Kau Gerimis Menghapus Kemarau
Selasa, 26 Maret 2019
Tambah Komentar
______________
______________

Ardian duduk di tempat duduk paling pinggir biar bisa makan bakso sambil menikmati hijaunya persawahan.
"Halimah tidak nikah lagi ya?"
"Tidak. Trauma, paling."
Terdengar dua perempuan sedang ngobrol di belakang Ardian.
"Katanya jahat suaminya yang dulu ya?"
"Kejam, Fin. Dua kali Halimah masuk rumah sakit karena dipukul."
"Astaghfirullah! Tidak sampek punya anak ya?"
"Punya, sudah umur lima tahun sekarang."
"Berarti waktu cerai sudah hamil?"
"Sidangnya sudah lahir. Tapi sudah ditinggal sejak usia kandungannya hampir empat bulan."
"Kemana suaminya sekarang?"
"Nikah lagi katanya."
"Kok bisa nikah sama dia ya? Halimah kan santri."
"Bukan cuma santri, sudah jadi ustadzah dia."
"Bisa baca kitab berarti?"
"Iya. Tahfidz juga dia."
"Tiga puluh juz?"
"Nggak tahu ya, tapi kayaknya sudah lebih 15 juz."
Ardian jadi lupa sama baksonya, malah mendengarkan dialog dua orang di belakangnya. Ia hanya menggigit pentolnya sedikit. Akhhir-akhir ini dia tiba-tiba ingin punya istri ustadzah. Katanya biar cepat bisa bahasa Arab, ingin dirikan keluarga ahli ilmu. Dia sudah bisa bahasa Inggris dan Prancis. Tetapi, ia merasa telah keliru pilih bahasa, seharusnya Bahasa Arab dulu, baru bahasa asing lainnya.
Dua perempuan tadi sudah selesai makan bakso dan segera bayar pada Mbak Nik. Ardian pun segera menyusul bayar juga. Hampir saja dua perempuan itu pergi dengan motornya, tapi Ardian segera menghampiri mereka sebelum tarik gas motor. "Maaf, Mbak. Bisa bicara sebentar? Saya ada perlu." Dua perempuan itu pun kaget.
"Perlu apa ya, Mas?"
"Saya mendengar percakapan mbaknya tadi. Saya guru Bahasa Prancis di SMA 01. Saya ingin bisa Bahasa Arab dan sedang mencari calon istri yang bisa Bahasa Arab."
Kedua perempuan itu tersenyum. "Masnya tertarik sama wanita yang kami ceritakan?"
"Iya." Tanpa malu-malu, mantap Ardian menjawabnya.
"Sudah janda lho, Mas."
"Tidak apa-apa."
Kedua perempuan itu agak bingung. Mereka saling pandang.
"Bisa antar saya ke rumahnya?"
"Masnya serius?"
"Iya, serius."
baca juga: Dialog cinta antara ashar dan maghrib
***
Rumah sederhana tapi di lemari yang terletak di ruang depan penuh dengan buku berbahasa Arab (kitab). Dua perempuan itu langsung masuk saja dan menyuruh Ardian duduk di kursi, "Assalamualaikum!" ucap salamnya setelah masuk ke dalam ruangan. "Bu De!" Teriaknya. Berarti dia sepupunya Halimah. Tak lama kemudian keluarlah perempuan tua. "Ada tamu tu." Ardian pun bingung harus bersikap bagaimana. "Mas ini mau melamar Halimah," katanya sambil menunjuk Ardian. Ardian pun kaget dibilang blak-blakan begitu.
"Ow..." beliau segera duduk menghadap Ardian, "Orang mana?" tanyanya.
"Orang Wonosroyo, Bu."
"Pak De-mu di rumah Pak Khotib, Rin. Panggil sana." Sepupu Halimah biasa dipanggil Ririn, nama lengkapnya Rindiani.
Ardian penasaran, tak sabar ingin segera bertemu Halimah. Ia merasa sedikit minder dan tidak percaya diri karena pengetahuan agamanya sedikit. Sedangkan yang akan ia lamar seorang ustadzah. Bahkan ia merasa akan pulang dengan tangan hanpa. Tetapi semua harus dihadapi. Tak lama ayah Halimah pun datang bersama sepupu Halimah tadi. Ardian langsung bersalaman cium tangannya.
"Mana Halimah?" tanya beliau pada Ririn. "Suruh kesini."
Ririn pun masuk ke ruang tengah dan tak lama keluar lagi bersama Halimah. Berdesir dada Ardian saat bertemu pandang dengan Halimah. Tadi sempat terlintas di benaknya wajah Halimah jelek dan tak enak dipandang. Tetapi, ia yakin, wajah akan enak dipandang jika jasad membingkai jiwa mulia. Halimah duduk di samping ibunya. Mungkin wajahnya memang bukan kelasnya artis, tapi sejuk Ardian memandangnya. Beauty is in the eyes of beholder, begitu kata orang inggris.
"Mas ini mau melamarmu," kata ibunya Halimah.
"Tahu Halimah dari mana?" tanya ayahnya Halimah pada Ardian.
Ardian tersenyum. "Tadi waktu makan bakso saya mendengar Mbak Ririn bercerita tentang Halimah. Saya tidak sengaja mendengar."
"Cerita bagaimana?"
"Mmm... Banyak... Cuma, yang membuat saya tertarik, katanya bisa baca kitab."
"Masya Allah. Sampeyan ustadz?"
Ardian kaget, bingung, tapi ia memilih berterus terang. "Bukan. Saya guru bahasa Prancis."
"Bahasa Prancis?! Wah, bisa bahasa Prancis, juga bisa bahasa Arab. Luar biasa," puji ayah Halimah.
"Tidak. Saya tidak bisa bahasa Arab."
"Tapi ingin istri yang bisa Bahasa Arab?"
Ardian menanggapinya dengan senyum. Ia diam sejenak. Dia lihat Halimah memandangnya. "Sejak kecil saya berambisi mencari pengetahuan. Banyak baca buku. Karena tidak puas, saya pun mempelajari Bahasa Inggris dan Bahasa Prancis. Menurut saya dengan dua bahasa tersebut, saya akan mendapatkan banyak ilmu."
"Ternyata?"
"Saya memang mendapat banyak pengetahuan, tapi jujur, kedamaian jiwa, ketenangan batin, tidak saya dapatkan. Malah sering gelisah, banyak rasa khawatir. Seperti menuhankan logika. Kata Ibnul Qoyyim, jika ilmumu tak mendamaikan jiwamu, berarti itu bukan ilmu." Ayahnya Halimah tersenyum. "Karena itulah, saya ingin mengisi jiwa saya dengan ilmu dari ulamak pewaris Nabi. Ilmu yang diwahyukan lewat Malaikat ibril pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Menetes air mata Ardian. Ia tarik nafas dalam, melonggarkan rongga dadanya yang terasa menyempit. "Karena itulah, saya ingin menikah dengan wanita yang bisa baca kitab-kitab ulamak... ..., itu pun... ... itu pun kalau saya dianggap layak... ..." Ardian menghapus air matanya dengan ujung jempol dan telunjuknya.
Ibunya Halimah mengarahkan pandangannya pada ayahnya Halimah. Seakan meminta beliau berkomentar tentang tetes air mata Ardian. Tetapi beliau malah membalas dengan pandangan kebingungan juga. Keduanya bingung memilih kata yang tepat. Beliau memandang Halimah, "Kamu mau, Halimah?"
Halimah merasa berat untuk menjawabnya. Dia masih trauma dengan perlakuan suami pertamanya. Tetapi, tak sedikit pun ia melihat karakter jahat pada diri Ardian. Halimah sangat yakin dia laki-laki baik. Tapi, Ardian tampak masih sangat muda. Halimah khawatir kejiwaannya belum cukup matang. "Mas Ardian umur berapa?" nekad ia menanyakan usia Ardian, meskipun merasa tak sopan.
Sejuk rasanya mendengar suara itu. "Dua tujuh."
"Ow. Lebih tua saya tiga tahun ya," kata Halimah sambil tersenyum.
"Tidak apa-apa," Ardian berusaha tersenyum walau rasa takut ditolak mulai menguasai jiwanya. "Istri Rasulullah yang pertama lebih tua dari Beliau." Ibu Halimah tersenyum mendengarnya.
"Maaf, tapi saya belum bisa memutuskan hari ini," kata Halimah.
Seakan itu adalah jawaban penolakan bagi Ardian. Pupus rasanya harapannya. Padahal baginya tak mudah mendapatkan wanita yang berilmu seperti Halimah. Banyak perempuan yang ia kenal, tapi lebih suka mendengar lagu-lagu tak jelas manfaatnya daripada mendengar dan membaca Al Quran. Ardian sudah kenyang dengan musik, dan tidak ia dapatkan kedamaian jiwa yang sebenarnya.
"Mas Ardian belum pernah menikah?" Tanya Ririn.
"Belum pernah."
"Pacar?" tanyanya lagi sambil tersenyum.
"Pernah punya teman dekat. Tapi dia tidak siap saya ajak membangun keluarga ahli ilmu."
"Ahli ilmu, maksudnya?"
"Untuk bahagia di dunia ini dengan ilmu, begitu juga untuk dapatkan surga."
"Mas Ardian hafal Quran juga?"
Ardian tersenyum. Ia merasa diinterogasi oleh Ririn, tapi ia jawab saja. Ririn memang tampak gampang akrab. "Hafal Quran itu adalah cita-cita besar semua umat islam, kata Ardian. "Siapa yang tidak ingin mendapatkan surga spesial, surga 'adn? Siapa yang tidak ingin dihias dengan jubah kehormatan, dihiasi mahkota dari cahaya, kedua orang tuanya juga dihiasi mahkota, Bahkan bisa mengajak pasangan dan anak keturunan ke surga," semua memandang Ardian dan mendengarkan dengan perasaan haru. "disuruh melewati semua pintu surga dan menyaksikan tingkatan keindahan yang belum pernah terbayang kan, disambut semua malaikat di semua pintu surga hingga membuat orang yg sudah di dalam surga menyesal melihatnya karena tidak menghafal Quran? Dan diperintahkan oleh Allah untuk membaca hingga ayat terakhir surat An Nas sambil naik ke tingkatan surga tertinggi, surga terindah."
"Berarti Mas Ardian hafal Quran?!" tanya Ririn lagi dengan suara lebih nyaring dari sebelumnya.
Ardian menggelengkan kepala, "Baru setengah juz. Terlambat saya menyadarinya. Dulu saya terlena dengan nyanyian-nyanyian. Sekarang, saya ingin hidup dalam keluarga ahli Quran."
... bersambung
Belum ada Komentar untuk "Kau Gerimis Menghapus Kemarau"
Posting Komentar