Tuhanku Bukan Orang Tuaku
Selasa, 08 November 2016
Tambah Komentar
______________
______________

Bapak marah. Wajahnya merah. Kasar sekali. Ibu menangis, tersedu di kamar. Aku diam mendengarkan. Ibu tidak tega melihatku dimarahi. begitulah ibu. Padahal aku tidak menangis. Aku marah, tapi tak bersuara, membisu. Aku yakin walau tanpa bukti, ini pasti ajaran Ustadz Hamdan Fawaid. Aku tidak suka pengajiannya.
"Aku dan ibumu dulu juga dijodohkan. Hidup rukun sampai sekarang! Yang milih sendiri banyak yang cerai...!"
Aku diam saja. Mungkin itu benar. Tetapi yang dijodohkan juga banyak yang tak bahagia. Jaman sudah begitu jauh kemajuannya, masih saja perjodohan mau dierapkan. Aneh. Aku berpendidikan, mestinya diajak musyawarah.
Bukan sekali aku mendengar bapak dan bapak-bapak pengajian yang lain diskusi soal ahlak anak kepada orang tua. Katanya anak harus diajari nurut sama orang tua, apapun kehendak orang tua. Katanya, jika anak membuat orang tua kesal, tidak akan bahagia hidupnya. Ada benarnya, tapi aku tak sepakat jika orang tua berkehendak semaunya dan sesukanya.
Sejak bapak ikut pengajian Ustadz Hamdan Fawaid, bapak rajin memberi nasehat kepada ibu dan anak-anaknya termasuk aku. Padahal, bapak baru dekat dengan hal-hal berbau agama sejak Ustadz Hamdan mengadakan pengajian rutin di masjid. "Istri yang berbakti pada suami itu dibalas dengan surga," ibu mendengar dengan kepala menunduk sebagai bentuk penghormatan. Bapak jadi hakim: ini salah, itu salah, hampir semua salah. Hampir setiap hari menyampaikan Hadits dan ayat suci al Quran.
Seakan semua yang dikehendakinya atas istri dan anaknya akan berbuah surga. Pilihannya adalah yang terbaik. Jika aku atau ibu menghendaki sesuatu, sedang bapak menghendaki sesuatu yang lain, maka pilihannya adalah surga dan pilihan kami adalah neraka. Diharamkan olehnya mengutamakan pilihan kami. Katanya seorang suami atau ayah adalah pemimpin. Suami ibarat sopir yang akan mengantar ke surga, katanya.
Mas Herman adalah lelaki baik, menurutku. Waktu pertama kali kenal dulu, di ruang BEM Fakultas Sastra, aku sungguh terpesona. Ia cerdas, otak briliant. Ia bijaksana. Ia ramah, pengertian. Seakan semua sifat baik ada pada dirinya. Siang itu aku mengenalnya, malamnya ia nyatakan cinta padaku. Entah apa yang membuat ia yakin. Mungkin sudah lama memperhatikanku. Katanya, jika sukses akan langsung menikahiku. Tetapi, hingga kini ia belum juga sukses: 3 tahun sudah.
Tahun lalu ia chat via Facebook minta maaf karena belum bisa menikahiku. Katanya, ayahnya akan senang jika anak-anaknya menikah setelah sukses, sebab dengan begitu tidak akan merepotkan orang tua lagi. Walau tidak diucapkan, kata Mas Herman, itu adalah suatu kewajiban. Makanya dia berusaha keras untuk sukses, dan aku merasa terabaikan walau kami terus menjalin komunikasi.
Ujian datang. Bapakku menjodohkanku dengan lelaki yang belum mapan hidupnya, bahkan masih dibantu orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Aku tidak bertanya apa alasan bapak menjodohkanku dengannya. Mencari tahu hal tersebut adalah sikap durhaka, katanya. Kewajibanku adalah patuh dan menuruti kemauannya agar bapak senang.
Mas Herman mempersilahkanku untuk memilih. Katanya tak boleh mengganggu wanita yang sudah dilamar lelaki lain.
Tetapi, aku tidak bisa diam dengan pertunangan ini. Aku menolak, aku katakan tak suka. Kuceritakan hubunganku dengan Mas Herman. Bapak marah dan memukulku. Katanya aku anak durhaka. Katanya aku telah jadi teman setan.
Tak tahan menahan amarah, aku ke rumah Ustadz Hamdan. Aku kesal. Aku disambut ramah oleh istri beliau, Ustadzah Maryamah, yang sedang menemani anaknya bermain di halaman depan rumah. Tanpa menanyakan keperluanku, beliau langsung menyuruhku masuk. Kusampaikan pada beliau kalau aku perlu sama Ustadz Hamdan.
Tak lama kemudian beliau keluar dan duduk bersama kami. "Maaf, Ustadz, mengganggu waktunya," Ustadz Hamdan bilang tidak apa-apa karena memang sedang tidak ada urusan. Aku disuguhi camilan oleh Ustadzah Maryamah, tapi tidak selera untuk mencicipi. Kupasang wajah ketus. "Begini Ustadz, saya ingin konsultasi mengenai hukum agama," mereka berdua menatapku serius, "Mungkin ustadz sudah tahu, saya dijodohkan oleh orang tua saya dengan orang yang tidak saya sukai. Apa perjodohan paksa memang dibolehkan?"
Beliau berdua diam, mungkin mempertimbangkan cara menjawab pertanyaanku, "Anak harus patuh sama orang tua," beliau memulai dengan kalimat yang sangat tidak aku suka. "Orang tua telah berkorban banyak untuk anak. Anak yang tidak patuh sama orang tua dan suka menyakiti hati orang tua, itu durhaka. Neraka ancamannya." Beliau menyampaikan beberapa Hadits Nabi saw. "Dalam Kitab Fathul Qorib karya Al-Imam Asy-Syeikh Muhammad bin Qasim Al Ghazy dijelaskan bahwa ayah boleh memaksa anak gadisnya menikah walau anaknya tidak suka."
Aku sangat marah mendengarnya, tapi diam saja.
Beliau melanjutkan penjelasannya, "Suatu ketika seorang gadis datang menemui Rasulullah s.a.w. mengadu kepada Rasulullah bahwa ayahnya menikahkannya dengan seseorang yang ia tidak menyukainya, lalu Rasulullah s.a.w. memberinya pilihan: boleh melanjutkan dan boleh menolak. Hadits ini riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Jika Rasulullah memberinya pilihan, itu menunjukkan bahwa pernikahannya sah, walau dengan paksa. Begitu juga dengan hadits riwayat Daraqutni, yang menyebutkan bahwa seorang gadis, walinyalah yang menikahkan."
Dadaku terasa sesak. Aku tidak tahan dan segera berdiri, "Assalamualaikum, Ustadz." Aku berlari sambil menangis. Aku marah pada semuanya, mungkin juga pada Tuhan. Aku tidak suka takdir ini.
Berhari-hari aku mengurung diri di kamar. Aku tidak masuk kuliah. Makan pun hanya karena dipaksa ibu. Sholat pun juga karena dipaksa. Biarlah semua kulakukan karena terpaksa. Kumulai perang dingin dengan bapak.
***
Hukum Perjodohan Paksa dalam Islam
Minggu 15 Mei 2016 sore hari, Rina, teman karibku datang. "Kapan datang?" tanyaku. Dia ikut program Students Exchange ke Swiss enam bulan lalu."Kemarin, Fa. Teman-teman yang cerita kalau kamu sudah hampir dua bulan tidak ke kampus."
Aku merangkulnya dan menangis. Kuceritakan semua padanya. "Insya Allah ada jalan. Jangan menyerah," nasehatnya. Ia mengajakku jalan-jalan, tapi aku tidak mau. "Jangan sampai kamu lemah, Fa, jika memang tidak suka, katakan tidak. Kamu tahu kakak tingkat kita, Fatimah, dia sudah punya anak dua, tapi sering curhat padaku kalau dia masih merindukan mantannya dan kadang menghayal punya anak bersamanya. Jangan sampai kamu seperti itu." Aku diam saja. Dunia seakan sudah gelap bagiku.
Menjelang maghrib ia pamit pulang. Kehadirannya sedikit mengobati perasaanku.
Hari berikutnya Rina datang lagi membawa banyak buah-buahan. "Ayo rujakan," katanya. "Aku bawa kabar gembira." Aku diam saja berusaha tersenyum walau berat. Dia mengambil piring dan pisau di dapur. Sambil mengiris-iris mangga ia bercerita, "Tadi malam aku memaksa Pak De untuk ke rumah Ustadz Hamdan. Aku pernah mendengar anak Ustadz Hamdan suka sama sepupuku. Aku meminta Pak De bertanya hukum menolak perjodohan menurut islam." Aku mengerutkan kening, mencoba menebak kisahnya. "Pak De akhirnya mau setelah kupaksa. Ia bertanya pada Ustadz Hamdan, bolehkah ia menjodohkan anaknya dengan laki-laki pilihannya meski anak gadisnya tidak suka." Aku semakin penasaran. "Ustadz hamdan bilang hukum perjodohan paksa dalam islam itu tidak boleh. Katanya nikahnya tidak sah."
"Kok bisa?!"
"Pak De merekam jawaban Ustadz Hamdan," Rina mengeraskan suara Handphone di tangannya.
"Dalam menjodohkan anak, orang tua harus mempertimbangkan maslahat dan mafsadatnya yaitu tentang baik buruknya. Jika itu hanya akan berakibat buruk, sebaiknya jangan. Sebagai orang tua harus bijak, jangan menuruti nafsu. Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Seorang gadis Tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya, begitu juga seorang janda tidak boleh dinikahi hingga mendapatkan persetujuannya.' Seorang sahabat bertanya, 'Bagaimana mengetahui persetujuannya?' Rasulullah s.a.w. menjawab 'Izinnya adalah ketika ia diam dan tidak menolak.' Shan’ani penulis kitab Subulus Salam Syarah Bulughul Maraam mengatakan bahwa hadits ini juga menunjukkan kaharaman nikah paksa."
Hati ini gembira mendengarnya. Air mata bahagia mengalir di pipiku. Rina melanjutkan rekaman tersebut:
"Habibah binti Sahl datang kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, 'Kalau bukan karena takut kepada Allah ketika dia masuk, niscaya sudah kuludahi mukanya.'
Habibah mengungkapkan kekecawaannya pada Rasul, 'Ya Rasulullah, aku mempunyai wajah yang cantik sebagaimana engkau lihat, sedang Tsabit adalah laki-laki yang buruk rupanya.' Inilah yang telah membuat Habibah tidak bisa sepenuhnya menerima Tsabit sebagai suaminya, tentu masih dengan masalah klasik : wajah.
'Wahai Rasulullah, kepalaku tidak dapat bertemu dengan kepala Tsabit selamanya. Aku pernah menyingkap kemah, lalu aku melihat dia sedang bersiap-siap, ternyata ia sangat hitam kulitnya, sangat pendek tubuhnya, dan sangat buruk wajahnya. Ya Rasulullah, aku tidak mencela akhlak maupun agama suamiku. Tapi aku tidak menyukai kekufuran dalam Islam,' tukas Habibah.
Rasulullah SAW bertanya, 'Maukah engkau mengembalikan kebun pemberian suamimu?'
Habibah menjawab, 'Ya,'
Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Terimalah kebun itu hai Tsabit, dan jatuhkanlah talak satu kepadanya!'
"Beberapa hadits lain yang menjadi dasar ketidakbolehan perjdohan paksa adalah hadits shohih berikut:
'Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya. Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya? Beliau menjawab, Dengan ia diam. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.'
Hadits berikutnya berbunyi, 'Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya. hadits riwayat Muslim.
Yang terakhir adalah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya:
'Bukankah jiwa yang tidak saling mengenal akan cepat berselisih, sedangkan jiwa yang sudah mengenal, ia akan senantiasa lunak."
Aku bahagia mendengarnya. "Terima kasih, Rin." Kurangkul ia, sahabat terbaikku. Aku sangat bahagia.
"Semoga Tuhan menunjukkan jalan. Tetaplah hormat pada orang tua, Fa."
Aku mengangguk.
***
Malam ini tampak indah, tapi rembulan sesekali tertutup awan. Hati ini masih gelisah, bingung untuk menyampaikan pada bapak. Khawatir ia tidak menerimanya. Mengkritik orang tua itu tak sopan, tak pantas; apalagi aku anak perempuan. Menunggu bapak memahami sendiri, itu bukan solusi. Mengharap Ustadz Hamdan menjelaskan pada bapak, sepertinya itu mustahil.
Bersambung ke Cerita Suami Sah tapi ILegal
__________
Referensi:
piss-ktb com
Catatan Ilmu
Terjemah Kitab Fathul Qarib
Belum ada Komentar untuk "Tuhanku Bukan Orang Tuaku"
Posting Komentar