Menikah Lagi Saat Usaha Hampir Bangkrut

"Wah, sudah mirip artis korea ya," kata Hadi saat bersalaman sama Salman, dia teman kecil Salman. "Aku tidak dibawain cewek Korea satu, tua tidak apa-apa, penting putih," katanya.
"Hahahahaa... Cuma putih, buat apa," kata Mak Halimah yang juga berada di ruang tamu ruamh Salman.
Rumah Salman jadi ramai. Banyak saudara, sanak famili, tetangga, teman dan sahabat pada datang. Lama tidak bersua dengan Salman. Salman baru saja tiba di rumah. 10 tahun dia hidup di negeri orang, merantau di Korea Selatan. Beruntung dia bisa menjaga diri sehingga lumayan banyak uang yang ia dapatkan. Sebenarnya dulu sudah pernah niat pulang saat baru 5 tahun bekerja di sana, tapi dia sangat khawatir tidak dapat kerjaan di Indonesia.
"Langsung nikah saja," kata Pak Santo. "Biar tidak menguap uangnya." Memang banyak yang bilang, hidup membujang itu, rizkinya terbawa angin, katanya.
Salaman tersenyum saja. Kalau dipikir, benar juga sih. Capek juga sebenarnya dia hidup di rantau. "Alfan kerja apa, Lek?" tanyanya pada Pak Santo. Alfan anak kedua beliau, teman sekolah Salman dulu.
"Kerja di toko, dekat kampung Arab," jelas beliau. Dekat terminal memang ada kampung arab. "Toko busana muslim."
"Sudah nikah?"
"Sudah. Kerja di sana juga istrinya."
Habis maghrib Alfan baru sempat main ke rumah Salman. Senang sekali dia bisa bertemu sahabatnya lagi. "Kirain bawa istri orang Korea," katanya.
"Hahahaha... Cewek Korea hitam kalau dibawa ke sini."
"Hahahahaa..."
Alfan banyak ngobrol dengan Salman. Dia banyak bercerita tentang pekerjaannya di toko busana muslim. Salman tertarik mendengarnya. Sepertinya, ia bisa buka toko dengan uang yang ia miliki sekarang.
Baca juga: Dipaksa Cerai Oleh Orang Tua
***
Salman berkunjung ke Pasuruan, di sana ada teman, Hendi, yang sudah memiliki toko. Salman ingin tanya-tanya prosedur mendirikan toko. Sekitar jam 10 pagi dia tiba di sana. Salam kenal Hendi di Korea, tapi Hendi pulang duluan karena menikah. Hendi mengajak Salman bertemu di tokonya.
"Lama di Korea, jadi putih," kata Hendi.
Salman tertawa. Begitu memang candaan TKI Korea, padahal aslinya tambah gelap kulitnya. Lumayan besar toko Hendi. Wah, luar biasa. Sudah sukses dia. Hendi mengajaknya ke taman di belakang tokonya. "Baru balik, berarti belum nikah?" tanay Hendi. Salman tersenyum saja. "Kalau mau, ada pegawai toko yang cantik, tapi udah janda. Cantik banget," katanya.
"Nanti lah," kata Salman. "Saya rencana buka toko pakaian."
"Bagus, lebih enak mandiri," kata Hendi. "Tapi, perlu dilihat juga daya beli masyarakat di sana, sama saingannya."
"Sudah lama saya tidak pulang, tidak paham kondisi masyarakat di sana."
"Observasi dulu, coba berkunjung ke beberapa toko, lihat-lihat, ramai apa tidak."
"Kalau izinnya bagaimana?"
"Untuk urus SIUP, Surat izin usaha perdagangan, gampang. Untuk modal di bawah 50 juta, masuk kategori SIUP mikro. Untuk 50 hingga 500 juta, termasuk kategori SIUP kecil," jelas Hendi. "itu gampag, yang penting potensial daerahnya untuk usaha toko pakaian."
***
Setelah beberapa minggu observasi pasar, akhirnya Salman memberanika diri untuk membuka toko pakaian anak. Tetapi, lama-lama dia mencoba pakaian wanita juga, mengikuti permintaan pasar. Tokonya melayani pembelian partai grosir dan eceran. Padahal kotanya sudah dibilang kota pensiun, tapi ternyata ramai juga pembelinya. Bahkan setelah beberapa bulan kemudian banyak pembeli dari Situbondo dan Banyuwangi juga.
"Yang model ini laris banget, Mas," kata Lia, salah satu pelanggan grosiran asal Banyuwangi. "Tak banyakin aja ambilnya." Tentu saja Salman senang jika ambil banyak. "Kok tidak pernah lihat istri Mas Salman?" tanyanya.
Salman tertawa. "Saya belum nikah, Mbak," jawabnya.
"Loh, Pak Bos," katanya kaget. "Sudah kaya, belum nikah. Tidak ingin ada yang nemani tidur tah?"
Salman tertawa. Memang ada orang yang tida ingin punya teman tidur? pikirnya. "Ingin sih, Mbak," jawabnya.
***
Bulan ini mulai terasa. Ternyata sebulan sudah bisa laku sekitar 100 buah. Sudah lumayan, sudah hampir Rp 100 juta omsetnya sebulan. Salman mulai merasa tenang, rasanya hidup dia sudah cukup aman kalau hanya untuk hidup. Uang banyak, bisnis jalan. Tetapi, tak ada yang tahu, covid-19 datang, pemerintah menerapkan lock down. Usaha menengah dan kecil terdampak.
Omzet penjualan menurun hingga 80%. Walau dengan harta yang dimiliki sudah merasa cukup aman, Salman masih tetap mencari cara agar usahanya bisa terus jalan. PSBB berlanjut, banyak usaha tutup dan bangkrut. Salman dibayangi kehancuran bisnisnya. Pikirnya, kalau terus seperti ini, bisa habis juga hartanya. Ia jadi teringat nasehat orang tua, hidup membujang, uang menguap.
"Masih tutup ya, Mas?" tanya salah satu pelanggan Salman yang dari Banyuwangi via WA.
"Masih, Mbak."
Diberitakan kondisi dunia memburuk. Sepertinya penutupan tempat-tempat umum akan berlanjut. Salman bingung. Bahkan sempat berpikir untuk mencari ide usaha baru. Pikirannya galau. Kerjaannya mainan handfon saja, tak jelas apa yang dilakukan. Sepertinya nasehat orang tua benar, segera menikah itu lebih baik.
Di usianya yang boleh dibilang tidak muda lagi, Salman sudah tidak terlalu banyak menghayal, tak harus cantik, seksii atau apalah kata anak muda. Yang dia butuhkan sosok wanita yang bisa hidup bersama, jalani hidup bersama. Ia teringat pelanggannya yang dari Banyuwangi pernah cerita kalau dirinya seorang single parent yang berjuang sendiri menghidupi kedua anaknya. Menurut Salman, beliau wanita baik.
"Assalamualaikum, Mbak."
"Waalaikumsalam. Sudah buka ya, Mas?" tanyanya.
Pikir Salman, semangat sekali mbak ini. Maklum, ada tanggungan anak. "Belum Mbak."
"Ow, kirain sudah buka. Ada apa?"
"Mbak belum menikah lagi?"
Dia kirim emot ketawa. "Belum, emang kenapa?"
Langsung saja Salman bilang. "Mau nikah sama saya, Mbak?"
"Tidak salah dengar saya nih?"
"Baca, Mbak, bukan dengar."
"Wkwkwwkwk... Mas Salman bisa aja. Memang Mas mau sama janda anak dua?"
"Bukan soal janda atau perawan, tapi butuh yang bisa jalani hidup bersama."
"Gimana ya?"
"Apa saya bukan kriteria idaman, Mbak?"
Agak lama tidak menjawab. "Masnya serius?" tanyanya kemudian.
"Iya. Saya ingin segera menikah."
Keduanya sudah lama saling kenal walau tidak pernah jalan berdua, tapi sering ngobrol saat sedang ambil barang. Alifia, wanita tersebut pun mau menerima Salman sebagai istrinya. Salman mengabarkan pada orang tua dan kerabatnya, mereka pun tidak keberatan meskipun sudah janda. Pikir mereka, dari pada Salman pergi jauh lagi atau terus membujang.
Saat pandemi pesta pernikahan tidak bisa dilangsungkan dengan meriah. Acaranya pun sangat sederhana, hanya dihadiri keluarga inti. Sah.
Pagi ini suasananya beda. Malam pertama baru saja mereka lalui. Ternyata Salman merasa lebih semangat setelah malam pertama.
***
"Kenapa Mas tida beralih online saja," usul Alifia. "Jualan saya laris banyak di online."
Benar juga ide istrinya. Sekolah saja bisa beralih online, pikir Salman. Ia pun mencoba belajar tentang dunia online pada istrinya. Begini suasana kamar pengantin baru kalau sudah pada mandiri, tak hanya bicara soal cinta. Urusan bisnis pun dibahas di ranjang sang pengantin.
"Aku jualan di market place, IG, Facebook, YouTube, TikTok, Website," jelas Alifia.
Salman tidak begitu paham. Kalau Facebok sama IG dia punya. Sedikit demi sedikit ia pelajari. Memang tidak seperti sebelum pandemi, Salman masih baru dengan dunia online. Sepertinya dia kurang sreg, tapi mau bagaimana lagi, keadaan memaksa dia untuk kreatif mencari jalan lain.
Perlahan, degan penuh semangat, usahanya pun mulai naik lagi. Beruntung juga dia punya istri yang bisnisnya sudah lumayan jalan, jadi lebih meringankan beban. Mungkin itu juga efek menikah, karena katanya biasanya rizqi bertambah setelah menikah.
"Udah malam," kata Alifia.
Salman paham maksud istrinya. Ia tersenyum pada istrinya.
Belum ada Komentar untuk "Menikah Lagi Saat Usaha Hampir Bangkrut"
Posting Komentar