggil ustadz dan ustadzah. 

Aku harus sekolah madratsah, katanya, biar aku masuk surga. Aku pun diberi gambaran-gambaran tentang surga. Katanya tersedia makanan yang enak-enak, ada bidadari-bidadari yang sangat cantik. Aku jadi ingin ke sana. Tapi katanya, harus mati dulu. Padahal aku belum mau mati. Dari itu, biar setelah mati aku masuk surga, sekolah dulu di madratsah mumpung masih hidup. Begitu kata ustadz, ustadzah, orang tua, saudara, dan tetangga.

Kujalani semua. Malamnya belajar baca Al quran di mushollah. Pengajarnya dipanggil Kyai. Jadilah aku memiliki tiga ragam guru, yang paling mulia adalah kyai, kedua ustadz dan ustadzah, dan yang ketiga adalah bapak dan ibu guru di sekolah. Kadang aku dan teman-teman berpikir untuk menjadi yang paling tinggi derajatnya, jadi kyai, tapi kata orang-orang, tidak boleh bercita-cita jadi kyai, karena gelar kyai diberikan oleh masyarakat. Aku pun pura-pura tidak ingin, meski ingin sebenarnya.

Di desaku, memang, kyai-lah yang menduduki derajat tertinggi, paling dihormat, paling disanjung. Patut bila aku dan beberapa teman menginginkannya. Ada juga yang takut, katanya, karena kyai menanggung hidup orang banyak, ia jadi pemimpin, jadi kepalanya orang banyak. Berat. Kami yang merasa bangga dan ingin jadi kyai, memandang kyai sebagai  orang yang hebat. Wah..!

Kalau di madratsah diniah, kami diajari bermacam-macam cara bertingkah. Kata ustadz, harus begini, begini, dan begini, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Banyak tuntunannya. Kami pun harus meniru. Harus, harus, harus.

Pendidikan itu kujalani, terus, bersama waktu. Satu demi satu kupahami ilmu yang kudapat. Oo, begini, oo, begitu. Ya, aku mulai mengerti adanya suatu perbedaan di antara pendidikan-pendidikan itu. Namun ada yang sama, yaitu sama-sama ingin mencapai kebahagiaan. Namun, pendidikan di SD lebih menekankan kebahagiaan di dunia, sedangkan di madratsah dan musholla lebih menekankan bahagia di akhirat, setelah mati nanti. 

“Bahagia”

Kata bahagia. Itu yang diinginkan. Waktu itu patut tidak kumengerti, sebab kebahagiaanku dan teman-teman adalah bebas bermain. Ya, itu yang membuat kami bahagia, waktu itu. Justru kewajiban sekolah itu membuat kami tidak bahagia. Beberapa dari kami tidak mengerti kata “Bahagia” itu, sehingga mereka mencemooh pendidikan. Katanya sekolah itu tidak penting. Kalau ingin bahagia, harus bekerja. Begitu katanya, kecuali pendidikan madratsah dan musholla, belum ada yang berani mencemooh waktu itu, karena semua menyadari akan mati.

Ada juga yang meragukan kebahagiaan yang masih panjang masa perjalanannya itu, tapi tidak berani terang-terangan, sisi dunia yang ini terlalu agung, terlalu keramat untuk dicemooh secara terang-terangan.

Aku mencari-cari kata bahagia. Kadang pura-pura sudah kutemukan saat aku diinterogasi oleh teman yang sudah berani mencemooh pendidikan, yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Kubilang kalau nanti aku akan jadi orang yang hebat, kaya, berpangkat, kerjanya enak.

Ya, “Pekerjaan”

Itu alasanku. Aku akan mendapatkan pekerjaan yang enak. “Enak.” Ya, meski sebenarnya, teman-teman yang memilih bekerja itu banyak ketawanya saat bekerja. Semua orang, termasuk aku, tahu kalau tawa itu adalah ekspresi bahagia, bukan ekspresi sedih. Tetapi, aku yakin, bahwa aku akan mendapat kebahagiaan yang lebih jika mengikuti program pendidikan terus, terus, dan terus.

Waktu terus berjalan. Jaman berubah. Beberapa teman yang memilih bekerja mulai ada yang mengeluh. Kataya pendapatannya kecil, bila dibanding orang berpangkat. Tempat-tempat bekerja yang membayar mahal para pekerjanya itu, meminta calon tenaga kerja yang memiliki legalitas pendidikan yang diakui pemerintah. Di jalur ini, ada SD, SMP, dan SMA, hingga yang teratas, Perguruan Tinggi.

Yang masih mempunyai kesempatan, adik-adik kecil, segera berlomba tekun belajar di sekolah. Mereka berlomba mengejar bahagia di dunia, karena perut sudah mendesak. Barang-barang kebutuhan semakin mahal, sawah pekarangan menyempit, sayur-mayur yang dulu seperti rumput berkeliaran di sawah, tidak ditemui lagi, sudah pindah ke etalase toko yang megah. Masuk saja harus bayar tukang parkir.

Sekolah madratsah dan musholla ditinggalkan, tinggal sedikit yang setia. Penyelenggara sekolah agama itu pun berinisiatif, mengubah status sekolahnya menjadi sekolah plus, plus ilmu umum, ada yang mengatakan plus ilmu agama. Apa bedanya? Bahkan, kaum muda ada yang terang-terangan mendeklarasikan, kalau ingin bahagia diakhirat, belajarnya nanti kalau sudah mau mati. Sekarang, bersenang-senang dulu di dunia. Begitu katanya. Bahkan terang-terangan berbuat maksiat, yang dilarang agama. 

Sekolah agama itu pun mulai banyak juga yang minat. Apalagi ada opini baru, lulusan sekolah agama plus lebih unggul, karena mereka, selain berilmu juga berakhlak mulia, lebih santun, lebih patuh atasan, lebih bertanggung jawab, karena dididik ilmu agama. Bahkan pengajar madratsah yang awalnya dibayar ucapan terima kasih dan doa, sudah berganti dibayar uang. Bahkan guru ngaji juga dibayar uang. Doanya dalam hati saja.

Sebagian pun berpindah ke sekolah agama plus karena perusahaan-perusahaan besar, tempat menyandar hidup itu lebih mengunggulkan para pekerja yang terampil dan berakhlak, berakhlak, ya, berakhlak. Bahkan para pelajar-pelajar agama yang sudah lama menyelam di sisi dunia ini tertarik oleh pujian lidah-lidah yang memiliki sumber sumber uang itu. Mereka pun mulai bersekolah lagi.

Jutaan orang berebut bahagia di dunia, semua ingin bahagia. Mereka mencari bersama-sama yang namanya “Bahagia”. Katanya ada pada pekerjaan yang enak. Dan, pekerjaan yang enak itu adalah pekerjaan yang hanya duduk-duduk saja, atau paling tidak, tidak perlu mengeluarkan otot berlebih, dan gajinya besar. Ada juga yang mengatakan, pekerjaan yang enak itu, jadi atasan. Nah, untuk jadi atasaan harus sekolah dulu, katanya.

Ayo berlomba, berlomba, berlomba…!!

Rupanya, dalam perlombaan itu ada yang lelah. Seorang yang sudah lewat usia, namun turut berlomba demi anak. Sudah menang, tapi ingin lagi. Ia duduk merenung. Katanya hidupnya tidak tentram, gelisah, resah, bahkan tak sempat menikmati hidup. Hidupnya hanya bekerja, bekerja, makan, makan, dan tidur. Ia mulai mempertanyakan, apa makna hidup?

“Makna hidup?”

Ya, mungkin ia sudah bosan dengan hartanya, sudah menumpuk yang ia dapatkan. Ia menengok lagi buku-buku agama. Ia buka tentang sejarah seorang utusan Tuhan yang dikisahkan sangat kaya, Sulaiman as., namanya. Ia baca. Ada kisah ketika Sulaiman as. Bertanya pada semut, berapa banyak rizki yang diberikan Tuhan padanya selama setahun, semut itu menjawab sebutir biji gandum. Sedikit sekali.

Sulaiman as. mengambil semut itu dan memasukkannya ke dalam botol dengan sebutir biji gandum. Setelah setahun, Sulaiman as. melihatnya. Ternyata masih sisa separuh. Sulaiman as. pun bertanya pada semut, kenapa tidak dihabiskan. Sederhana jawaban semut, yaitu karena ia tidak yakin Sulaiman as. akan memberinya lagi tahun depan, ia takut Sulaiman as. lupa, karena dia hanya seorang manusia. Kecuali Tuhan yang memberi, semut itu tidak ragu untuk menghabiskan, karena ia yakin Tuhan tidak akan pernah lupa.

Orang itu tersenyum. “Tuhan, Tuhan,, Tuhan,” katanya diulang-ulang.

Beberapa hari kemudian, ia kedatangan tamu orang berpangkat, salah seorang dari tamunya adalah teman sekolahnya yang juga sudah berhasil jadi orang berpangkat. Tetapi kedatangannya bukan untuk membicarakan soal pangkat, atau untuk melepas rindu. Kedatangan mereka untuk mengabarkan dan meminta putranya. Katanya telah melanggar aturan hukum, dan harus ditahan.

“Penjara”

Ia ucapkan dalam hati saja. “Anak” ia ucapkan juga dalam hati. Tidak peraya, rasanya, anaknya akan dipenjara. Bukankah anaknya sedang bersekolah saat ini, ya, sekolah untuk mencapai kebahagiaan di dunia yang diperebutkan jutaan orang, untuk memasuki gerbang kebahagiaan, penyedia-penyedia pekerjaan yang enak-enak. Tapi…, kenapa gerbang penjara yang harus dimasuki? Padahal sekolahnya sudah di sekolah berkelas, menurut ukuran para penyedia pekerjaan, ya, siswa-siswa di sekolahnya banyak diminati oleh penyedia-penyedia pekerjaan itu.

Ia pingsan.  

***

Waktu terus berjalan, tak pernah ragu maju. Perubahan demi perubahan pun dicapai. Berubah lebih baik, juga lebih buruk. Dan sekolah plus turun juga derajatnya, tapi tidak terlalu. Banyak orang sudah menilai tidak beda sekolah agama dengan yang bukan. Toh, ahlak lulusannya sama saja.

Hhmm…

Hal tersebut sama dengan kelompok yang tidak disebutkan mulai tadi, yakni kelompok pelajar setia ilmu agama. Mereka hanya belajar ilmu agama, yang kata orang-orang ilmu untuk bahagia di akhirat, ilmu untuk masuk surga. Mereka dulu dicemooh karena tak pandai membiayai hidup sendiri, tak pandai jadi kaya, hidupnya miskin.

Saat hal itu terjadi, lembaganya bergegas membangun sekolah-sekolah yang dibutuhkan oleh para penyedia pekerjaan. Ada yang tetap pada pendirian, tidak mau mendirikan sekolah. Mereka itu adalah yang merasa yakin kalau bahagia itu Tuhan yang memberi, bukan mahluk. Menurutnya, bahagia itu tidak harus memiliki ini dan itu. Orang termiskin pun bisa bahagia. Keyakinan itu, katanya, menurut manusia pilihan yang pernah diutus Tuhan dahulu, bahwa bahagia itu ada di hati.

“Hati”

Sesuatu yang ada dalam diri manusia. Katanya, bila yang ini baik, maka akan baik seluruh jiwa raga. Bahagia itu ada di sini. Kelompok ini sempat getir saat kelompok lain berjaya menduduki jabatan dan derajat terhormat karena kekayaannya. Sekarang, mereka tersenyum menyaksikan kehidupan yang serba ribet, jutaan orang berebut untuk masuk satu pintu. Hanya untuk mendapatkan “Bahagia”. Kata mereka, “Kenapa tidak dicari di hatinya?”

Ah, manusia.

Hidup

Tetapi perut perlu diisi

Ya,

Perlu

Itu jalan untuk bertahan hidup

Biaya sekolah sudah terlanjur mahal, tujuannya dulu agar hasilnya memuaskan. Agar guru melulu mikirin murid saja. Yang melarat pun jadi tertinggal. Lalu orang atas kasihan. Beberapa sekolah digratiskan. Semakin banyaklah yang sekolah. 

Sekolah

Anak-anak disuruh sekolah, dibiayai meski mahal, agar nanti bisa menghasilkan uang banyak. Bapak dan ibu guru banyak memberi masukan, nanti kerja di sini, kerja di situ, kerja ini enak, yang ini dan yang itu. Begitu masukan bapak dan ibu guru. Kalau jadi ini hidupnya enak, jadi itu juga. Makanya, sekolah yang rajin.

Sekolah.

Jumlah pelajar semakin banyak jumlahnya. Mereka akan menjadi pekerja nantinya, ada juga yang tidak. Sekolah pun ditambah, bahkan di desa-desa mulai bermunculan. Semakin keraslah persaingan. Semakin banyak yang berebut pintu. Bersaing. Bahkan dengan saudara, dengan tetangga, dengan teman, sahabat, tak kenal lagi ikatan.

Ada satu yang tersingkir dan jatuh. Ia tidak segera bangun, hanya memandang pintu yang sudah sesak oleh manusia yang berambisi untuk masuk. Sambil menghela nafas, ia berkata, “Lebih baik kubangun perusahaan sendiri, tak kerjakan sendiri. Tidak akan kuijinkan orang lain masuk,” kata hatinya mendendam. “Kecuali orang yang peduli pada yang lemah.” Ia memegang perutnya, ditekan. Sepertinya ia lapar sekali.

***

Ibu guru

Masih kukenang dulu, waktu aku kecil, waktu kau sering membuangkan ingusku di kelas. Masih kurasakan sentuhan jemarimu. Kau seperti ibu. Ibu guru, kalau saja kau di sini, di sampingku, aku ingin bercerita, banyak, banyak sekali cerita, ingin kuceritakan padamu, mulai aku naik kelas dan tidak diajar engkau lagi, hingga saat ini, aku sudah hampir jadi sarjana. Meski engkau sulit memahami ceritaku. Aku memang bukan narator ulung.

Tapi mungkin kau punya lebih banyak cerita? Aku juga ingin mendengar ceritamu. Mungkin ceritamu berlainan dengan ceritaku, kau mungkin memiliki cara pandang yang berbeda denganku? Atau mungkin kau lebih bijak dari aku? Aku yakin kau lebih pandai bercerita.

Aku juga pernah mendengar, beberapa sekolah sudah menjadi tempat jual-beli, tempat mencari keuntungan. Bukan lagi tempat orang memberi dan menerima nasehat, seperti kita dulu. Banyak guru yang dibayar dahulu, sekarang bukan hanya tidak dibayar, tapi harus membayar. Dunia seperti jadi terbalik. Begitu juga dengan siswa. Kalau dulu, bahkan sekarang juga, sudah banyak sekolah yang membayar siswanya, ditawar ke orangtuanya. Kalau segini, gimana? Seperti beli tahu aja. Ya, kan, Bu. Unik ya, sekolah jaman sekarang. 

Kalau kuingat ustadz-ustadzku dulu di madratsah, mereka itu pagi bekerja di sawah. Nah, duhur pulang, untuk mengajari kami tentang aturan-aturan hidup yang diajarkan utusan Tuhan. Kau juga begitu kan dulu, sering menasehati?

Kalau saja aku seorang wartawan, akan kutulis berita ini, akan kuusut tuntas semuanya, akan kutulis berbentuk narasi yang indah, bukan tulisan yang tajam mengkritik. Menurutku itu tidak baik. Lebih baik kita berbincang-bincang ringan, lalu kita carikan solusi. Aku ingin mengajak semua orang berbincang tentang pendidikan anak-anak generasi, agar lebih baik nantinya.

Dan, kalau saja aku seorang penyair, aku ingin membuat sajak narasi yang menarasikan dengan indah kejadian-kejadian yang kurasa perlu untuk direnung, demi masa depan yang lebih baik, demi anak cucu nanti, agar mereka hidup di dunia yang lebih baik dari dunia kita saat ini.

Semua

Tentang anak-anak

Tentang orang tua

Tentang pemuda

Juga para guru di sekolah

Para ustadz

Para ulamak

Semuanya

Para pejabat juga

Para pemegang jabatan

Kalau saja mereka tidak banyak agenda

Kalau mereka sedikit urusan

Ibu guru,

Jangan bosan mendengar

Sering aku bertemu

Karena mereka memang dekat kediaman

Aku tahu

Yang lain yang cerita

Memberi tahu aku

Sudah cukup dewasa

Lebih dewasa dari aku

Tapi tak lebih pintar

Ya,  sungguh

Karena mereka tidak sekolah

Bahkan tak bisa menghitung

Kecuali ratusan saja

Dihitung satu-satu

Mereka tidak tahu sejuta, dua juta, dan seterusnya

Ibu guru,

Kau juga pernah kenal orang seperti mereka?

Di daerahmu?

Atau di mana?

Banyak, Bu

Mereka tidak pernah sekolah

Mungkin hanya di kelas satu dulu

Lalu bubar

Kalau saja mereka tahu kau

Sayangnya, mereka tak kenal wajah pendidikan

Sudah berkali-kali jadi ini, jadi itu

Oprasi wajah berulang-ulang

Hidungnya dibuat mendongak, lalu menunduk

Yang melihat pun berbeda tanggap

Ada yang bingung

Begitulah

Maklum

Ibu guru, kalau saja aku ini seorang novelis, aku ingin menulisnya setebal-tebalnya, tentang para pelajar, tentang anak-anak manusia yang setiap hari duduk di bangku sekolah, setiap hari bertemu guru, seperti kita dulu. Aku yakin banyak kisah yang menarik tentang mereka, tentang orang tua mereka, tentang, teman-teman mereka, tentang saudara mereka, dan yang sangat penting, menurutku, tentang mimpi mereka, mimpi, ya, mimpi. Mereka punya mimpi.

Masih kuingat ketika kau dulu menanyai aku dan teman-teman, ingin jadi apa nanti setelah besar? Sebagian dari kami bingung, memutar bola mata ke sana dan kemari, lidahnya dimain-mainkan, sambil berbisik melirikmu, “Tidak tahu,” katanya. Kau tertawa. Lucunya. Mungkin kau ingat anakmu. Ada juga yang hanya geleng-geleng kepala.

Kau menyebutkan beberapa orang hebat, dokter yang selalu mengobati orang sakit, pilot yang suka terbang, presiden yang jadi orang nomor satu, guru yang katamu mulia kedudukannya. Banyak kau sebutkan. Lalu kau contohkan beberapa kisah dari mereka, masa kecil mereka, masa belajar mereka, ketika mereka di rumah bersama orang tuanya, ketika di sekolah, bagaimana belajarnya, macam-macam tentang mereka. Yang kuingat, katamu mereka rajin belajar.

Teman kami ada yang ingin jadi tentara. Masih ingat kan, kau? Ia terobsesi oleh film perang. Seru. Ia pun ingin memegang senjata, mengebom, hebat. Hhmm… Kau tertawa waktu itu. Mungkin kau dulu juga begitu.


Ibu guru,

Coba direnung.

Dulu calon siswa membayar uang gedung

Uang dari calon atau siswa sebagian untuk gaji guru

Pemerintah juga memberi upah

Kemudian

Beberapa sekolah digratiskan

Tak perlu bayar

Kecuali sekolah tinggi yang masih mahal

Karena mereka akan dapat kerjaan

Demikian katanya

Kalau udah lulus

Kemudian

Calon guru harus daftar

Tidak semua

Tapi kebanyakan

Mereka ingin jadi guru

Ingin membimbinng generasi?

Luar biasa

Tak jauh beda dengan jaman peralihan

Dari jahiliah ke ilmiah

Para nabi itu

Juga para wali yang menyebar agama 

Mereka melawan pedang dan tombak

Padahal tujuannya baik

Kalau guru yang membayar untuk jadi guru?

Demikian juga, kan?

Bahkan rela tidak dibayar?

Seperti ustadz dan ustadzahku dulu

Mereka tidak dibayar

Juga guru ngaji

Tak ada bayarannya, kan?

Kemudian

Sekolah membayar siswa

Hhmm…

Muter-muter ceritanya

Membayar

Kemudian menerima bayaran

Membayar untuk dibayar

Dibayar untuk membayar

Ah, bulet


Belum ada Komentar untuk "Tentang Pendidikan dan Sekolahku"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel