Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

Guruku Jahat, Aku Tidak Suka (2)

______________
______________

Cerpen. Lanjutan dari Guruku Jahat, Aku Tidak Suka (1)
Guruku Jahat, Aku Tidak Suka (2)

Hari ini Senin, biasanya Sindy puang jam 13.20, tapi hari ini ia pulang jam 09.40. Ratih kaget melihat Sindy pulang pagi. "Kok sudah pulang?" tanyanya.

"Dari kantor polisi."

"Ngapain?!"

"Laporin guru yang nyebelin. Dia mukul Sindy tadi pagi."

Ratih terdiam. Ia kebingungan, tak tahu harus bagaimana. Menurutnya Sindy salah, itu tak baik. Tetapi, gurunya juga salah sudah bertindak kasar sama Sindy. Ia juga khawatir Ari sangat marah sama adiknya, kalau tahu. Ia tidak ingin ada kekerasan. Mungkin saja Ari akan memukulnya. Begitulah kakeknya dulu mendidik Ari.

Sindy keluar lagi naik motor, entah mau kemana. Ibunya tidak bisa mencegahnya. Beruntung tak lama kemudian Ari datang. "Kejar adikmu, suruh puang. Cepat...!! Ibu khawatir." Tanpa memarkiri motornya Ari langsung mengejar Sindy. Beruntung tak banyak pertigaan atau perempatan, sehingga Sindy mudah terkejar. Sindy seperti ketakutan dan memacu laju motornya. Ia tidak melihat ada jalan berlubang dan terjatuh.

Ari meminta tolong sama orang-orang yang sedang bekerja di sawah. Mereka berlarian menghampiri, hendak menolong Sindy. "Segera bawa ke puskesmas, Nak," kata salah seorang dari mereka. "Ari..." rupanya ada yang mengenal Ari. "Itu Sindy?"

"Pak, Rahmat. Iya, Pak."

"Ayo segera ke puskesmas. Biar motornya. Banyak yang jaga di sini."

Sindy tidak sadarkan diri. Puskesmas tidak bisa menanganinya dan dirujuk ke rumah sakit kota. Ari memilihkan kamar kelas dua. Sindy di tempatkan di blog Melati nomor 13. Ada seorang anak muda yang sedang sakit juga di sana dan dijaga oleh keluarganya.

"Kenapa, Mas?" Seorang lelaki paruh baya tanya Ari.

"Kecelakaan, Pak," jawabb Ari. "Sudah berapa hari di sini, Pak?"

"Baru tiga hari. Ini ponaan kecelakaan. Main trek-trekan sama temannya. Nakal memang anaknya." Ari tersenyum mendengarnya. "Empat bersaudara, ini beda sendiri, Mas. Yang lain tinggal di pesantren, dua masnya dan mbaknya di pesantren semua. Cuma ini yang tidak mau, sukanya keuyuran." Ari seperti enggan menanggapi, hanya dengan senyum saja.

"Sekolah dimana, Pak?" tanya Ari.

Ternyata dia satu sekolahan dengan Sindy. Ari terkejut mendengarnya. Mungkin dia termasuk dari pemuda yang pernah hendak mengeroyoknya. Tetapi dia tidak begitu ingat satu per satu wajahnya. Ari hanya melihat sekilas wajahnya yang ditutup perban sebelah kirinya.

Seorang wanita paruh baya juga mendekati Ari, melihat Sindy. Dia istrinya bapak yang tadi. "Saya tak keluar dulu, Pak," pamitnya. Suaminya mengangguk. Tak lama kemudian ia datang kembali membawa beberapa bungkus bakso. Lalu mengambil beberapa mangkok. "Monggo, Mas. Ini tak belikan juga," katanya pada Ari.

Ari agak kaget, merasa tidak enak. "Kok repot-repot, Buk."

"Sudah, ayo bareng."

Mereka makan bakso sambil ngobrol, mengakrabkan diri tukar cerita masing-masing. Kedua orang tua anak yang sakit tersebut sangat sibuk bekerja, bahkan saat anaknya di rumah sakit pun tak bisa libur kerja. Pak De sama Bu De-nyalah yang jagain.

"Masnya sudah berkeluarga?" tanya ibu itu.

Ari tersenyum. "Belum, Buk. Masih kuliah."

"Ow, kirain sudah berkeluarga. Tetangga saya ada yang sudah nikah, padahal baru setahun kuliah. Sekarang usaha ternak kambing etawa. Istrinya, ustadahnya ini," menunjuk pada seorang gadis yang di sampingnya.

"Anaknya memang baik, pintar juga, dia datang ke kyai dulu minta pilihkan calon istri, sama kyai dipilihkan," kata bapak itu. Istrinya seakan ingin menyambung, tersenyum. "Setelah dipilihkan baru bilang ke orang tuanya."

"Yang mau nolak, tidak enak bapaknya," sambung ibuk itu sambil tertawa.

Ari tersenyum. Ia agak kurang setuju cara menjalin hubungan seperti itu: tanpa perkenalan, langsung nikah. Tetapi, jika cerita bapak dan ibu tersebut benar, Ari jadi ragu dengan keyakinannya. Logika tak selalu menjadi penentu nasib. Ia tahu sedikit tentang santri, dunianya orang ikhlas dan tak banyak menuntut. Hidup apa adanya dan tak bernafsu pada dunia. Menurut logika Ari itu tak baik, tetapi ia juga tahu banyak sarjana cerdas dengann nilai bagus yang nganggur, ada juga yang menjadi karyawan rendahan.

...bersambung...

Belum ada Komentar untuk "Guruku Jahat, Aku Tidak Suka (2)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel