Maling Yang Mendadak Jadi Kyai
Jumat, 05 Oktober 2018
2 Komentar
______________
______________

"Jangan berburuk sangka...!!"
"Bukan berburuk sangka. Justru kita perlu introspeksi diri. Barangkali sikap kita telah membuat beliau begitu."
"Benar juga. Jangan-jangan selama ini kita telah banyak berbuat kesalahan."
Nyai Salma kadang merasa khawatir melihat kebiasaan suami barunya. Beliau banyak menghabiskan waktu berdzikir di tempat sholatnya di kamar. Kadang ia merasa bersalah, tapi tidak tahu kesalahan apa yang telah diperbuat. Mungkin sikapnya telah membuat sang suami begitu. Kadang beliau menduga mungkin suaminya memang mempunyai kebiasaan yang sulit dimengerti orang pada umumnya.
Rabu pagi tanggal 10 Agustus 2016, usai sholat subuh, untuk pertama kalinya sang kyai berkenan berceramah di masjid.
"Itu kan maling...!!" teriak Buden sambil menunjuk ke kyai.
"Jangan sembarangan...!!" Kang Sarman membentaknya.
"Saya kenal dia," bisik Buden.
"Nyai Salma itu keturunan ulamak, tidak mungkin sembarangan pilih suami," balas bisik Kang Sarman.
"Iya, tapi..."
"Kita ini orang awam. Tidak tahu yang sebenarnya. Kamu mau menuduh nyai Salma tidak bisa pilih suami?!"
"Yaaa.... tidak sih."
"Makanya, jangan sok pinter..!!"
Salah seorang ustadz muda yang sudah lama suka sama Bu Nyai Salma memperhatikan Buden dan Kang Sarman. Dia ingin menggali informasi lebih dalam apa yang baru saja dikatakan Buden tentang kyai barunya. Dalam hatinya, ia berharap apa yang dikatakan Buden itu benar agar dia bisa merebut Bu Nyai yang sudah lama ia dambakan untuk jadi istrinya.
Dalam ceramahnya kyai tidak banyak menyampaikan tentang hukum islam atau tata cara ibadah, melainkan bercerita tentang para sahabat. Rupanya beliau juga punya sedikit pengetahuan agama. Pagi ini yang beliau ceritakan adalah kisah Khadijah ra. istri Rasulullah saw. yang pertama. Ia juga menceritakan kisah Jabir bin Abdillah al-Anshari yang menikahi janda demi adik-adiknya yang membutuhkan bimbingan seorang ibu. Bu Nyai Salma senang mendengar ceramah kyai. Beliau menikahi dirinya setelah menjanda ditinggal suami pertamanya.
Seperti seorang muballigh yang sudah ahli berceramah di depan umum beliau bercerita sambil sesekali berdiri bangkit dari tempat duduknya. Begitu semangat.
***
"Kang Buden," Ustadz Faruq dengan lirih memanggil Buden yang sedang lewat di depan gerbang pesanten. "Tunggu, Kang" beliau mendekatinya. "Mau ke pasar?" Buden mengangguk. "Ayo bareng." Keduanya berjalan beriringan. "Kang Buden, kemarin pagi saya mendengar sampeyan menyebut kyai baru kita... ..."
"Ah tidak, tidak...!! Saya salah lihat saja."
"Masak..!! Beneran sampeyan tidak kenal beliau?!"
"Memang mirip sekali sih, tapi saya tidak mau kwalat. Saya tidak mau mengomentari keluarga guru saya."
Ustadz Faruq agak kecewa, tapi ia tidak mau menyerah. "Memangnya Kang Buden punya teman yang mirip beliau?"
"Iya, tapi maling dia. Tidak mungkin Bu Nyai Salma mau jadi istri maling. Beliau turunan kyai, wali Allah."
"Orang mana, Kang?"
"Orang Karang Delima."
"Desa kecil di lereng gunung itu?"
"Iya. Udah lama tidak ketemu."
Jalan terang bagi Ustadz Faruq. Dia tahu desa kecil tersebut, tak sulit untuk mencari seseorang. "Siapa nama teman Kang Buden?"
"Buat apa, Ustadz? Penasaran amat."
"Yaaa... ingin tahu saja."
"Manfaatnya apa buat sampeyan?"
"Ah, Kang Buden, mau tahu aja."
"Yaaa... janggal aja."
***
Usai mengisi pengajian sore Ustadz Faruq pergi ke desa Karang Delima untuk menanyakan kabar orang bernama Saifudin, yang kata Buden adalah teman lamanya yang berprofesi sebagai maling. Diam-diam ia ke sana mengendarai motor miliknya. Bu Nyai Salma melihatnya sekilas saat melewati pintu gerbang. Biasanya Ustadz Faruq langsung bantu-bantu kyai saat beliau masih ada. Sekarang jarang sekali masuk ke ndalem.
Ada anak-anak yang sedang bermain kelereng di halaman rumah di pinggir jalan. Desa Karang Delima tampak sepi. Hampir tidak terlihat ada orang. Ustadz Faruq agak bingung mau menemui siapa. Tidak ada warung untuk nongkrong di situ.
Seorang anak kecil mendekatinya dan menanyakan mau ke rumah siapa. Ustadz Faruq pun memberi tahu tujuannya. Seorang wanita paruh baya tiba-tiba keluar dari salah satu rumah mendekat. "Nyari rumah siapa?" tanyanya. Ustadz Faruq menjelaskan maksudnya. "Saifudin...," wanita itu memperhatikan Ustadz Faruq, dilihatnyay dari kepala hingga kaki, seakan tidak percaya dengan busana muslim: sarung, baju koko dan kopyah, mencari orang bernama Saifudin. "Maling itu, Mas...?" Ustadz Faruq bingung untuk menjawab. Ia khawatir dikira temannya. "Mas kehilangan apa? Dia sudah lama tidak di sini, Mas. Habis nyuri sapi buat lebaran dulu."
Ada seorang wanita lagi mendekat. "Cari siapa, Buk?" tanyanya.
"Saifudin."
"Saifudin maling?!"
"Iya."
"Katanya jadi kyai."
"Halah...!! Ngawur...!! Masak, maling jadi kyai...!!"
"Jadi kyai dimana, Buk?" tanya ustadz Faruq.
"Ah, tidak mungkin, Mas. Kabar burung itu. Masak, maling jadi kyai."
"Tidak tahu juga. Dengar-dengar sih dia nikah sama Bu Nyai."
"Bu Nyai Salma...?! Ngawur kamu. Beliau keturunan wali, kyai alim. Masak jodoh sama maling...!!"
bersambung...
*disadur dari cerita Kyai Sakur, almarhum guru ngaji saya. Mungkin saja ini kisah nyata
Bagus juga ceritanya. latarnya di pesantren gitu ya. pasti ente pernah hidup di daerah pesantren gitu kan.
BalasHapusBtw, Boden itu kalo di daerah ane artinya singkong. hehe
nice deh buat cerpennya ditunggu kelanjutannya
iya pernah tinggal di pesantren. Tapi ini cerita dari guru ngaji, tak tambah-tambahin jadi fiksi. Cerita aslinya cuma maling melamar bu nyai setelah mendengar wasiat kyai (alm)
BalasHapus