Yang Biasa (2)
Selasa, 09 Oktober 2018
Tambah Komentar
______________
______________

Kau dan aku satu kelas, tapi jarang sekali berkomunikasi. Kau pendiam, ya, selalu duduk di depan, selalu memperhatikan penjelasan dosen. Aku di bangku belakang, kadang di tengah. Kalau dosen sudah mengakhiri kuliahnya, kau selalu keburu keluar. Aku jadi ingin tahu, ada urusan apa. Suatu waktu kuikuti kau, waktu kita baru keluar dari ruang kuliah, saat baru selesai mengikuti mata kuliah Jurnalistik Dasar. Kau tidak menyadari.
Rupanya kau ke perpustakaan. Aku juga masuk, kau tidak melihatku karena kau langsung mengambil satu majalah dan kau baca di meja, menghadap ke jendela, mungkin sambil menikmati pemandangan hijau di luar. Kuperhatikan, kau membuka-buka halaman majalah itu sambil sesekali kau tulis sesuatu di catatan kecil yang kau bawa.
Lama.
Aku merasa lelah. Buku yang kupegang tidak kubaca. Hanya pura-pura membukanya. Teman-teman UKM musik berkali-kali mengirim sms agar aku ke sana, untuk bermain musik dan melantunkan lagu bersama mereka. Tapi otakku tak bisa bergerak, terlalu kuat kau mengilhami. Nanti, kan kutulis tentangmu, tentang rasaku, semua tentang kau dan aku meski sebenarnya antara kita belum ada apa-apa, kan kujadikan sebuah lagu. Kan kubuat sederhana saja, namun penuh makna.
Sederhana.
Sebenarnya, aku belum begitu mengenalmu. Hanya saja ada yang perlu kutahu lebih jauh tentangmu. Kau seusia dengan aku dan teman-teman di kelas. Ya. Tapi jiwamu sudah meninggalkan kami jauh, sangat jauh. Unik. Aku suka yang unik. Aku tertantang untuk mengungkap rahasia. Aku merasa seperti akan mendapatkan sesuatu yang istimewa, barangkali suatu dunia lain yang belum pernah ada di dunia ini. Entah dunia apa, mungkin dunia kata-kata dalam syair lagu? Barangkali?
Mereka, kaummu, selalu asyik berbincang yang indah-indah tentang cinta. Kau tidak tertarik untuk ikut nimbrung? Kau tidak seperti mereka, kurang begitu peduli dunia muda. Kau sudah tua? Usiamu setara dengan kami, iya kan? Lihat penampilan mereka, pada keren-keren, hampir semua penampilan artis ditiru, gayaku juga.
Kadang kau duduk sendiri, gayamu selalu membaca buku. Tapi ‘ku tahu, kau tidak membaca. Itu hanya caramu untuk menutupi ketidakmampuanmu mencari teman. Ya, kau terlalu egois, tidak mau meniru temanmu. Kau terlalu percaya diri dengan keadaanmu. Tidak mau berubah seperti mereka? Tapi kau ramah, mudah diajak berteman.
Kadang aku tersenyum sendiri memandangimu.
Kau yang kukagumi, kusapa kau, duduk disampingmu. Kau tersenyum. Tersanjung? Tapi kau meneruskan mencatat meski sempat menoleh dengan senyummu. “Sedang apa?” kau tanya aku. Memangnya mau cari cecak? Ini kan perpustakaan, semua yang datang ke sini mau baca. Aku jujur saja kalau aku mengikutimu.
Kau tertawa dan berhenti menulis. “Maksudnya?” tanyamu sambil tersenyum, menatapku dengan tatapan memaksa untuk kujawab. Aku malah jadi malu. Baru kali ini, sejak namaku terkenal, aku merasa minder untuk menatap perempuan. Kau terlalu berwibawa meski seusia denganku. Aku tersenyum. “Ada perlu?” tanyamu lagi. Sikapmu seakan memberi kesempatan padaku, kalau memang aku perlu sesuatu sama kamu, silahkan.
Aku bingung. Pertama kalinya merasa bingung setelah aku terkenal. Aku terkenal karena aku mampu menjadi yang beda, aku mampu memainkan musik dan menyanyikan lagu, mampu menghibur penikmat musik. Orang-orang terkagum-kagum. Kau? Sayangnya hanya aku, tidak yang lain, yang merasa bahwa kau mampu menjadi yang beda, bahkan lebih dari aku. Kau unik.
Sungguh.
Ketika aku bertemu teman-teman UKM musik, kusodorkan sekian judul lagu, semua terinspirasi oleh keunikanmu, kau beda. Semua kutulis sendiri dalam waktu yang sangat singkat. Belum pernah sebelumnya. Kau tahu, lagu-lagu itu banyak digemari orang, termasuk kau, sang inspirator. Kau unik.
“Kau hebat.”
Begitu katamu saat aku mendekatimu sehabis tampil di panggung, saat acara pagelaran seni yang diselenggarakan oleh teman-teman UKM Teater kampus. Rupanya kau juga suka menghadiri acara seperti itu. Atau karena kau terpesona oleh laguku?
Aku malah gugup. Gadis-gadis yang biasa menggandrungiku menahan diri, memandangimu. Mungkin mereka mengira kau kekasihku. Bukan. Aku hanya terobsesi untuk mengungkap rahasia, sesuatu yang sangat indah, mungkin, sangat, bisa kurasakan meski belum mampu kulihat.
“Kukira kau tidak suka menghadiri acara seperti ini,” kataku.
“Sekali-kali,” katamu.
Orang-orang mengelilingi kita, seakan mereka penonton drama yang sedang menunggu aksi adegan menegangkan, tertegun, banyak mata memelototi. Kau tidak sadari itu? kau menatap mataku, tajam. Aku tidak melihat sesuatu di sana, hanya sangat kurasakan sesuaatu, keindahan yang belum terungkap.
Aku mengajakmu duduk. Orang-orang itu perlahan beranjak, membiarkan kau dan aku berbincang berdua. Menyenangkan. Sejenak kita diam, dan kuingat awal pertemuan kita, kau mengenalkan temanmu. Ke mana dia? Ah, buat apa memikirkan dia. Dia cantik, tapi apa bedanya dengan yang lain? Tidak menarik.
Sikapmu selalu biasa, seakan kau tidak sedang bersama lelaki spesial. Aku punya banyak penggemar, kau tidak bangga?
“Anak band selalu sibuk, ya?” tanyamu.
Aku tersenyum. Pikirku, bukannya kau lebih sibuk? “Tidak juga,” jawabku.
“Kuliah nomor dua, ya?”
Aku tersenyum, lalu tertawa. Kenyataannya memang begitu. Pikirku, yang malas sama yang rajin, sama-sama dapat ijazah, sama-sama bisa jadi pegawai negeri. Tapi kalau anak band, jarang latihan, bisa payah. Perlu latihan terus menerus, sebab yang menilai langsung para penikmat musik. Mereka ingin menikmati hasil karya yang indah.
Kau malah ikut tersenyum, mau tertawa tapi kau tahan. Apa kau juga merasa sepertiku? Tapi kau rajin. Mungkin kau tidak pernah absen. Pasti nilaimu bagus-bagus. Bisa kutebak. Ya, aku menilai dari perilaku dan ketekunanmu.
bersambung ke Yang biasa (3) . Silahkan ikuti kisahnya.
Belum ada Komentar untuk "Yang Biasa (2)"
Posting Komentar