Cerpen: Arjunaku Tak Lahir Kembali
Selasa, 02 Oktober 2018
Tambah Komentar
______________
______________

CERPEN KELUARGA cerita tentang kehidupan dalam keluarga.
"Kamu jual sawah lagi?"
Suaranya sangat pelan, tak lantang seperti dulu lagi. Bibirnya sudah hampir tak sempurna bergerak. Badannya gemetar. Matanya lebih sering menutup. Jalan hidup begitu panjang sudah dilalui. Sangat lelah sudah. Kamar ini, ruangan berukuran 6 x 7 meter, dinding berwarna putih dengan gambar-gambar pohon di tepi utara. Jika tidur miring ke kiri, lukisan tersebut begitu indah.
Pemuda itu tidak segera menjawab, hanya diam. Wanita tua yang berdiri di sampingnya hanya menarik nafas dalam. Tak tahu harus bilang apa. Diam seakan menjadi jawaban yang paling tepat dan lebih mampu menjelaskan segalanya. Ruangan ini sudah sekian tahun menyimpan kenangan. Dinding dan jendela sudah menjawabnya.
Di ruangan ini, 25 tahun silam, canda tawa menghiasi. Saat itu si kecil baru berumur satu tahun, begitu lucunya. Demi dia, kalau ia mau, semua mainan di toko mainan akan dibeli, agar tawa si kecil terus mengembang. Bahagianya. Sang pahlawan masih begitu gagahnya kala itu, tak goyah memikul beban seberat apapun. Ia terhormat, semua tahu kehebatannya. Ia begitu berwibawa: kuat dan kaya.
Zamannya sudah berakhir. Si kecil yang dulu lucu dan imut sudah memegang kendali zaman baru. Si kecil sudah menjadi dia, tetapi tak sama. Wanita tua itu sangat tahu bedanya. Zaman rupanya menelan keperkasaan itu, beserta kegagahan, kewibawaan, dan sebentar lagi kekayaan itu juga kan sirna. Lukisan kelinci di dinding masih belum terhapus, bukti sejarah kebahagiaan dahulu.
Wanita tua itu meneteskan air mata, "Jalan yang dilalui tak sama," batinnya. Sehingga akhir ceritanya pun tak sama.
***
Kau pemuda yang gagah. Kau begitu menawan. Wanita mana yang tak terpesona. Hadirmu telah merubah hidupku. Segala yang kumiliki jadi tak berarti. Apalah guna harta. Ah, kau telah berhasil merampok hatiku. "Kau kaya, terpelajar. Nasib kita tak sama," katamu kala itu. "Tapi nasib bisa diubah. Hadirmu di jiwaku membakar semangatku." Aku tertawa dalam hati kala itu. Ada-ada saja kau.
Kau kuli bangunan dengan sedikit kemampuan melukis. Kita lain dunia. Aku anak orang kaya raya. Aku naik mobil, kau naik motor tua yang sering mati itu. "Hei...!!" Aku agak malu sama teman, tapi kuhentikan langkah. "Ini," kau sodorkan lukisan indah itu, gambarku, separuh badan. "Cantik kan?" Aku tersenyum saja. Kuambil gambar itu dan kuucap terima kasih.
"Siapa?" tanya si Karina, teman sekelasku.
Aku hanya angkat bahu, karena aku memang tak begitu mengenalmu. Yang kutahu, kamu kuli bangunan, itu saja. Tetapi kuakui lukisan itu indah, kau pandai sekali. Si Karina juga bilang begitu, "Lebih cantik dari aslinya," katanya. Aneh. Tetapi aku bangga kenal seorang pelukis.
"Hei...!!"
"Kamu? Kok di sini?"
"Aku belajar melukis pake komputer: desain sama Mas Rifan."
Kita semakin dekat. Kau hebat. Banyak pemuda merasa minder mendekatiku, kata teman-temanku, tapi dengan polosnya--mungkin tak salah dibilang tak punya malu--kau dekati aku dan tak segan-segan ungkapkan cinta. Aku bingung. Sungguh aneh. Menurutku tak mungkin lelaki miskin dan tak berpendidikan sepertimu berani nembak aku. Tetapi kau lakukan itu.
Bahkan saat aku berjalan sama dosenku, kau berani menghadangku hanya untuk bilang kalau kau baru saja beli laptop. "Sekarang aku bisa berlatih desain setiap hari di rumah." Hanya doa semoga kau sukses, dan 'ku meninggalkanmu bersama dosenku.
Beliau tanya tentangmu, kusampaikan pada beliau kalau kau kuli bangunan yang sedang bekerja di kampus. Dia juga tanya bagaimana aku bisa kenal kamu. Aku bingung untuk menjawabnya. Aku mau tertawa, tapi kutahan. Untungnya beliau tidak tanya lebih lanjut.
Bila kusimpulkan, kau seperti berlari dari kaki gunung hingga ke puncaknya, dan akulah bunga di puncaknya. Kau taklukkan tingginya gunung. Kau hebat. Dan kita bersama nikmati keindahan. Tak terasa, sudah begitu panjang kita jelajahi kehidupan bersama dan kini sudah tiba di ujungnya. Kisah kita sebentar lagi 'kan usai.
Kau kuli bangunan dengan sedikit kemampuan melukis. Kita lain dunia. Aku anak orang kaya raya. Aku naik mobil, kau naik motor tua yang sering mati itu. "Hei...!!" Aku agak malu sama teman, tapi kuhentikan langkah. "Ini," kau sodorkan lukisan indah itu, gambarku, separuh badan. "Cantik kan?" Aku tersenyum saja. Kuambil gambar itu dan kuucap terima kasih.
"Siapa?" tanya si Karina, teman sekelasku.
Aku hanya angkat bahu, karena aku memang tak begitu mengenalmu. Yang kutahu, kamu kuli bangunan, itu saja. Tetapi kuakui lukisan itu indah, kau pandai sekali. Si Karina juga bilang begitu, "Lebih cantik dari aslinya," katanya. Aneh. Tetapi aku bangga kenal seorang pelukis.
"Hei...!!"
"Kamu? Kok di sini?"
"Aku belajar melukis pake komputer: desain sama Mas Rifan."
Kita semakin dekat. Kau hebat. Banyak pemuda merasa minder mendekatiku, kata teman-temanku, tapi dengan polosnya--mungkin tak salah dibilang tak punya malu--kau dekati aku dan tak segan-segan ungkapkan cinta. Aku bingung. Sungguh aneh. Menurutku tak mungkin lelaki miskin dan tak berpendidikan sepertimu berani nembak aku. Tetapi kau lakukan itu.
Bahkan saat aku berjalan sama dosenku, kau berani menghadangku hanya untuk bilang kalau kau baru saja beli laptop. "Sekarang aku bisa berlatih desain setiap hari di rumah." Hanya doa semoga kau sukses, dan 'ku meninggalkanmu bersama dosenku.
Beliau tanya tentangmu, kusampaikan pada beliau kalau kau kuli bangunan yang sedang bekerja di kampus. Dia juga tanya bagaimana aku bisa kenal kamu. Aku bingung untuk menjawabnya. Aku mau tertawa, tapi kutahan. Untungnya beliau tidak tanya lebih lanjut.
Bila kusimpulkan, kau seperti berlari dari kaki gunung hingga ke puncaknya, dan akulah bunga di puncaknya. Kau taklukkan tingginya gunung. Kau hebat. Dan kita bersama nikmati keindahan. Tak terasa, sudah begitu panjang kita jelajahi kehidupan bersama dan kini sudah tiba di ujungnya. Kisah kita sebentar lagi 'kan usai.
***
Maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku banyak menyia-nyiakan waktu dan terlalu manja. Sekarang aku sudah dewasa dan seharusnya sudah bisa mandiri. Tetapi kemewahan telah melenakanku. Maafkan aku, yang kubisa hanya menghabiskan hartamu.
Aku 'kan pergi mencari duniaku.
Aku 'kan pergi mencari duniaku.
Belum ada Komentar untuk "Cerpen: Arjunaku Tak Lahir Kembali"
Posting Komentar