Ustadz Radikal Masuk Kampung
Minggu, 27 Oktober 2019
Tambah Komentar
______________
______________

"Acara apa di masjid?"
Sadun sudah lama tidak pulang dari pesantren. Ia mondok di salah satu pesantren di Jember. Biasanya ia pulang setiap sebulan sekali, cuma kali ini dia ingin seperti santri-santri dahulu. Sebagian besar pemuda Bondowoso dulu belajar di pesantren, di daerah Jawa Timur dan Madura. Biasanya mereka jarang sekali pulang. Ada yang cuma pulang tiga kali dalam waktu 12 tahun. Jaman sekarang, pemuda negeri ini memang lebih cengeng. Dikit-dikit minta pulang, minta jenguk, berat dikit ngeluh. Sadun mencoba meniru mereka yang sabar dalam menuntut ilmu.
"Acara kajian," jawab bibinya Sadun.
"Kajian apa?"
"Apa namanya sudah, lupa saya."
"Rutin?"
"Iya."
Sadun curiga. Dalam beberapa tahun terakhir di Jember memang lagi marak kajian-kajian di masjid-masjid. Mereka bukan dari kelompok ormas islam besar yang sudah lama terkenal di negeri ini: NU dan Muhammadiyah. Cara berpakaian mereka beda. Kaum wanitanya tertutup. Mereka sering menyesatkan tradisi-tradisi keislaman yang sudah biasa dilakukan masyarakat.
Usai kajian Sadun memperhatikan orang-orang yang ikut kajian. Kaget sekali dia melihat beberapa teman SMP nya dulu yang terkenal nakal juga ikut kajian tersebut. "Itu Doni, Bi?"
"Iya. Dia rajin ngaji sekarang. Leo juga. Sony, Randy, Afif, Barkhan juga ikut."
Sadun mencoba main ke rumah Doni. "Sadun...!! Assalamualaikum...!!" seru Doni dari teras rumahnya. Tidak biasa. Mengucap salam bukan kebiasaan warga di kampung ini. Pasti ini termotivasi oleh sang ustadz.
"Waalaikumsalam. Habis ngaji, Don."
"Iya. Mantap ustadznya, Dun. Menarik kajiannya. Banyak teman-teman di sini yang ikut."
Keduanya ngobrol di teras.
"Tentang apa tadi kajiannya?"
"Tentang akidah. Ternyata, banyak kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan dalam ibadah selama ini."
Sadun tersenyum. "Contohnya?"
"Ziarah kubur, tahlilan, maulid nabi, qunut, dzikir keras-keras, dan banyak lagi. Itu ternyata salah."
Baca juga: Cinta gadis wahabi
Di pesantren tempat Sadun belajar ada pelajaran khusus yang membahas tentang pergerakan paham radikal di Indonesia. Sadun sudah mempelajarinya. Mereka mempelajari ilmu agama secara instan, tidak sesuai kurikulumnya. Doni adalah salah satu contoh korbannya. Dengan gampangnya menyesatkan orang lain. Padahal perbedaan pendapat seperti itu sudah terjadi sejak zaman sahabat dulu.
Di kalangan kyai-kyai NU sendiri juga terjadi perbedaan pendapat, tapi tidak diumumkan di depan masyarakat umum, apalagi disampaikan pada orang awam. Perbedaan pendapat seperti itu hanya dibahas di forum ilmiah, dibahas dengan orang-orang alim yang memang mempelajari disiplin ilmunya. Di pesantren tempat Doni belajar, santri harus hatam beberapa kitab karya ulamak besar dulu sebelum ikut dalam diskusi-diskusi ilmiah.
"Kenapa kok bisa salah, katanya, Don?"
"Itu tidak pernah diajarkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Seandainya itu adalah kebaikan, pasti para sahabat lebih semangat dibanding kita."
"Nabi tidak naik mobil."
"Itu kan bukan urusan ibadah."
"Kalau menikah, termasuk ibadah?"
"Bisa jadi."
"Nabi tidak pernah menikah dengan perempuan Indonesia."
"Ya, tidak bisa begitu. Yang penting kan sama-sama perempuan."
Sadun tidak begitu serius, dia hanya candain Doni saja. Tetapi, Doni sangat serius menanggapinya.
"Nabi melakukan ibadah puasa di hari lahirnya. Kita bershalawat di hari kelahiran Nabi. Kan sama-sama ibadah?"
Doni diam. Sepertinya agak bingung.
"Ada kisah tentang Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
'Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.' Ibnu ‘Abbas berkata, 'Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.'
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
'Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui suara takbir.'
Begitu kisahnya. Lalau, kok bisa dilarang, kenapa?"
"Tapi, ustadz ini cerdas Dun."
"Orang itu dikatakan kuat kalau bisa mengangkat batu yang beratnya 40 kilo gram, menurut saya. Tetapi menurut orang lain, beda, orang lain mungkin beda pendapat, dikatakan kuat kalau bisa mengangkat batu yang beratnya 70 kilo gram. Dikatakan cerdas oleh kita, apakah sama cerdas menurut Allah?"
Sejak ikut pengajian, Doni senang sekali berdiskusi. Dulu suka nongkrong di pinggir jalan, main guitar, mabuk-mabukan, dan semacamnya. Sekarang sudah kecanduan pengajian. Tidak mau lagi bonceng cewek. Dia sudah tergabung dengan pemuda hijrah.
"Intinya, kata ustadz, yang benar itu adalah yang diajarkan oleh ulamak yang sudah masyhur, terkenal."
"Siapa itu?"
"Ibnu taimiyah, bin baz, Syekhh albani dan utsaimin."
Sadun sudah sangat kenal dengan nama-nama itu. Bukan tidak mengakui keilmuan mereka, tapi kelompok yang mengaguni mereka selalu merasa paling benar dan terang-terangan menyalahkan atau menyesatkan ulamak yang tidak sependapat dengan mereka, itulah sikap yang bisa merusak persatuan umat islam. Apalagi disampaikan pada masyrakat awam.
"Berapa jumlah orang yang kenal mereka? Berapa orang yang kenal ulamak yang mereka sesatkan?"
Doni kaget. Mana dia tahu jumlah pastinya. "Banyak, sedunia."
"Kata siapa?"
"Kata utadz, begitu."
"Yang mengajarkan tahlilan, maulid nabi, qunut, itu juga terkenal sedunia. Lebih banyak mana?"
Doni diam. Dia bingung. "Terus, kita ikut yang mana?"
Sadun juga bingung menjawabnya. Ikut ulamak yang tidak suka menyesatkan orang lain itu lebih baik. Tetapi, kajiannya hanya ada di dalam pesantren. Pemuda seperti Doni tidak akan datang ke pesantren. Selain itu, yang rajin sholat jamaah di masjid-masjid juga kelompok-kelompok baru ini. Doni sudah jadi baik. Dia sudah menjadi pemuda baik, meskipun ada kesalahan, yakni sikap yang berpotensi memecah belah umat, bahkan menentang pemerintah.
"Ikuti yang kamu suka dan jangan sesatkan orang lain. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sebaik-baik umat itu adalah yang hidup di zaman beliau, setelahnya dan setelahnya."
"Paham. Doni sudah tahu itu."
"Bukan Ibnu Taimiyah, bukan Syekh Al Bani atau Bin Bas."
"Kenapa kyai-kyai tidak mengadakan kajian-kajian seperti ini?"
Sadun terdiam lagi.
"Oya, kalau ajaran di pondokmu, Allah itu ada dimana?"
Ini yang sangat berbahaya. Sadun menghela nafas. Sepertinya Doni mencari topik lain agar diskusi berlanjut. Ajaran ini menurutnya cukup berbahaya. "Begini, Don. Pikirkan dan lakukan amalan hanya," Sadun menekankan suara pada kata 'hanya', "yang membuat kita semakin dicintai Allah dan semakin dekat dengan Allah. Memangnya dengan tahu dimana Allah kita jadi tambah semangat ibadah?" Doni diam. "Itu hanya menimbulkan perdebatan. Perdebatan itu mengeraskan hati."
...bersambung
Baca juga: Cinta gadis wahabi
Belum ada Komentar untuk "Ustadz Radikal Masuk Kampung"
Posting Komentar