Hukum Menulis Cerita Fiksi (Hayalan)
Rabu, 09 November 2016
Tambah Komentar
______________
______________

Lalu bagaimana dengan penulis cerita fiksi? Bahkan ada penulis yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menulis, berdosakah mereka?
Waktu saya mengajar tentang "Ahlak/tata krama terhadap orang tua" di kelas, saya tidak membawa orang tua siswa saya ke kelas, tapi saya hanya membuat gambar sketsa di papan. Tujuannya agar mereka bisa membayangkan, dan lebih mudah memahami. Saya juga membuat perumpamaan-perumpamaan, "Misalnya begini, misalnya begitu, maka..." demikian saya sampaikan pada siswa, dan itu tidak nyata terjadi. Waktu saya mengajar tentang tema "Wisata" di kelas, saya hanya membawa gambar ke kelas, saya tidak membawa gunung, pantai, pulau bali, dll dalam wujud aslinya ke kelas, hanya pantai bohongan, gunung bohongan berupa gambar saja.
Untuk mengajarkan cara hidup, tatkrama, moral dan aturan-aturan hidup di masyarakat pada anak, mungkinkah mencari cerita-cerita nyata yang sudah terjadi untuk disampaikan pada anak? Membuat cerita fiktif (hayal) tentu lebih mudah. Cerita fiksi tersebut akan menjadi Ladang Cerita bagi anak untuk belajar hidup di kehidupan sosial yang nyata.
Saya pernah membaca sebuah nasehat agar jangan memberi contoh teladan menggunakan orang yang masih hidup, karena khawatir sifat orang yang dijadikan teladan tersebut berubah. Dalam hal ini, cerita fiksi lebih baik dalam memberikan teladan.
Berdasarkan beberapa sumber yang saya baca, hukum menulis fiksi adalah boleh. Berikut beberapa keterangan dari situs Piss-KTB:
Dalam Tuhfah al-Muhtaj, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan
ﻭَﻣِﻨْﻪُ ﻳُﺆْﺧَﺬُ ﺣِﻞُّ ﺳَﻤَﺎﻉِ ﺍﻟْﺄَﻋَﺎﺟِﻴﺐِ ﻭَﺍﻟْﻐَﺮَﺍﺋِﺐِ ﻣِﻦْ ﻛُﻞٍّ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺘَﻴَﻘَّﻦُ ﻛَﺬِﺑَﻪُ ﺑِﻘَﺼْﺪِ ﺍﻟْﻔُﺮْﺟَﺔِ ﺑَﻞْ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﺘَﻴَﻘَّﻦُ ﻛَﺬِﺑَﻪُ ﻟَﻜِﻦْ ﻗَﺼَﺪَ ﺑِﻪِ ﺿَﺮْﺏَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺜَﺎﻝِ ﻭَﺍﻟْﻤَﻮَﺍﻋِﻆِ ﻭَﺗَﻌْﻠِﻴﻢَ ﻧَﺤْﻮِ ﺍﻟﺸَّﺠَﺎﻋَﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺔِ ﺁﺩَﻣِﻴِّﻴﻦَ ﺃَﻭْ ﺣَﻴَﻮَﺍﻧَﺎﺕ
Artinya: Dari itu dipahami boleh mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik berupa cerita-cerita yang tidak diyakini kebohongannya dengan tujuan hiburan. Bahkan boleh juga mendengar cerita-cerita yang sudah diketahui secara pasti kebohongannya, akan tetapi dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat seperti berani, baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan. Allohu A'lamNabi SAW bersabda :حَدِّثُوا عَنْ بَنِي إسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَArtinya : Ceritakanlah cerita dari Bani Israil dan itu tidak mengapa. (H.R. Abu Daud. al-Shakhawi mengatakan, asalnya shahih)Pada riwayat Ibnu Muni’, Tamam dan al-Dailami ada tambahan :فَإِنَّهُ كَانَتْ فِيهِمْ أَعَاجِيبُArtinya : karena pada cerita mereka ada unik dan menarikNabi SAW membolehkan menyampaikan cerita- cerita dari Bani Israil, padahal kita memaklumi bahwa cerita- cerita itu sulit dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kebolehan itu karena cerita itu menjadi i’tibar dan tentunya ini dengan syarat tidak menganggap cerita itu adalah benar.
Dalam Tuhfah al-Muhtaj, Ibnu Hajar al-Haitamy yang mengatakan :
Dari sumber lain:وَمِنْهُ يُؤْخَذُ حِلُّ سَمَاعِ الْأَعَاجِيبِ وَالْغَرَائِبِ مِنْ كُلٍّ مَا لَا يَتَيَقَّنُ كَذِبَهُ بِقَصْدِ الْفُرْجَةِ بَلْ وَمَا يَتَيَقَّنُ كَذِبَهُ لَكِنْ قَصَدَ بِهِ ضَرْبَ الْأَمْثَالِ وَالْمَوَاعِظِ وَتَعْلِيمَ نَحْوِ الشَّجَاعَةِ عَلَى أَلْسِنَةِ آدَمِيِّينَ أَوْ حَيَوَانَاتٍ“Dari itu dipahami boleh mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik berupa cerita-cerita yang tidak diyakini kebohongannya dengan tujuan hiburan. Bahkan boleh juga mendengar cerita-cerita yang sudah diketahui secara pasti kebohongannya, akan tetapi dengan syarat maksud dari membawakan cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat seperti berani, baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan” Sumber: Piss-KTB
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum membuat kisah fiksi (qashsash khayaaliyyah); Pertama, ada ulama yang mengharamkan, karena dianggap membuat kebohongan (al kadzib). Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187) menyatakan, “Haram bagi seorang Muslim untuk menulis kisah-kisah bohong (fiksi), karena dalam kisah-kisah Alquran dan hadits Nabi dan yang lainnya yang menceritakan fakta dan merepresentasikan fakta, sudah cukup sebagai pelajaran dan nasihat yang baik.”Itulah beberapa penjelasan tentang hukum menulis cerita fiksi. Jika ada yang punya sumber lain, monggo dishare.
Kedua, sebagian ulama membolehkan, seperti Syeikh Ibnu Utsaimin, dengan syarat isi cerita fiksi menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syara’, tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, dan secara jelas menyampaikan kepada pembaca bahwa yang disampaikan adalah fiksi bukan kenyataan, agar tidak jatuh dalam kebohongan. (Lihat : Ibnu Utsaimin, Fatawa Muwazhzhafiin, soal no. 24).
Pendapat yang rajih (kuat), adalah yang membolehkan membuat cerita fiksi asalkan terikat dengan syarat-syarat syar’i agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman.
Dalil yang membolehkan membuat cerita fiksi adalah dalil As Sunnah. Dalam hadits yang menjelaskan bahwa orang yang melakukan yang syubhat (tak tegas halal atau haramnya) dapat terjerumus kepada keharaman, Rasulullah SAW telah membuat perumpamaan dengan bersabda : “Seperti seorang penggembala yang menggembalakan [ternaknya] di sekitar tanah larangan (himaa) yang hampir-hampir dia masuk ke dalam tanah larangan itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata, "Di antara faidah hadits ini adalah, bolehnya membuat perumpamaan dalam rangka memperjelas suatu perkara maknawi (tak konkret) dengan perumpamaan sesuatu yang yang inderawi (konkret). Artinya, menyerupakan sesuatu yang ma’quul (obyek pikiran) dengan yang mahsuus (obyek terindera) untuk mendekatkan pemahamannya.” (Syeikh Ibnu Utsaimin, Al Arba’uun An Nawawiyyah bi Ta'liqaat Syaikh Ibnu Utsaimin, hlm. 4). Sumber: MediaUmat
Belum ada Komentar untuk "Hukum Menulis Cerita Fiksi (Hayalan)"
Posting Komentar