Featured post

Menikahi Janda Kaya Untuk Biaya Kuliah

BAB 1: Makan Malam Masakan Ibu Kost Ada orang ketuk pintu. Rian membuka kamar kostnya. Rupanya ibu kostnya, Bu Rahma. "Ibuk masak agak ...

Mantra Cinta

______________
______________

cerpen Mantra Cinta

“Mau yang harga uang, atau bukan?”

“Yang bukan uang, apa?”

Latif tersenyum sambil membetulkan duduknya dan meregangkan otot-ototnya. “Kalau yang pakai uang, instan, alias langsung jadi.” Lalu tertawa.

Doni mengerutkan kening. Dia tidak mengerti. “Terus, yang tidak pakai uang?”

“Ini murni. Transaksi ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang ikhlas …”

“Berarti gratis!” Doni memotong kata-katanya.

“… benar. Benar sekali. Dan, harus ikhlas juga menjalankan syaratnya.”

“Apa?” Doni agak terkejut. 

Latif tersenyum. “Kamu harus menjadi orang yang baik. Bila sengaja melakukan kesalahan, tubuhmu akan menjadi korban, akan hancur secara mengenaskan.”

Doni kaget. 

“Dan, tidak boleh main-main. Kalau dia benar-benar suka sama kamu, kamu harus nikahi dia dan harus benar-benar sayangi dia.”

Doni menghela nafas. “Ya, kalau sayangnya sih, itu sudah pasti. Mana ada orang tidak sayang sama kekasihnya? Tapi … apa efeknya tidak bisa dihapus?”

Latif tertawa. Mungkin aneh menurutnya. Katanya mau menyayangi, kenapa takut pada hukumannya kalau berkhianat? Berarti tidak benar-benar sayang. Latif juga berharap agar Doni tidak memilih yang ini, biar dia dapat uang. Dari pada susah-susah cari kerja, nyangkul di sawah orang atau jadi kuli bangunan? Lebih baik duduk baca mantra. Untung kalau Doni mau jadi marketingnya, menjualkan azimat cinta-nya. Pasti laris. Atau mempromosikan dirinya.

Doni menatap Latif. Tatapan itu merupakan pengharapan. “Masak, tidak ada amalan yang bisa menangkal hukuman itu?”

Latif tertawa lagi. “Ini yang paling ampuh, Don. Tidak sembarang orang boleh menggunakannya, orang tertentu saja. Kalau kamu mau menjadi orang yang tertentu itu, silahkan.”

Doni menghela nafas. Dia teringat ketika dulu menjampi-jampi Halimah, temannya di pondok. Dia kalah, Halimah bertunangan sama lelaki lain. Dia kecewa. Mungkin yang ini yang dipakai tunangannya Halimah dulu? pikirnya. Sepertinya dia lebih minat yang ini, tapi belum berani menanggung akibatnya bila melanggar ketentuannya. 

“Tak pikir-pikir dulu, Tif,” katanya.

Dia pulang. Merenung di kamarnya. Kenapa latif belum tunangan juga, atau pacaran? Belum ada yang cocok? Mentang-mentang punya ilmu kayak gituan, nyari yang cantiknya tak tertandingi? Atau dia juga takut menggunakannya? pikirnya. Dia membayangkan wajah Nina, teman pondoknya.

Gadis itu sangat cantik. Dia idaman semua santri putra dan semua siswa SMA. Bahkan mahasiswa pun tergila-gila padanya. Gadis itu  memang terkenal. Sebenarnya banyak yang lebih cantik, santri yang sekolah di madratsah aliyah, SMK, SMA, juga yang sudah jadi mahasiswa. Tetapi, Nina memiliki keunggulan, dia juara qiroat se-Propinsi. Siapa yang tidak mengenalnya, sudah cantik, merdu suaranya.

Saingan Doni sangat berat, terutama santri yang sudah berstatus mahasiswa. Mereka sudah jauh lebih dewasa, dan sebentar lagi akan bekerja dan berpenghasilan tetap. Mendapatkan Nina, bagi Doni, sama dengan memiliki separuh dunia. Mungkin? Kebahagiaan yang tidak tertandingi. Mungkin dia akan memberitahukan orang-orang bahwa dirinya sudah berhasil mendapatkan Nina, bintang qiroat di pondoknya. 

Kulakukan. Tidak. Lakukan saja. Tidak. Cinta memang butuh pengorbanan, pikirnya. Dia bingung. sepertinya mau nekad menggunakan mantra yang kata Latif paling ampuh. Kudapatkan dia dan menikah. Dia tersenyum sendiri memandagi dinding kamarnya. Seakan wajah Nina tersenyum untuknya di sana.  Tetapi itu hanya ilusi saja. 

Dia menghela nafas dalam-dalam dan merebahkan tubuhnya. Dia memandangi langit-langit kamarnya. Tunangan, menikah, lalu punya anak. Dia tersenyum. Senangya tinggal satu rumah sama kamu. Coba saat ini kamu sudah di sampingku, mungkin kamar ini akan seperti surga? Tak sabar ingin memasuki kaamr pengantin. Dia diam, seperti mau nekad saja. Tapi bila aku lalai? Dia masih belum yakin, masih banyak pertimbangan. Aku manusia, tidak bisa menghindar dari kesalahan. 

***

Ramli datang ke rumah Doni. Saling berkunjung ke rumah teman saat liburan menjadi tradisi santri meski sudah setiap hari bertemu di pondok. Tetapi berbeda bertemu di pondok dengan bertemu di rumah. Biasanya, akan ada perbincangan tentang santri putri. “Gimana kabarnya Ulva?” Ramli membuka pembicaraan. Teman-temannya memang menjodoh-jodohkan Doni dengan Ulva. Hanya Latif yang tahu kalau Doni suka sama Nina. Kerahasiaan tersebut terjaga karena Latif memang sangat pendiam dan sudah lama tidak kembali ke pondok, sibuk dengan profesinya sebagai tabib.

Doni merasa direndahkan. Dia bukan apa-apanya Ulva, kok ditanya kabarnya dia? Sebenarnya, pertanyaan semacam itu sudah sangat biasa dikalangan pemuda santri, seakan Doni dan Ulva sudah menjadi suami istri yang selalu tahu satu sama lain. Tetapi Doni merasa terlalu hina bila harus suka pada gadis selain Nina. Dia sangat istimewa baginya. 

Kalau melihat pemain sinetron di TV, begitu mudahnya mereka memikat wanita. Dibawa ke sana, dan ke mana-mana. Tetapi, masak seorang santri seperti itu? Tapi, sihir kan juga dilarang? pikirnya. Tapi aku menginginkan dia. Aku mencintainya?Dia harus jadi ibu anak-anakku.

“Katanya mau nikah,” jawabnya.

Ramli kaget. “Belum tunangan kok, tiba-tiba mau nikah?”  

“Menunda-nunda pernikahan itu, hanya menambah dosa,” kata Doni. Muter-muter jawabannya.

Dia tidak suka kehadiran Ramli, sebenarnya. Dia ingin berhayal sedang bberduaan bersama Nina, meski tidak bertemu langsung, tapi dia sangat bahagia dengan hayalannya. Ia tidak takut kesurupan karena melamun.

“Kamu nggak mau tunangan, Don?” Tanya Ramli.

Beberapa temannya memang sudah banyak yang bertunangan. Doni diam, tidak menjawab. Sepertinya dia mendapat ide dari pertanyaan Ramli. Dia tidak akan menolak bila dilamar dengan baik-baik, pikirnya. Menurutnya, gadis yang baik tidak akan menolak mentah-mentah seperti gadis lainnya. Kalaupun tidak suka, paling nunggu waktu untuk menolaknya, alias ditolak secara tidak langsung. Biasanya mengulur-ulur waktu pernikahan, atau alasan apalah. Tapi akan lebih ampuh bila sedikit diguna-guna.

“Segera, Ram,” jawabnya.

“Beneran?”

Doni tersenyum dan mengangguk.

***

Dua puluh ribu dia bayar pada Latif. Cukup untuk mendapatkan mantra instan. Dia sangat yakin akan diterima oleh Nina. Dia yakin Nina akan menerima dirinya apa adanya. Latif senang. Bila Doni berhasil, akan semakin banyak orang yang minta tolong padanya dan pendapatannya pun akan semakin banyak. 

Keluarga Doni senang karena anaknya sudah mendapatkan jodoh. Besok malam mereka akan melamar Nina untuk Doni. Terutama neneknya Doni, dia sangat bangga pada cucunya, apalagi yang akan dilamarnya seorang santri berprestasi. Besok malam bukanlah waktu yang ditentukan dengan tergesa-gesa. Mereka sudah melakukan perhitungan, isi harinya, isi jamnya, arah jalannya, dan semacamnya. Bahkan warna dan macam kue yang harus dibawa pun sudah diperhitungkan dengan matang. Hal itu demi kelancaran dan agar mudah diterima oleh calon menantu dan besan.

Tengah malam, di sepetiga malam, mereka melaksanakan shalat hajat yang dikhususkan untuk meminta seorang gadis untuk Doni, gadis yang ia cintai, yang ia kagumi, semoga mudah menerima lamarannya. Doni sangat khusuk meminta pada Tuhannya. Ada beberapa bacaan khusus yang dibaca setelah shalat, katanya tuntunan ulamak.

Nina terasa begitu dekat bagi Doni. Seakan dia sudah resmi menjadi miliknya, seakan dia sudah menjadi istrinya, menjadi ibu anak-anaknya. Dia tidak sabar ingin segera siang. Ingin matahari segera bersinar. Kalau saja dia bisa, dia ingin menyuruh matahari untuk datang lebih awal. Tetapi itu mustahil, terlalu hayal.

Dan akhirnya, pagi pun tiba. Jam setengah sepuluh mereka berangkat, Doni, ayahnya, dan pak denya. Pak denyalah yang akan dijadikan juru bicaranya. Dia lebih tenang, lebih luwes bicaranya. Memang begitu. Orang tua Doni terlalu grogi dan merasa kurang pantas bila melamar sendiri, sudah tradisi, umumnya orang lain yang melamarkan. Sebenarnya, formalitas saja perwakilan itu karena ayah Doni juga ikut.

Hanya setengah jam perjalanan, mereka tiba di rumah calon besan. Keluarga Nina sudah siap-siap karena sehari sebelumnya paman Doni sudah memberi kabar melalui temannya yang satu desa dengan Nina. Biasanya, pihak keluarga pria bertamu dulu sekedar tahu calon menantu wanitanya. Setelah itu, baru dilamar. Tetapi karena hari baik sangat mepet dan hari-hari berikutnya, menurut keyakinan mereka, kurang baik, maka sedikit menyimpang dari kebiasaan.

Doni duduk di samping pak denya. Bapaknya di sebelah kanan pak denya. Ayah Nina duduk berhadapan dengan mereka, sementara Nina di dalam bersama ibunya. Doni tidak sabar ingin segera melihat Nina keluar. Padahal di sekolah dia setiap hari melihatnya. Dia grogi, takut, khawatir Nina marah karena tidak melalui dia dulu. Tetapi dia pasrah.

Nina keluar membawa teh untuk mereka. Doni sekilas memandangnya, Nina tersenyum padanya. Dada Doni seperti terbakar api yang sejuk. Rasa ini baru kali ini dirasakannya, tak ada duanya. Perasaannya sangat bahagia. Hatinya tidak ingin pulang, kalau dibolehkan, dia ingin menikah hari ini saja.

Nina ke dalam lagi. Kenapa tidak duduk di samping ayhanya, berhadapan denganku, piker Doni. Dia ingin sekali berhadapan dengannya, memandangi wajahnya, berbicara dengannya dalam jarak yang begitu dekat. Tetapi tidak lama lagi hal itu akan menjadi nyata, kalau takdir memihak pada dirinya.

***

Doni membawa ayam potong ke rumah Latif. Dia ingin menyembelih ayam itu dan memasaknya di rumah latif, dan dimakan berdua saja. Itu sebagai bukti terima kasihnya. Uang saja tidak cukup. Kalau perlu dia akan menganggap Latif sebagai gurunya.

“Berlebihan kamu, Don,” kata Latif.

“Ah, nggak papa. Aku sngat bahagia sekarang,” katanya.

“Jangan lupa berdoa pada Allah, tanpa izin-Nya, semuanya tidak akan kamu dapatkan.”

Ayam itu terkapar di tanah. Lalu dimasukkan ke dalam air panas untuk dibersihkan bulunya. “Tidak usah masak nasi, Tif. Makan begini saja,” kata Doni.

Latif hanya tersenyum membiarkan temannya melakukan keinginannya. Dia memaklumi, begitulah orang yang sedang bahagia, lupa daratan. Coba kalau sedang gelisah pikirannya, jangankan menyembelih dan memasak ayam, makan saja tidak mau. 

“Kapan rencananya mau nikah, Don?” Tanya Latif.

“Setelah lulus.”

“Aduh. Lama sekali.” Doni terkejut mendengarnya. Dia memandang Latif, seakan khawatir pertunangannya gagal. “Segera ditumpengi, Don.”

Tumpengan merupakan salah satu proses dalam acara pertunangan. Acara tersebut dilakukan dengan berkunjung ke rumah keluarga wanita dengan membawa kue dan barang-barang untuk diberikan pada keluarga calon menantu wanita, bisa pakaian, atau perabot rumah. Kemudian keluarga besan menantu wanita membalasnya.

“Tapi aku yakin dia setia, Tif. Dia juara qiroat, gadis yang taat beragama.”

Doni yakin sekali.


Belum ada Komentar untuk "Mantra Cinta"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel