Pola Pikir Negatif yang Tidak Disadari
Sabtu, 12 Desember 2020
Tambah Komentar
______________
______________
“Kalau sudah menikah, sudah beda”
Mungkin kita sering mendengar orang bilang begini, “Sekarang sudah menikah, sudah beda. Tanggung jawabnya lebih besar,” atau “Biasa anak muda, mumpung masih bujang.”
Ungkapan-ungkapan diatas terdengar biasa. Tetapi, coba kita cermati lebih dalam maksud dari perkataan tersebut. Bagi sebagian pemuda muslim, ungkapan tersebut bisa diartikan bahwa:
- Masih muda, hidup belum serius
- Masih muda, masih boleh main-main
- Masih muda, masih boleh bersantai
- Masih belum menikah, memang masih waktunya hura-hura
- Dan sebagainya. Na’udzubillah...
Tanpa disadari berapa orang tua yang biasa bilang begitu, berapa kali satu orang dewasa bilang begitu, mungkin tak terhitung. Di daerah tertentu, anak-anak sudah dituntut untuk memikul tanggung jawab ketika sudah punya adik, di daerah lain ketika hatam membaca al Quran 30 juz, di daerah lain anak-anak muslim sudah dituntut untuk memikul tanggung jawab ketika sudah disunnat/khitan, ada yang ketika balligh.
Jika ungkapan tersebut diucapkan pada seorang pemuda yang baru menikah, maka hal tersebut adalah motivasi. “Engkau sekarang sudah menikah, tanggung jawabmu bertambah.” Ya, ini sebagai pengingat kepadanya bahwa ia sudah punya satu tambahan amanah, yakni istri. Sebenarnya, motivasi untuk peduli dan saling membantu sesama muslim itu tidak hanya pada istri, tapi juga pada saudara, kerabat, juga saudara seiman. Meskipun belum punya istri, bukankah sangat baik jika sudah mulai peduli dengan anak saudara dan tetangga kurang mampu, peduli terhadap fakir miskin, dan semacamnya. Tidak perlu menunggu menikah kan?
Jadi, sebagai seorang muslim, kita tidak perlu menunggu menikah untuk semangat beramal. Mulailah sekarang, saat ini, kita terus tambah ilmu, tingkatkan kwalitas ibadah, dan terus perbanyak amal sholeh.
Baca juga: Nasihat Buat yang Ingin Memulai Bisnis
“Kita kan masih baru”
Sudah beberapa kali pindah kerja, ungkapan seperti ini sering terdengar ketika rapat. Kedengarannya sepele, tapi ini berbahaya. Saya beri contoh. Saya pernah bekerja di suatu lembaga yang umurnya 2 tahun. Ada yang bilang “Baru dua tahun”, ada yang bilang “Sudah berumur dua tahun”. Pimpinan lembaga ini sering menyampaikan dengan nada tinggi, “Kita sudah dua tahun mendirikan lembaga ini, masihkah terus seperti ini...?!” Beliau ingin kita berkembang lebih cepat, lebih semangat lagi.
Di lembaga lain yang umurnya sudah puluhan tahun, saya juga sering mendengar ungkapan seperti ini, “Kita kan baru tiga puluh tahun, ya... tentu tidak bisa menyamai yang sudah tiga ratus tahun.” Ini soal kata “SUDAH” dan kata “MASIH”. Dua kata yang mungkin tidak begitu bermakna, tapi coba kita cermati dampaknya.
Jika seorang pimpinan mengatakan, “Kita sudah dua tahun...!!” di depan anggotanya, tentu saja anggotanya akan merasa tertuntut untuk lebih semangat lagi bekerja, untuk menjadi lebih baik lagi. Berbeda dengan pimpinan yang mengatakan, “Kita kan baru tiga puluh tahun...” kira-kira bagaimana respon anggotanya? Mungkin maksudnya ingin mengajarkan sabar. Biasanya ungkapan ini terucap saat banyak bawahan protes pada atasan, ketika atasan merasa tertekan, maka keluarlah ungkapan perbandingan, dicoba dibandingkan dengan lembaga lain yang lebih buruk dan lebih tua. Ya, tujuannya agar bawahan menganggap itu wajar dan tidak menyalahkan pimpinan. Tetapi, akibatnya atau efek sampingnya, mereka menjadi santai dalam bekerja, bahkan alih fokus.
Ada lagi yang unik, yang saya temukan dalam rapat, ketika terkait kewajiban bawahan, wah, kata motivasi muncul, “Kita harus semangat, mari bersama...!!”, tapi ketika yang menjadi bahasan merupakan tanggung jawab atasan / pimpinan, maka mulai keluar ungkapan, “Kita ini kan masih baru, maklumlah masih seperti ini.”
Semoga kita terhindar dari kemalasan.
“Lagi repot”, “Masih sibuk”, “Belum ada waktu”
Biasanya kalau kita punya keinginan baik: entah mau mulai sebuah kreativitas, belajar suatu ilmu, atau mau melakukan ibadah sunnah, mulai datang ingatan terhadap berbagai aktivitas yang sudah rutin kita lakukan, kadang mulai ingat masalah yang belum terselesaikan. Lalu datang bisikan, “Tunggu waktu luang saja untuk memulainya...!!” atau “Tunggu masalahmu beres dulu untuk memulainya...!!” Padahal, dalam hidup ini, masalah itu tidak ada habisnya, waktu juga begitu. Kalau tidak kita sempatkan, kesempatan itu sulit kita dapatkan. Bahkan tidak pernah dita dapatkan.
Jadi, tidak usah menunggu kesempatan adanya waktu luang, sempatkan saja. Tidak usah menunggu selesainya masalah, mulai saja.
Tetapi, tentu harus logis ya, harus realistis.
“Kalau sudah begini, aku akan...”
Berbuat sesuatu berdasarkan hayalan, bukan realita. Ini juga mindset yang keliru. Contoh, “Aku akan banyak bersedekah kalau gajiku sudah Rp 2000.000 per bulan”, atau “Aku akan belajar Bahasa Arab kalau mondok di pesantren itu.” Masa depan itu belum menjadi milik kita. Yang sudah menjadi milik kita itu adalah yang ada saat ini. Maka bersyukurlah atas apa yang dimiliki saat ini, semua yang ada ini dari Allah. Berbahagialah. Sedangkan hari esok, itu belum Allah berikan pada kita. Jadi, jika ingin berbuat baik, lakukan sekarang, mulai sekarang. Sedekah tidak harus nunggu gaji dua juta, senyum itu sudah sedekah, nasih makan binatang itu juga sedekah. Belajar Bahasa Arab juga bisa dimulai sekarang meskipun hanya beberapa kata. Jadi, bersyukur, berbahagia atas semua krunia Allah yang kita miliki, dan berikhtiar dengan sebaik-baik ikhtiar. Berdoa dengan penuh harap agar esok (masa depan) lebih baik. Jika ingat masa lalu, ingat dosa dan beristighfar dengan penuh penyesalan.
“Perempuan, kalau sudah lihat uang...”
Ini kebiasaan para suami. Banyak ungkapan serupa, katanya “Istri itu suka ngomel”, “istri itu manja kayak anak-anak”, “Istri itu sukanya ngabisin uang”, dan masih banyak lagi label-label buat kaum hawa ini.
Kita berbuat berdasarkan apa yang ada dalam pikiran kita (mindset). Kerikil di halaman tidak ada harganya, maka kita tidak mempedulikannya karena tidak ada guna. Tetapi ketika kerikil itu terbungkus menjadi bahan material bangunan karena kita hendak membangun rumah, sikap kita menjadi beda. Uang sekian rupiah rela kita keluarkan untuk mendapatkannya.
Lalu bagaimana dengan amanah Allah berupa seorang wanita, ibu dari anak-anak kita? Mau kita anggap ia sebagai mahluk cerewet? Atau mahluk penghabis uang? Atau mahluk kekanak-kanakan? Atau sebagai amanah dari Sang Pencipta kita?
Ada yang bilang, wanita itu tercipta dari tulang rusuk dekat tangan untuk dilindungi, dekat hati untuk disayangi (dari buku karya Ust Salim A. Fillah). Kata Ust Abdul Somad, Lc., MA, seorang istri punya hak perhatian dan pendidikan dari suaminya. Nah, artinya suami wajib mendidik, bukan men-judge atau melabeli dengan label negatif. Perempuan itu kan juga ibu dari anak, suami perlu memberi contoh anak-anak bagaimana bersikap pada ibunya. Nah, mindset yang keliru ini berbahaya.
Belum ada Komentar untuk "Pola Pikir Negatif yang Tidak Disadari"
Posting Komentar