Menyoal Sila Satu Ketuhanan Yang Maha Esa
Rabu, 20 Maret 2019
Tambah Komentar
______________
______________

Suasana di Sekolah
"Bikin mangkel aja wali murid yang satu ini. Selalu bawa-bawa agama," kata Bu Sulis, guru BK, usai menerima telefon dari salah satu wali muridnya.Guru-guru di ruang itu sudah sangat paham. Pasti orang tua Si Leo. "Padahal namanya Leo, bukan nama islam," komentar Bu Ida. "Iya, kelakuannya juga tidak mencerminkan anak berakhlak," tambah Bu Sutin. "Ayahnya selalu nyalahin guru. Wong memang anaknya yang nakal," kata Bu Fatma. "Yang lainnya loh, tidak ada yang begitu," kata Bu Ima. Bu Ismi, guru termuda yang baru lulus S1, hanya berkomentar dalam hati dengan kebingungannya. Sedangkan Bu Ela asyik mendengarkan lagu dangdut di ponselnya.
"Hidup di Indonesia kok ngomongin agama melulu," lanjut Bu Sulis. "Nggak sekalian pindah ke arab sana. Ikut perang."
"Istrinya pakai cadar itu, Bu," sahut Bu Sutin.
"Pantesan. Jangan-jangan teroris, ingin mengubah Indonesia jadi negara islam."
"Mau dirikan Khilafah."
Bu Ismi masih canggung. Dia baru sebulan menjadi pengajar di sekolah ini, masih polos. Belum ada guru yang menjadi teman akrabnya. Mau ikut geng-nya Bu Sulis, tidak berani. Untuk menutupi kecanggungannya, ia menyibukkan diri dengan membaca. Ruang guru masih menakutkann baginya. Satu-satunya sahabat yang selalu menemaninya bercerita adalah buku hariannya. Ia tulis di sana dengan huruf kapital semua.
DIARY,
BUKANKAH SILA SATU ITU KETUHANAN YANG MAHA ESA?
BUKANKAH ITU ARTINYA KITA HARUS HIDUP BERDASARKAN AJARAN TUHAN?
BUKANKAH PEKERJAAN GURU ITU MENDIDIK?
ANAK YANG TIDAK BAIK DIDIDIK AGAR JADI BAIK?
BUKANKAH ANAK YANG TIDAK BAIK PUNYA POTENSI JADI ANAK BAIK?
Terdengar salah seorang siswa yang sedang lewat di depan ruang guru menyebut kelamin perempuan. Semua yang di dalam ruangan mendengar. Sebagian dari mereka geleng-geleng kepala. “Anak jaman sekarang,” kata Pak Rusdi. “Nggak ada takutnya,” tambah Bu Ima. “Kayak nggak ada dosa.”
Pak Ardian yang kebetulan melihat siswa tersebut ikut berkomentar, “Sering saya lihat keluar dari hotel Melati anak itu sama ceweknya.”
“Siswa sini juga, Pak, ceweknya?” Tanya Bu Ima.
“Ganti-ganti, Bu.”
“Wah, kalah Pak Ardian. Gurunya masih jomblo, muridnya sudah laris gonta-ganti pasangan.”
“Siapa, Pak?”
“Edi.”
“Edi kelas XI IPS dua?”
“Iya.”
“Dia itu nakalnya main perempuan. Kalau si Alfan, kelas XII IPS satu, kriminal nakalnya. Pernah begal kan dia, ketangkap kadesnya sendiri.”
“Kok tidak dipenjara?” Bu Ima kaget mendengarnya.
“Ditebus sama Bapaknya. Anak orang kaya, Bu. Katanya bapaknya dia tim sukses kadesnya dulu.”
“Bapaknya Bos kayu itu. Mobilnya empat.”
“Istrinya empat juga?”
“Istri yang resmi satu, kalau yang tidak resmi, ndak tahu.”
“Menakutkan anak kayak gitu. Mending kayak si Edi,” imbuh Bu Ima.
“Wah, Bu Ima mau juga?”
“Mau apa?!”
“Jadi salah satu teman malamnya Edi?”
“Amit-amit ya… Suamiku masih normal.”
“Brondong lebih agresif, Bu,” sahut Bu Sulis.
“Iya juga ya, hahahaha…!! ndak, ndak, ndak mau saya. Mending yang halal. Yang ada saja diopeni.”
***
Guru-guru Hebat
“Hari minggu ada acara?” tanya Vina lewat voice call Whatsapp.“Tidak ada, Mel. Kenapa?”
“Ikut kopdar yuk!”
“Kopdar apaan?”
“Kopdar komunitas guru di alun-alun.”
Bu Ismi meng-iya-kan ajakan temannya. Ia berharap bertemu guru-guru profesional yang memang benar-benar guru yang niat mendidik generasi bangsa. Vina lebih dulu mengajar di salah satu sekolah swasta di kota ini, sejak dia masih semester tiga dulu. Berkat keaktifannya di organisasi kampus, dia punya banyak relasi.
Hari Minggu pagi, jam 06.30 Bu Ismi berangkat ke alun-alun. Seperti biasa, rame di sana: acara car free day. Dia langsung menuju lokasi. Ternyata Vina sudah di sana bersama dua temannya. “Kenalin, Bu Ramla dan Bu Fatimah,” kata Vina. Bu Ismi berkenalan dengan mereka. “Dia teman kuliah saya, Bu. Sudah ngajar juga sekarang.” Bu Ismi masih tampak malu-malu.
“Bu Ramla ini kepala sekolah, Mi,” kata Vina. “Beliau membuat program Guru Wajib Ngaji di sekolahnya. Menurut beliau, sebagai mahluk Tuhan, kita wajib memahami ajarannya; caranya dengan mengaji.” Bu Ramla tersenyum. “Beliau mewajibkan semua warga sekolahnya, termasuk tukang kebun, untuk mengawali aktivitas dengan membaca Al Quran setiap hari.”
“Kecuali yang non-muslim,” tambah Bu Ramla.
“Laki perempuan dipisah ya, Bu?”
“Tidak. Mereka masih campur satu kelas. Masih belum bisa dipisah. Tetapi kantin dan perpustakaan kami pisah: ada kantin putra dan kantin putri. Di luar jam pelajaran, ada petugas yang khusus mengawasi pergaulan siswa.”
“Guru-gurunya tidak ada yang protes, Bu?”
“Tidak ada. Tujuannya baik, mau protes apa?”
“Kan ada juga yang bilang pacaran itu hak asasi dan tidak dilarang undang-undang negara.”
“Sila satu itu sila ketuhanan. Jadi, siapapun yang hidup di negara ini wajib beragama. Beragama itu maksudnya menjalankan ajaran agama yang dianutnya seutuhnya, bukan setengah-setengah. Jadi, jika ada orang yang tidak menjalankan ajaran agama, berarti dia menyepelekan pancasila. Untuk menjalankan ajaran agama itu butuh ilmu. Karena itulah saya menyusun kurikulum kajian agama untuk para guru.”
Baca juga: kumpulan cerpen pendidikan
“Wah, luar biasa,” kata Bu Ismi.
“Bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak menjadi insan berketuhanan kalau mereka sendiri tidak menjalankan ajaran agama secara utuh? Jadi, menurut saya, di fakultas keguruan ini seharusnya materi psikologi dan keagamaan itu jadi yang utama. Spirit mendidik itu bisa lahir dari dua ilmu tersebut.”
Tak lama kemudian anggota yang lain pun berdatangan.
“Sampai hari ini, saya rutin ikut kegiatan tahsin, memperbagus bacaan Quran. Semoga bisa menghafal Quran 30 juz bersama semua bawahan saya dan murid-murid saya, sahabat-sahabat saya juga. Pastinya keluarga saya juga.”
“Aamiin.”
“Alhamdulillah, sudah ada dua guru yang hafal 30 juz. Itu kata ustadz pembimbing tahfidz yang saya tugaskan untuk membimbing para guru.”
Bu Ismi terharu mendengar cerita Bu Ramla. Tak terasa air matanya mau menetes karena rasa haru.
“Siapa yang tidak mendambakan surga terbaik, para penghafal Quran oleh Allah dilewatkan di semua pintu surga, semua malaikat disuruh menyambut di semua pintu surga dan mengucap salam, dihias dengan jubah kebesaran dan mahkota dari cahaya. Bahkan bisa mengajak pasangan dan keturunan. Kedua orang tuanya juga dihiasi mahkota dari cahaya. Setiap melihat ke pintu surga, keindahannya tak pernah terbayangkan. Betapa indahnya surga teratas yang akan ditempati. Melihat ekspresi kebahagiaan para penghafal Quran, orang-orang di dalam surga yang dilalui menyesal karena tak menghafal Quran ketika di dunia.”
bersambung...
“Wah, luar biasa,” kata Bu Ismi.
“Bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak menjadi insan berketuhanan kalau mereka sendiri tidak menjalankan ajaran agama secara utuh? Jadi, menurut saya, di fakultas keguruan ini seharusnya materi psikologi dan keagamaan itu jadi yang utama. Spirit mendidik itu bisa lahir dari dua ilmu tersebut.”
Tak lama kemudian anggota yang lain pun berdatangan.
“Sampai hari ini, saya rutin ikut kegiatan tahsin, memperbagus bacaan Quran. Semoga bisa menghafal Quran 30 juz bersama semua bawahan saya dan murid-murid saya, sahabat-sahabat saya juga. Pastinya keluarga saya juga.”
“Aamiin.”
“Alhamdulillah, sudah ada dua guru yang hafal 30 juz. Itu kata ustadz pembimbing tahfidz yang saya tugaskan untuk membimbing para guru.”
Bu Ismi terharu mendengar cerita Bu Ramla. Tak terasa air matanya mau menetes karena rasa haru.
“Siapa yang tidak mendambakan surga terbaik, para penghafal Quran oleh Allah dilewatkan di semua pintu surga, semua malaikat disuruh menyambut di semua pintu surga dan mengucap salam, dihias dengan jubah kebesaran dan mahkota dari cahaya. Bahkan bisa mengajak pasangan dan keturunan. Kedua orang tuanya juga dihiasi mahkota dari cahaya. Setiap melihat ke pintu surga, keindahannya tak pernah terbayangkan. Betapa indahnya surga teratas yang akan ditempati. Melihat ekspresi kebahagiaan para penghafal Quran, orang-orang di dalam surga yang dilalui menyesal karena tak menghafal Quran ketika di dunia.”
bersambung...
Belum ada Komentar untuk "Menyoal Sila Satu Ketuhanan Yang Maha Esa"
Posting Komentar