Siswa-Siswaku yang Nakal dan Selalu Bikin Onar

"Lima anak itu dihukum kapan, Pak?" tanya Pak Salim aak emosi.
Pak waka kesiswaan, Pak Uring, tidak segera menjawab. Beliau memang begitu, tidak terlalu agresif kalau sudah urusan menghukum siswa, padahal semua warga sekolah tahu tugas waka kesiswaan itu menghukum siswa yang melanggar aturan. Beberapa wali kelas dan guru tidak suka pada sikapnya yang terkesan lamban. "Kalau tidak dihukum, anak-anak malah tambah berulah," kata Bu Desi.
"Saya panggil dulu, Pak," jawab Pak Uring.
Pak Salim dan beberapa guru merasa kesal mendengarnya. Perasaan, mereka tidak pernah melihat anak itu dipanggil ke ruang waka kesiswaan yang ada di depan ruang guru. Habis jam istirahat Pak Uring keliling lingkungan sekolah, memastikan semua siswa masuk ruang kelas. Ada sebagian yang masih di kamar mandi. Mereka memandang Pak Uring dengan lagak menantang, kedua tangannya malangkerek di pinggang. Pak Uring mendekatinya, "Tangannya diturunkan," katanya. Dirinya tidak memarahi mereka dan tidak menyuruhnya ke kelas karena sedang di dekat kamar mandi. Menurutnya, mereka sedan antri. Beliau hanya nungguin mereka sambil mengambil beberapa sampai yang tergeletak.
Pak Firman menghampiri Pak Uring. Beliau wali kelas XI, cukup sering kondultasi dengan Pak Uring. "Habis ini, Pak Uring sibuk?" tanya beliau.
"Tidak, Pak," jawab Pak Uring, lalu duduk di bebatuan dekat kamar mandi.
Pak Firman juga duduk di situ. Anak-anak itu teriak-teriak agar yang di dalam segera keluar. Mungkin mereka malu ada Pak Uring. "Ini, Pak, anak saya, Si Doni," kata Pak Firman. Doni termasuk dari lima anak yang telah melakukan pelanggaran.
"Sudah saya panggil, Pak," jelas Pak Uring. "Hanya satu sebenarnya aktornya. Dia memang punya sedikit masalah mental. Saya sudah tahu kondisi keluarganya."
Pak Firman memang tidak gampang berpersepsi buruk, tidak seperti sebagian guru lain yang kalau tidak kelihatan menghukum, berarti tidak kerja. "Kalau boleh tahu, siapa, Pak aktornya? Takutnya anak saya," tanyanya lagi sambil tersenyum.
"Bukan. Anak kelas XII. Kasihan sebenarnya, sudah mau lulus."
Pak Uring lebih suka mencari tahu masalahnya secara utuh dibanding hanya menghukum karena menurutnya, dengan mengetahui akar masalanya, dirinya bisa paham apa yang harus diperbuat. Tetapi, bagi sebagian guru, itu tidak baik karena banyak anak yang akan mengira di sekolah tidak ada hukuman.
"Kalau boleh saya menebak," kata Pak Firman. "si Dicky, Pak?"
"Kok tahu sampean?"
"Sering dibicarakan sama guru-guru."
"Iya. Saya sering kontak orang tuanya, terutama Pak De-nya. Beliau yang cukup peduli. Ayah sama ibunya kurang perhatian."
baca juga: Menyoal sila satu ketuhanan yang maha esa
***
Pak Salim menampar salah seorang siswa. Ia memang terkenal kasar dan banyak siswa yang menganggapnya musuh. Sebagian siswa senang karena siswa-siswa yang suka usil akan disikat sama beliau. Anak-anak yang pendiam, yang biasanya suka diusilin mengidolakan beliau. Pak Uring mengamati apa yang dilakukan Pak Salim dari kantornya. Kemudian beliau menghampiri mereka. "Salman berdiri di sana," kata beliau menunjuk ke halaman yang panas. Salman pun nurut.
Sambil menemani Salman berdiri, Pak Uring mengajaknya ngobrol, "Kenapa, Salman?" tanya beliau.
"Nggak tahu, Pak....! Dia kan memang suka marah-marah," jawabnya ketus.
Pak Uring tersenyum. Begitulah anak-anak kalau lagi mangkel, agak manja. "Suka kamu sama pelajarannya?"
"Kalau gurunya baik, suka, Pak."
Dari hasil dialog dengan banyak siswa, beragam pandangan mereka terhadap guru. Pak Uring tidak mau ambil pusing. Menurutnya, apa yang diajarkan agamanya, itulah yang terbaik dan benar. Meskipun gemar membaca buku-buku psikologi, dirinya juga tidak 100% setuju dengan pandangan pakar psikolgi. Menurutnya, ada kekuatan yang Maha Kuat, Dialah yang merubah yang tidak baik jadi baik. Strategi-strategi pembinaan dalam buku-buku psikologi banyak yang tidak sesuai, menurutnya.
"Siapa yang Salman sukai?"
"Pak Uring tidak kepanasan?" Salman balik nanya.
"Tidak apa-apa. Siapa, guru yang kamu suka."
"Yaa, Pak Firman, sampean, Bu Diah, banyak, Pak."
"Salman rajin sholat ya?"
Salman tersenyum. "Sering bolong, Pak."
Menurut Pak Uring, banyak siswa yang putus asa untuk menjadi baik. Mereka terlanjur merasa dirinya anak yang tidak baik dan bukan anak kebanggaan. Menurutnya, anak-anak itu merasa tidak punya peluang lagi untuk menjadi baik. Hal itu banyak faktor, ada yang karena sikap orang tua atau guru yang selalu memberi label 'Anak nakal', seakan anak tersebut tidak punya kebaikan atau dianggap selalu atau sering berbuat kesalahan. Menurut Pak Uring, anak-anak yang demikian butuh diyakinkan kembali bahwa dirinya adalah mahluk terbaik yang cinta kebaikan.
"Terus berdoa, Salman. Semoga kalau sudah lulus dari sini, kamu sukses."
"Aamiin, Pak."
"Banyak kakak-kakak kelasmu yang masih nganggur, ke sana ke mari cari kerja belum dapat dapat." Salman diam menyimak. "Salah satu yang memudahkan urusan kita untuk mencapai sukses adalah hormat kepada orang tua dan guru, sekalipun mereka bukan orang baik. Itu kewajiban dari Tuhan kita. Wajar jika mereka salah, semua manusia punya salah." Menurut Pak Uring, hormat orang tua dan guru itu tanpa syarat, wajib hukumnya.
Pak Uring banyak kerjaan, banyak yang harus dikerjakan di ruangannya, tapi harus direlakan waktu kerjanya, bisa diganti di rumah nanti. Begitulah, waktu untuk keluarga sering tersita. Jam pelajaran berganti, ia persilahkan Salman untuk masuk. Pak Salim keluar kelas, "Bagaimana, kapok?!" katanya pada Salman. Salman tak acuh.
***
>>> bersambung
Belum ada Komentar untuk "Siswa-Siswaku yang Nakal dan Selalu Bikin Onar"
Posting Komentar