Anak Negeri Para Pencari Lowongan Kerja
Senin, 15 Juni 2020
Tambah Komentar
______________
______________

"Gimana, Vin, udah dapat panggilan?"
"Belum."
"Susah juga kalau tidak punya orang dalam."
Hampir setiap hari keduanya makan di warung Mak Suci karena warung tersebut yang terdekat dengan tempat kostnya. Keduanya baru saja lulus kuliah. Ada beberapa lowongan kerja yang tanpa test dan bisa langsung kerja. Tetapi, keduanya tidak suka pekerjaannya, umumnya sales dan kerja serabutan di warung makan. Kerja di warung makan masih mending, gratis makan dan kadang dapat tip meskipun cukup melelahkan.
"Aku diajakin bisnis sama Aura."
"Apa? MLM, Vin?"
"Iya."
Waktu masih sekolah dan kuliah, hidup terasa susah karena wajib memenuhi tuntutan sekolah atau kampus. Banyak tugas harus masuk tepat waktu. Semua dijalani demi masa depan yang cemerlang, katanya. Masa depan yang cemerlan itu, ya masa depan yang enak, kerja enak, uang banyak. Sekarang, sekolah dan kuliah sudah selesai. Sudah bebas. Tetapi, masalah lain datang, harus kerja atau bisnis.
"Lia udah beli mobil sendiri, katanya?"
"Iya, mulai awal kuliah dia jalani usahanya. Rina, bagaimana?"
"Anak FKIP ngenes juga, Vin. Banyak lowongan guru, tapi gajinya..."
"Iya, ada yang cuma dua ratus ribu katanya."
Mak Suci tidak kuliah, hanya lulusan sekolah rakyat. Dia bisa menyekolahkan dua anaknya meskipun hidup menjanda. Kadang Vina menyesal karena baru mikir kerja usai kuliah. Memang, umumnya, orang sekolah atau kuliah itu agar dapat kerjaan enak, bukan untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Pokoknya, dapat ijazah, sudah, cari kerja. Bertahun-tahun sekolah dan kuliah, rupanya tak banyak perkembangan dirinya. Mungkin karena hidup ditanggung orang tua.
Baca juga: Sapi lebih berharga daripada sekolah bagian 1
"Enak dropship sih sebenarnya, tidak usah modal."
"Iya."
Dulu sebelum kuliah, Vina pikir ia akan dapat ilmu da keahlian banyak dan dicari banyak orang. Andai begitu kan tidak usah cari kerja. Tetapi, itu hanya angan-angan. Sempat ia mikir, tahu begini, tidak sekolah, tidak kuliah. Ilmu sih penting, tapi kan tidak harus dituntut setiap hari hingga lupa cara how to survive. Seakan-sakan, kalau sudah dapat ijazah, nasib baik pasti datang.
"Tapi penghasilannya kan tidak pasti."
"Ada sih yang nawarin lowongan gaji besar, tapi dimintai uang admin."
"Jangan. Belumm tentu diterima, kok sudah dimintai uang."
"Asal lansung diterima sih, tidak apa-apa."
"Kalau bisa potong gaji, tidak apa-apa."
Mau muntah rasanya Vina melihat ijazahnya. Rupanya tak berharga. Pikirnya dulu dengan ijazah hidup akan terhormat. Ia mencoba mencari-cari info lowongan TKW, banyak dari mereka yang bisa bangun rumah, bahkan beli mobil. Tapi, agak ngeri juga. Di grup TKW banyak yang curhat dapat majikan galak. Ada juga yang bilang dijadikan budak sama majikannya. Wah, lebih ngeri lagi. Waktu kecil ia pernah melihara kelinci. Pikirnya, andai saja ia urus kelinci saja, tidak usah sekolah, mungkin sekarang sudah banyak kelincinya. Udah banyak cerita peternak kelinci sukses.
"Makan sini, Mak."
"Kapan datang, Wan?" tanya Mak Suci.
"Tadi malam."
"Liburan tah?"
"Udah berhenti, Mak."
"Loh, tidak balik ke pondoknya lagi?"
"Tidak. Mau usaha aja."
"Usaha apa, Wan?"
"Yaa, orang itu yang penting tidak diam, dapat aja rezeki. Sambil mohon doa dan barokah orang tua dan kyai."
Vina dan Vela kadang heran juga melihat hidup santri. Mereka tidak berijazah, hanya belajar kitab di pesantren. Tetapi, tenang sekali mereka jalani hidup. Memang sih, kebanyakan mereka hidup sederhana, yang penting makan, ibadah, sudah.
"Udah mau kawin tah?"
"Wah, ada perempuan nganggur tah, Mak?"
"Banyak, kalau mau nyari."
"Orang habis nikah itu rezeki tambah."
"Iya. Zainul itu, udah punya mobil dua sekarang."
"Itu dulu rajin baca sholawat nariyah di pondok, sejak awal mondok ngabdi ke kyai."
Vina penasaran. "Mas Zainul dekat pertigaan itu, Mak?" tanyanya pada Mak Suci.
"Iya. Itu tidak sekolah, tidak kuliah," kata Mak Suci. Vina sama Vela agak tersinggung. "Tapi, ya, nasib, siapa yang tahu."
"Yang penting banyak bersyukur, Mak. Sudah ada bagiannya masing-masing. Dulu modal berapa buka warung, Mak?"
"Aahhh... Sedikit. Dulu kan tidak niat awalnya. Kenapa, mau buka warung?"
"Ada teman ngajak buka warung di alun-alun."
"Laris kalau di sana, Wan. Apalagi anak pondok pinter masak."
"Di pondok saya jualan, Mak."
"Temannya yang beli."
"Iya. Saya jajakan ke kamar-kamar. Lumayan, tidak usah nunggu kiriman."
Vina merasa terlambat menyesali.
>>>bersambung
Belum ada Komentar untuk "Anak Negeri Para Pencari Lowongan Kerja"
Posting Komentar