Biarkan Masjidku Sepi 2
Kamis, 13 Desember 2018
Tambah Komentar
______________
______________

Biarkan Masjidku Sepi Part 1
"Bagaimanapun Ustadz Hari adalah tokoh agama. Sekalipun ada kekeliruan, jangan sampai kehormatannya jatuh di masyarakat. Kita harus memberi contoh masyarakat untuk menghormati ilmu dan sumber ilmu, yakni kitab dan ulamak," kata Kyai Harun.
Bindhereh Harun mengangguk.
"Lalu, bagaimana kita menenangkan suasana agar tidak bentrok, Kyai?" Pak Lurah sangat khawatir dengan keadaan.
"Kita harus dekati Ustadz Hari, hormati beliau. Kita luruskan dengan dialog. Kita harus biasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah, dialog dengan arif."
"Tapi kyai, sebagian warga tidak terima kalau Ustadz Hari tampak mengungguli Kyai," Bindhereh Fathoni khawatir jika berdialog di depan warga.
"Kita dialog diam-diam. Kita berkunjung ke kediaman Ustadz Hari."
Bindhereh Fathoni agak kurang yakin. Menurutnya ini masalah cukup rumit. Ustadz Hari belum tentu mau berdakwah sesuai cara Kyai Harun. Ada yang bilang, Ustadz Hari pernah mengatakan Kyai Harun tidak peduli umat karena tidak pernah mengajak masyarakat ngaji.
***
"Assalamualaikum!"
Ustadz hari menyambut Kyai Harun dan Bindhereh Fathoni dengan senyum. "Waalaikumsalam. Silahkan masuk, Kyai."
"Apa kedatangan kami mengganggu, Ustadz?"
"Ow, tidak, Kyai. Tidak. Rumah ini terbuka untuk siapapun, apalagi untuk urusan dakwah: 24 jam saya buka pintu rumah saya."
Kyai Harun tersenyum. Semangat yang luar biasa. Kyai Harun memandangi sisi ruang tamu Ustadz Hari. Di samping kanan dan kiri ada lemari besar berisi buku-buku. Mirip perpustakaan ruang tamunya. "Saya bergembira sekali oleh Allah dipertemukan dengan manusia seperti Ustadz Hari. Semangat berdakwahnya luar biasa. Saya sama Bindhereh Fathoni berharap mendapat banyak ilmu dan ketularan semangat dengan sering berdialog sama Ustadz Hari."
"Waduh, tidak kebalik, Kyai? Sayalah yang justru butuh ilmu dari Kyai," kata Ustadz hari.
"Semoga kita selalu mendapat taufiq dan hidayah Allah."
"Aamiin, aamiin, aamiin, Kyai."
"Yang ingin saya musyawarahkan sama Ustadz Hari," ustadz Hari memantapkan duduknya dan menatap Kyai Harun. "masalah karakter warga desa. Sebagian dari mereka santri saya, ngaji ke saya dulu. Maaf jika ulah mereka kurang baik sama Ustadz Hari."
"Oh, tidak apa-apa, Kyai. Sudah saya maafkan sebelum mereka bersalah pada saya."
"Masya Allah. Terima kasih, Ustadz. Namun, yang perlu menjadi perhatian kita adalah cara kita mendakwahi mereka." Ustadz Hari menyimak dengan seksama. "Tidak semua cara dakwah bisa mereka terima." Ustadz Hari menghela nafas. "Tetapi, kita tidak boleh putus asa. Kita harus terus mencari cara dakwah yang efektif, yang cocok buat mereka. Sebab mereka awam. Maklum lebih banyak di sawah daripada di masjid."
"Benar, Kyai. Benar."
"Saya yakin Ustadz Hari sudah punya banyak pengalaman cara dakwah yang efektif."
"Waduh, Kyai lebih banyak pengalamannya."
"Tidak juga."
"Saya ingin warga segera meninggalkan tradisi-tradisi yang tidak syar'i, Kyai, yakni tradisi atau kebiasaan-kebiasaan dalam ibadah yang tidak pernah dicontohkan Nabi. Itu bid'ah, bahkan sebagian termasuk perbuatan syirik. Tidak ada dalil syar'i," jelas Ustadz Hari.
Bindhereh Fathoni naik darah mendengarnya karena yang dimaksud adalah amal ibadah yang sudah biasa dilakukan para ulamak. Tetapi beliau memilih menunduk karena ada Kyai Harun. Nabi tidak pernah menikahi wanita jawa. Apa itu bid'ah? mbatinnya.
Kyai Harun tersenyum. Memahamkan orang lain, bukan dengan mendebat atau menghakiminya. Tidak salah lagi, Ustadz Hari memang termasuk aliran yang gampang menyesatkan kelompok lain dan merasa benar sendiri. "Niat yang baik dan usaha yang baik ini semoga menghasilkan sesuatu yang baik. Maaf, Ustadz Hari. Bukannya saya mau menyalahkan Ustadz Hari, tapi saya perlu menyampaikan karakter warga di sini."
"Itu sangat saya butuhkan, Kyai."
"Banyak warga yang sulit menerima kebenaran dari orang yang belum mereka kenal." Ustadz Hari mengerutkan kening. "Malah kebenaran yang disampaikan pada mereka dianggap sebagai kebathilan. Padahal tujuan dakwah adalah untuk membuat masyarakat mengamalkan kebenaran itu."
"Ilmu komunikasi sangat penting," sela Bindhereh Fathoni.
Ustadz Hari mengalihkan pandangan pada Bindhereh Fathoni. "Iya, benar. Kita harus menggunakan komunikasi yang efektif," kata Ustadz Hari.
"Mungkin Ustadz Hari punya catatan perjalanan dakwah. Komunikasi seperti apa yang pernah digunakan dan efeknya bagaimana?"
"Astaghfirullahal 'adzim....!!" Ustadz Hari diam sejenak. "Belum sempat terpikir oleh saya, Bindereh, untuk mengevaluasi keefektifan cara dakwah saya. Akan segera saya buat. Akan segera saya buat, Bindhereh."
"Mungkin kita perlu observasi dulu karakter warga di sini," kata Kyai Harun.
"Benar, benar sekali, Kyai."
"Assalamualaikum!"
Salah seorang pengikut Ustadz Hari datang dengan nafas ngos-ngosan.
"Waalaikumsalam.” Ustadz Hari menjawab salam dengan senyum, tampak tenang. “Masuk, Mas Farhan. Ada apa kok sampek gitu nafasnya?"
"Pengajian di Masjid Al Anwar tidak bisa dilanjutkan, Ustadz. Ada sekelompok orang menabuh hadrah di dalam masjid. Dan dijaga orang berpakaian hitam bersenjata pedang. Kami diusir, Ustadz."
"Sampaikan pada rekan-rekan semua. Suruh kumpul di basecamp semua ya. Dibatalkan saja kajiannya."
"Baik, Ustadz."
Ustadz Hari memandang Kyai Harun. "Begitulah umat akhir zaman."
Kyai Harun hanya tersenyum. Membaca sholawat dengan diiringi hadrah itu bukan keburukan. Dan biasanya di tiap desa ada jadwal khusus pembacaan sholawat dengan diiringi hadrah. Mungkin memang jadwalnya. Tetapi, beliau merasa tak perlu menanggapinya, tidak baik berdebat.
"Ini tantangan kami, Kyai. Ditunjukkan pada kebenaran, malah dimusuhi."
"Tetapi, sebelum ilmu diberikan, kita perlu mengajari mereka bagaimana bersikap terhadap ilmu dan sumber ilmu." Ustadz Hari mengangguk. "Mereka harus dipahamkan bahwa kita sebagai umat islam wajib menghormati ilmu dan sumber ilmu, yakni kitab dan ulamak. Sekalipun tidak disukai."
Ustadz Hari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Sepertinya ada sesuatu yang menurut beliau perlu dipertimbangkan.
"Menghalangi ulamak untuk memberikan ilmu merupakan kedzoliman. Tetapi, mereka berbuat begitu karena ketidaktahuan. Mereka perlu dipahamkan. Itu tugas kita," lanjut Kyai Harun.
"Benar, Kyai.
"Jangan sampai kita menggunakan cara-cara dakwah yang justru memancing mereka berbuat dosa."
Ustadz Hari mengangguk-ngangguk.
"Maaf, apa masjid yang dimaksud, masjid Al Anwar di desa Karang Manyar?" tanya Bindhereh Fathoni.
"Benar, Bindereh."
"Di desa itu banyak orang sakti."
"Itu amal syirik kan, Bindhereh?"
Bindhereh Fathoni menahan amarah. Begitu gampangnya Ustadz Hari menghukumi sesuatu. Seakan itu tidak ada pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
***
Bindhereh Fathoni semakin tidak yakin Kyai Harun bisa menghentikan ulah Ustadz Hari. Beliau berencana untuk menemui Gus Toha di desa Cangkring. Gus Toha dikenal dengan keluasan ilmunya. Beliau juga aktif menjadi pengurus ORMAS.
Kyai Harun mulai menemukan benang merah solusinya. Menurut beliau, apa yang dilakukan warga kepada Ustadz Hari sama dengan apa yang dilakukan oleh Ustadz Hari terhadap ulamak sepuh. Warga menganggap Ustadz Hari sesat, Ustadz Hari juga menganggap ulamak sepuh sesat. Cara yang terbaik menurut beliau adalah menyampaikan itu kepada warga di depan Ustadz Hari. Menurut beliau Ustadz Hari akan paham dengan sendirinyay bahwa dirinya sudah keliru.
Bersambung: Biarkan Masjidku Sepi Part 3
Belum ada Komentar untuk "Biarkan Masjidku Sepi 2"
Posting Komentar