Kisah Cinta Sang Ustadz Tugas
Senin, 07 November 2016
Tambah Komentar
______________
______________

Mereka adalah para ustadz dan ustadzah muda yang didatangkan dari berbagai pesantren besar di luar daerah hingga luar pulau seperti Pesantren Sidogiri di Pasuruan, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Sukorejo, Situbondo, dan beberapa pesantren salaf di Jawa Timur dan Madura. Mereka disebut ustadz dan ustadzah tugasan di sini.
Sebagian ustadzah berbisik pada ustadzah di sebelahnya, tampak belum berani bicara keras. Hampir tak ada yang angkat muka. Para ustadz pun seolah hanya berkumpul dengan sesama ustadz-ustadz saja, tanpa ustadzah, memposisikan badan agak miring ke sebelahnya. Ada yang sibuk otak atik HP-nya.
"Ini pondok modern," kata salah seorang dari mereka. "Beda dengan pondok kita."
"Iya, keren pondoknya, santrinya gaul-gaul."
Di pesantren ini memang banyak santri yang lebih suka memakai kaos dan celana saat berada di salam asrama, potongan rambut juga bermodel, tidak semuau mengenakan songkok. Tetapi kata ‘gaul’ yang diucapkan oleh ustadz tugasan tersebut, sepertinya bukan merujuk pada hal-hal tersebut, melainkan karakter dan sikap santri. Gaya kebanyakan santri di sini memang seperti artis di TV, tidak seperti santri pada umumnya yang biasa menundukkan kepala atau membungkukkan badan saat berhadapan (berkomunikasi) dengan yang lebih tua, bukan membusung dada unjuk kegagahan.
"Biasanya, pesantren modern tidak terlalu aktif ngajinya."
"Iya, sibuk sekolah. Sekolah umum dianggap lebih penting."
“Pelajaran yang menjadi syarat untuk mendapat ijazah dan pekerjaan yang diutamakan.“
“Kita ini golongan orang pasrah, pasrah pada nasib. Tidak pernah mikir mau kerja apa, tidak peduli mau jadi tukang becak, tukang ojek, penjual es keliling, petani, yang penting dapat uang.“
Aku diam saja, tapi pasang telinga agar sempurna mendengar komentar mereka. Mereka memang para ustadz tugasan, ustadz dan ustadzah yang ditugaskan dari pesantren salaf (Pesantren tradisional) yang hanya mengajarkan ilmu agama. Bahkan katanya, sebagian mereka tidak punya ijazah SD, alias tidak pernah sekolah. Mereka tidak paham kurikulum, silabus, atau RPP. Tetapi mereka sudah dibekali akhlak menjadi seorang pengajar dan pendidik seperti yang diajarkan dalam kitab Ta'limul Muta'allim.
"Laki-laki dan perempuan sering ketemu ya."
"Terutama ustadz dan ustadzahnya, juga guru-guru di sekolah. Kantornya jadi satu."
Beberapa ustadzah tersenyum, ada yang menoleh pada yang sedang bicara, ada yang tambah nunduk. Sebenarnya, berkumpulnya laki-laki dan perempuan bukanlah suatu kesengajaan, tapi banyaknya pendaftar yang melebihi kapasitas. Jika mereka ditolak untuk belajar di pesantren, maka pilihannya adalah sekolah umum yang jauh lebih bebas pergaulannya dan minim bimbingan keagamaan.
"Wanita itu memang sebaiknya di rumah saja: ngurus anak."
"Lebih aman begitu."
***
Manajemen Administrasi Pesantren
Tiga minggu berlalu. Para ustadz dan ustadzah tugasan sudah mulai aktif mengajar. Pelatihan-pelatihan terus diberikan pada mereka, baik tentang metode mengajar, membuat soal dan membuat perangkat pembelajaran."Tentang apa tadi malam itu?" tanya Ustadz Mahfud.
Aku tersenyum. Beliau memang hanya sekolah SD. "Itu tentang metode mengajar, cara membuat soal yang sesuai dengan tarjet pembelajaran, juga tentang cara membuat perangkat pembelajaran, dan semacamnya." Kujelaskan pada beliau sambil berjalan menuju kantor asrama.
"Bahasanya sulit saya mengerti," imbuhnya sambil tertawa. "Validitas, relabel, apalagi katanya. Susah, tidak ngerti."
Aku tertawa. "Validitas itu kesesuaian soal dengan hasil belajar yang mau diukur. Jika tarjet pembelajarannya adalah siswa paham i'rab, soal yang dibuat harus tepat mengukur pemahaman santri terhadap i'rab. Reliability itu memang berasal dari Bahasa Inggris, bahasanya orang barat. Maksud soal yang reliable adalah soal yang selalu sesuai jika digunakan berkali-kali. Gampangnya begitu, Ustadz. Kalau perangkat seperti Silabus, RPP, prota, dan semacamnya, itu untuk memudahkan pemantauan oleh atasan. Sebab, kita ngajar bersama, kalau tidak diatur, takutnya terjadi tumpang tindih. Bisa jadi satu ustadz ngasih tugas banyak hingga santri tidak punya waktu belajar pelajaran lainnya. Atau tidak jelas sudah sampai dimana ngajarnya."
"Jadi banyak ya kerjaannya. Lebih banyak dari ngajarnya."
Aku tersenyum. "Iya, Ustadz. Begitulah kerja tim."
"Antum bantu saya buat itu semua. Antum kan sudah pengalaman."
"Pasti, pasti, Ustadz."
“Oya, KKM itu maksudnya bagaimana? Kok ada minimal nilai? Kalau anaknya memang lemah kemampuannya, misalnya dapat 20, harus diubah jadi 85 begitu?“
“Iya, harus sesuai KKM, Ustadz.”
“Bohongan berarti nilainya?“ Aku tersenyum saja. “Kalau di pondok saya, dijemur jika nilainya kecil dan harus mengulang lagi. Bukankah usaha ustadz mendidik santri akan dipertanggungjawabkan di persidangan Allah kelak?“
Aku bingung untuk menanggapinya. “Begitulah kehidupan jaman sekarang, Ustadz.“
“Kalau begitu, santri jadi santai. Belajar atau tidak, tetap bagus nilainya. Mau berakhlak atau jahat, juga sama nilainya.“
“Tidak, Ustadz. Kalau masalah ahlak ada aturan, ada sanksi buat yang melanggar.“
Ada dua ustadzah berjalan berlawanan dengan kami. Mereka Ustadzah Diah dan Ustadzah Fatimah. Keduanya pegawai TU MTs. Ustadz Mahfud menunduk. Aku tersenyum pada mereka sambil menyapanya. Begitulah kami yang sudah kenal jika bertemu.
"Yang sebelah kiri tadi itu......"
"Ustadzah Diah."
"Iya. Itu yang sering ngantar saya ke kelas. Yang nyiapin minum dan jajan di kantor."
"Mereka berdua pegawai TU. Kalau ustadz butuh apa-apa, bilang sama beliau berdua. Itu tugas mereka." Beliau tersenyum. “Ustadzah Diah itu lulusan UIN Sunan Kalijogo, Jogjakarta, jurusan Tarbiyah. Beliau sudah hafal 20 juz. Hafalan haditsnya juga banyak.”
“Kok hanya jadi TU?“
“Beliau hanya ngajar di pondok, tidak mau diminta ngajar di sekolah.“
...bersambung... Cinta bersemi di pesantren
Belum ada Komentar untuk "Kisah Cinta Sang Ustadz Tugas"
Posting Komentar