Golongan Tak Bergolongan
Minggu, 20 Desember 2020
Tambah Komentar
______________
______________
"Jika ada dua ulama berbeda pendapat, maka kita yang awam cukup pilih salah satu, tidak perlu mencaci yang satunya."
"Kalau golongannya yang dicaci, mati-matian membela. Lupa dari dulu tak henti-hentinya mencela."
Beranda facebook penuh dengan pertengkaran. Pagi siang malam tak bosan-bosannya berdebat. Mereka beradu argumen. Mereka sama-sama merasa benar. Ada yang ingin menunjukkan existensi diri agar orang tahu bahwa dirinya benar, bahwa dirinya hebat. Dunia politik memang cukup menarik perhatian kaum Adam.
Katanya ada komunitas yang menentang pemerintah, komunitas ini dipimpin seorang tokoh agama. Kelompok ini didukung oleh beberapa ulama, bukan semua ulama. Nah, beberapa ulama yang lain pro pemerintah. Nama tokoh agama atau ulama itu kan banyak pengikutnya. Kalau kata UAS, tidak sulit untuk mengumpulkan buaya, yang sulit itu mengumpulkan pawangnya. Hehe... Kalau ulamanya rukun, semua pengikutnya rukun.
Baca juga: Maling Yang Mendadak Jadi Kyai
"Mas, gendong Farhan dulu, aku lagi nyuci...!!" kata Fatma pada suaminya, Dzaki. Anaknya yang baru berumur satu tahun menangis di kamar.
Dzaki sedang mengetik tanggapan terhadap status temannya di Facebook. Sebulan terakhir, perdebatan cukup panas. Kitab-kitab klasik yang sudah lama tidak dibaca, terpaksa ia baca lagi untuk mencari referensi. Padahal, waktu belajar di pesantren dulu, rasanya berat sekali untuk membaca kitab-kitab tersebut. Sekarang terpicu semangatnya oleh perdebatan-perdebatan di sosial media.
Istrinya terpaksa berhenti dulu mencuci dan menggendong anaknya yang nangis. Ia lihat suaminya fokus pada ponselnya. Ia ke dapur untuk membuatkan susu buat Farhan. Dilihatnya stok susu sudah tinggal sedikit. Mungkin dua hari lagi habis. Ia berharap keajaiban datang, biasanya saat sedang butuh sesuatu, ada saja jalannya rizki datang: kadang teman datang membawa sesuatu, kadang ada tetangga yang ngasih pinjaman.
"Jika pemimpin negara berlaku adil, dukunglah. Jika tidak, maka doakan agar Allah mmeberinya hidayah. Bukan malah dicacai," salah seorang senior Dzaki waktu belajar di pondok berkomentar mengutip nasehat salah satu ulama. "Kita tidak bisa merubah watak orang lain, kita hanya bisa berikhtiar, Allah yang akan merubah."
Salah satu teman Dzaki ada yang berkomentar, "Benar, Mas. Banyak orang lupa, merasa bisa seperti Tuhan. Seakan dengan caciannya orang lain akan berubah."
Arif, teman Dzaki yang baru saja menikah dengan putri seorang kyai, pun turut berkomentar. "Ayo kita bersama bantu fakir miskin, bantu didik anak-anak yatim." Ia memang tidak begitu tertarik dengan dunia politik. "Kalau semua alumni pesantren yang berilmu ini mau meluangkan waktunya satu jam saja dalam sehari untuk mengajar, maka sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu akan terwujud."
bersambung...
"Kalau golongannya yang dicaci, mati-matian membela. Lupa dari dulu tak henti-hentinya mencela."
Beranda facebook penuh dengan pertengkaran. Pagi siang malam tak bosan-bosannya berdebat. Mereka beradu argumen. Mereka sama-sama merasa benar. Ada yang ingin menunjukkan existensi diri agar orang tahu bahwa dirinya benar, bahwa dirinya hebat. Dunia politik memang cukup menarik perhatian kaum Adam.
Katanya ada komunitas yang menentang pemerintah, komunitas ini dipimpin seorang tokoh agama. Kelompok ini didukung oleh beberapa ulama, bukan semua ulama. Nah, beberapa ulama yang lain pro pemerintah. Nama tokoh agama atau ulama itu kan banyak pengikutnya. Kalau kata UAS, tidak sulit untuk mengumpulkan buaya, yang sulit itu mengumpulkan pawangnya. Hehe... Kalau ulamanya rukun, semua pengikutnya rukun.
Baca juga: Maling Yang Mendadak Jadi Kyai
"Mas, gendong Farhan dulu, aku lagi nyuci...!!" kata Fatma pada suaminya, Dzaki. Anaknya yang baru berumur satu tahun menangis di kamar.
Dzaki sedang mengetik tanggapan terhadap status temannya di Facebook. Sebulan terakhir, perdebatan cukup panas. Kitab-kitab klasik yang sudah lama tidak dibaca, terpaksa ia baca lagi untuk mencari referensi. Padahal, waktu belajar di pesantren dulu, rasanya berat sekali untuk membaca kitab-kitab tersebut. Sekarang terpicu semangatnya oleh perdebatan-perdebatan di sosial media.
Istrinya terpaksa berhenti dulu mencuci dan menggendong anaknya yang nangis. Ia lihat suaminya fokus pada ponselnya. Ia ke dapur untuk membuatkan susu buat Farhan. Dilihatnya stok susu sudah tinggal sedikit. Mungkin dua hari lagi habis. Ia berharap keajaiban datang, biasanya saat sedang butuh sesuatu, ada saja jalannya rizki datang: kadang teman datang membawa sesuatu, kadang ada tetangga yang ngasih pinjaman.
"Jika pemimpin negara berlaku adil, dukunglah. Jika tidak, maka doakan agar Allah mmeberinya hidayah. Bukan malah dicacai," salah seorang senior Dzaki waktu belajar di pondok berkomentar mengutip nasehat salah satu ulama. "Kita tidak bisa merubah watak orang lain, kita hanya bisa berikhtiar, Allah yang akan merubah."
Salah satu teman Dzaki ada yang berkomentar, "Benar, Mas. Banyak orang lupa, merasa bisa seperti Tuhan. Seakan dengan caciannya orang lain akan berubah."
Arif, teman Dzaki yang baru saja menikah dengan putri seorang kyai, pun turut berkomentar. "Ayo kita bersama bantu fakir miskin, bantu didik anak-anak yatim." Ia memang tidak begitu tertarik dengan dunia politik. "Kalau semua alumni pesantren yang berilmu ini mau meluangkan waktunya satu jam saja dalam sehari untuk mengajar, maka sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu akan terwujud."
bersambung...
Belum ada Komentar untuk "Golongan Tak Bergolongan"
Posting Komentar