Featured post

Menikahi Janda Kaya Untuk Biaya Kuliah

BAB 1: Makan Malam Masakan Ibu Kost Ada orang ketuk pintu. Rian membuka kamar kostnya. Rupanya ibu kostnya, Bu Rahma. "Ibuk masak agak ...

Berburu Doa Untuk Masa Depan

______________
______________

Berburu Doa Untuk Masa Depan

"Tidak bisnis lagi, Han?"

Hanafi sudah tidak tertarik lagi dengan yang namanya bisnis. Sudah bertahun-tahun dia menjalani banyak bisnis, tapi hasilnya tidak sesuai harapan. Sudah banyak acara motivasi ia ikuti, tapi sama saja. Bahkan ritual pesugihan pun sudah ia ikuti, tapi tidak juga ada hasilnya. Keberuntungan tidak memihak pada dirinya.

Dulu ia semangat sekali karena ingin menjadi orang kaya. Inginnya kalau sudah kaya, mau banyak beramal, tapi tidak kaya-kaya. Kini usianya sudah tidak lagi muda. Dulu ingin kaya di usia muda seperti kata motivator. Bertahun-tahun masa ia habiskan berburu harta, dan tidak ia dapatkan. Rasanya belum sempat ia menikmati hidup. Sudah banyak strategi sukses ia coba, semuanya sia-sia.

Baca juga: Pola Pikir Negatif yang Tidak Disadari

"Syukuri yang ada, maksudnya berbahagia," nasehat salah seorang kyai. "Seperti apapun hidup ini, nikmati saja. Jangan terlalu banyak minta, tapi banyak-banyaklah bersyukur. Syukuri yang sudah dimiliki."

Hanafi kini bekerja sebagai kuli pabrik dengan gaji pas-pasan. Rupanya pesan kyai tersebut mengena sekali di hatinya. Ia pun menerima keadaan hidupnya. Ia syukuri saja. Dan satu hal yang kini menjadi misi barunya, yakni berburu doa. Sebagaimana nasehat sang kyai, banyak berbuat baik pada orang lain, Allah akan perbaiki hidupmu.

Hanafi segera menghampiri Mbak Hani, rekan kerjanya yang terlihat kerepotan memindahkan barang karena terlalu berat. "Saya bantu, Mbak," Dulu, mana sempat dia mikir orang lain. Sekarang ia bisa bergaul dengan siapa saja tidak melulu sibuk dengan bisnis.

"Badanmu kurus sekali, Mas," kata Silfi saat istirahat.

Hanafi tersenyum. "Iya, kurang makan, kurang belaian juga," jawabnya.

"Ciee...," kata Silfi.

Dulu, mana mau dia bercanda kayak gitu. Sibuk belajar bisnis. Rupanya asyik juga hidup santai.

"Anakku sakit," kata Ida ke Silfi. "Mau periksa ke dokter, belum ada uang. Cuma tak kasih sirup."

"Sakit lagi?"

"Iya. Susunya tidak cocok kayaknya."

Hanafi jadi banyak tahu banyak hal tentang kehidupan. Hidup ini banyak cerita.

"Mbak Lina mau cerai, katanya ya?"

"Iya. Suaminya kuran perhatian. Kaya sih, tapi kan perempuan butuh yang penertian. Tidak melulu uang."

"Iya, percuma kaya kalau jablai."

"Tapi kalau tidak ada uang, juga bingung."

***

Hidup terasa lebih bahagia. Bukan karena penghasilan Hanafi bertambah, tapi karena mengapresiasi apa yang dimiliki, itu semua pemberian Tuhan. Bahaiga tak harus banyak harta, tak harus jadi yang nomor satu, pikirnya. Di tempat kerjanya ia mendapat banyak cerita kehidupan. Mereka orang-orang biasa, tapi rupanya bisa bahagia. Hanafi banyak belajar dari mereka cara tertawa.

"Kamu ada uang, Han? Aku lagi butuh buat periksa kandunan istri."

Hanafi belum menikah karena menghitung-hitung biaya hidup. Seakan-akan kalau perhitungan meleset, ia akan mati. Padahal banyak orang menikah dalam keadaan tak banyak harta, rupanya hidup. Hanafi memberinya pinjaman sesuai yang ia butuhkan. Ia yakin Allah pasti mudahkan dirinya.

"Terima kasih, Han. Semoga dibalas Allah kebaikanmu."

"Sama-sama."

Hanafi selalu mencari peluang untuk membantu orang lain, yang terdekat teman-temannya. Ia tidak segan membantu pekerjaan rekan kerjanya jika dirinya selesai duluan. Tentu saja ia selalu dapat doa saat membantu temannya, meskipun doanya sambil gurai, "Baik banget kamu, Kawan, semoga dapat istri dua," kata Hadi, salah seorang rekan kerjanya.

Ia juga suka berbagi makanan. Setiap ia membeli makanan seperti kue, selalu ia berbagi. Ia juga suka memberi sumbangan amal masjid yang biasanya mangkal di perempatan. Walau ngasih sedikit-sedikit, yang penting rutin. Tiap hari ia dapat doa dari petugas amal. Tak lupa ia juga suka memberi makanann pada anak yatim di dekat tempat ia bekerja.

***

Malam semakin larut. Cerita hidup sudah berubah. Masa depan memang tidak bisa ditentukan, tapi tidak perlu dikhawatirkan. Hanafi mulai berpikir untuk menikah. Walau gajinya pas-pasan, buktinya teman-temannya bisa. Perlahan mulai ia buang impian berlebihan menjadi milarder, dari pada hanya bikin stres.

"Mas Hanafi belum ada rencana menikah?" tanya Ida.

Hanafi agak bingung menjawabnya. "Yaa, ingin sih."

"Di sini tidak ada yang cocok?"

Hanafi tertawa. Sepertinya ia belum pernah melihat ada cewek cantik.

"Ada temanku yang ingin segera berkeluarga, Mas," katanya.

Hanafi jadi tidak enak.

"Dia di bagian packing."

Saat jam istirahat Ida menunjukkan fotony pada Hanafi. "Waduh, cantik banget, Mbak. Apa mau sama saya?" dia malah tidak pede. Ida menjelaskan detail tentang dia pada Hanafi. Luar biasa. "Boleh juga sih."

"Kalau mau, tak kenalin. Siapa tahu jodoh."

"Boleh."

Mumpung lagi istirahat. Ida memanggilnya agar ke ruangan tempatnya. Hanafi agak deg-degan. Tak lama kemudian ia datang memakai masker. Tubuhnya seksi. "Ini Mas Hanafi," kata Ida. Hanafi kaget. Dia juga kaget, agak malu. Dia memukul lengan Ida. "Kenalan." Mereka pun berjabat tangan, kenalan. Namanya Vivi.

"Sudah lama kerja di sini, Mas?" tanyanya.

"Baru tiga bulan."

Sepertinya Hanafi langsung sreg. "Mbaknya udah lama?"

"Bareng sama ini," jawabnya sambil menunjuk Ida.

"Udah dua tahun ya," kata Ida. "Tapi saya laku duluan."

"Hahahahahaa... Kok nggak enak gitu ngomongnya," kata Vivi.

"Nanti tak kirimi nomornya dia, Mas," kata Ida.

"Loh...!! Apa-apaan," kata Vivi tapi sambil tertawa senang.

"Udah, biasa aja. Siapa tahu jodoh."

Hanafi diam aja memandangi Vivi.

"Kamu bikin aku malu," katanya sambil tertawa.

***

Sepulang kerja Hanafi membeli beberapa mushaf al Quran dan diletakkannya di masjid. Ia pernah mendengar ceramah, katanya setiap orang yang membaca al Quran tersebut, maka ia mendapt pahalanya. Ia berharap dengan itu urusannya dimudahkan.

Setibanya di rumah ada pesan masuk. Rupanya dari Ida, ia mengirim nomor WA-nya Vivi. Sehabis mandi ia menghubungi Vivi. "Assalamualaikum. Saya Hanafi, yang tadi dikenalin Mbak Ida." Begitu isi pesannya.

"Waalaikumsalam," jawab Vivi disertai emot unyil mata bintang.

"Lagi ngapain?"

"Mau masak, Mas."

"Wah, enak nih."

"Sini kalu mau."

"Hehe... ya, udah, lanjut nanti aja."

"Siap."

Sepertinya tidak enak kalau hanya ngobrol via WA. Hanafi lebih sreg ngobrol langsung. Tetapi tidak enak juga, perkenalannya dengan dia kan sudah diniatkan untuk menikah. Padahal, Hanafi belum tahu cocok atau tidak. Begitu memang kalau dikenalin teman. Jadi simalakama. Tetapi, Ida sudah sangat mengenal dia, tentu dia tidak akan mengecewakannya. Lagian, masih mau mencari yang seperti apa, namanya manusia tidak ada yang sempurna. Menurutnya, yang panting mau ibadah, pasti Allah bimbing.
 
bersambung

Belum ada Komentar untuk "Berburu Doa Untuk Masa Depan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel