Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

Exportir Sapi ke Australia

______________
______________

peternakan sapi limosin
Cerita ini merupakan cerita lanjutan dari cerpen berjudul sapi lebih berharga daripada sekolah bagian 2. Pada bagian ini, sang peternak muda mulai mendapat pencerahan tentang masa depannya.

Tanpa sengaja Alfan mendengar perbincangan ayah dan ibunya yang membicarakan pak lek-nya, adik kandung ibunya. Katanya dia baru saja dipecat dari perusahaan tempat ia bekerja. Padahal istrinya hanya seorang ibu rumah tangga, anaknya tiga sudah sekolah semua. Katanya dia mau pinjam uang untuk belajar usaha.

"Teman itu berharga, sama berharganya dengan jaringan bisnis," pikir Alfan. "Beban menjadi ringan jika dipikul bersama. Sedekah adalah investasi."

Sepertinya Alfan semakin mantap untuk berhenti sekolah. Menurutnya, belajar di alam nyata itu lebih penting. Tetapi ia belum mempunyai alasan yang kuat untuk meyakinkan orang tua dan saudaranya. Padahal dia sudah ingin sekali fokus bisnis saja. Ia ingin memaksimalkan bisnisnya, ingin segera menjadi peternak besar, wirausahawan sukses di Indonesia.

Hari-harinya banyak ia habiskan menghitung-hitung perkiraan keuntungan besar hasil bisnis peternakan sapi limosin. Mobil, rumah, dan istri cantik memenuhi ruang hayalannya. "Aku ingin menjadi pengusaha muda yang kaya," pikirnya. Hampir ia lupa sekolahnya, hampir sama sekali tidak ingat. Sebenarnya ia butuh teman curhat, tetapi curhat pada peternak, jawabannya ya itu itu saja, mau tanya pada sarjana, ia kurang yakin.

***

Alfan Membeli Tanah untuk Peternakan Sapi Limosin

Alfan berencana menjual seekor sapinya untuk membeli tanah. Ia ingin bisnis pertanian juga. Ia coba musyawarah dengan pak lek-nya, yang setiap hari mengurus sapi bersamanya. "Rencana yang bagus," respon pak lek-nya. "Tapi ingat, Fan. Sekolahmu. Jangan sampai kamu putus sekolah." Alfan menghela nafas panjang. Ia bingung. Semua orang tidak sepaham dengan dirinya. "Kehidupan semakin rumit, semakin canggih. Sekarang berbeda dengan jaman dulu. Dulu tidak perlu ijazah untuk hidup bahagia."

"Iya, saya ingin belajar bisnis pertanian. Tanaman kan tidak harus diurus setiap hari, tidak seperti sapi."

"Boleh. Kamu sudah bilang bapakmu?"

"Belum."

"Kamu kan juga dapat bagian warisan."

"Iya, sih. Tapi itu tidak baik. Tidak bebas."

"Kapan hari teman pak lek ada yang mau jual tanah, haji Fauzi di Wonosari."

"Lek tahu sawahnya?"

"Katanya di pinggir jalan, dua petak."

"Sip."

Esok harinya mereka ke rumah pak haji Fauzi, katanya benar mau jual sawahnya yang di pinggir jalan di daerah Wonosari.

"Ini, ponakan yang mau beli tanah."

Pak haji Fauzi kaget, sambil tersenyum menatap Alfan. "Sudah berkeluarga?" tanyanya.

"Masih sekolah, kelas dua SMA."

"Wah, hebat...!! Masih sekolah sudah mampu beli sawah. Ini yang bapaknya ternak kambing itu?"

"Iya. Dia sendiri ternak sapi limousin sekarang."

"Tidak mengganggu sekolahnya?"

"Tidak," jawab Alfan.

Seorang gadis menghampiri mereka membawa teh di atas nampan. Alfan memandanginya. Cantik. Pak lek-nya tersenyum dan menepuk paha Alfan, memberi isyarat agar menghentikan pandangannya. Alfan menoleh pak lek-nya sambil tersenyum.

"Itu anak saya yang kuliah di Malang."

"Ambil fakultas apa?"

"Pendidikan."

"Cocok. Perempuan memang lebih cocok jadi guru," kata pak lek-nya Alfan.

"Perawat juga," sahut pak haji Fauzi.

"Iya. Kamu tidak mau cari istri perawat, Fan?"

Alfan tersenyum. "Perawat jarang di rumah, Lek," jawab Alfan.

Pak H. Fauzi dan pak lek-nya tertawa. "Cari yang kerasan di rumah saja," kata pak haji Fauzi. "Mau kuliah dimana nanti, kalau sudah lulus? Ke IPB?"

Alfan belum pernah mendengar IPB sebelumnya. Maklum, ia terlalu sibuk ngurus sapi, tak begitu paham urusan pendidikan. "Dimana itu?"

"Di Bogor, Institut Pertanian Bogor, kampus pertanian favorit di Indonesia. Atau cari beasiswa ke Australia."

"Nah, iya. Indonesia banyak import sapi dari sana. Itu yang bikin melas peternak kecil," kata pak lek-nya Alfan. Alfan baru tahu, tapi tak begitu paham. "Kalau kamu bisa kuliah peternakan ke Australia, kamu pasti bisa menyaingi peternak-peternak Australia."

"Katanya lahannya juga luas di Australia. Jadi sapinya diumbar di padang rumput. Peralatannya juga canggih-canggih. Jadi tidak repot meski pelihara puluhan ribuan ekor sapi," jelas pak haji Fauzi.

Alfan terdiam. Seolah-olah ia sangat terbelakang dan hanya merasa sudah menguasai tentang bisnis peternakan. Rupanya masih banyak yang harus ia pelajari.

Sudah larut. Sudah sepi. Orang-orang sudah pada tidur. Hanya suara hewan malam di luar dan angin malam gemerisik. Alfan belum bisa tidur, membayangkan memiliki 10.000 ekor sapi yang dieksport ke Australia. Smartphone di sampingnya masih menyala. Jarang sekali ia menggunakannya, sibuk ngurus sapi.

Ia mencoba membuka grup-grup peternak sapi di Facebook. Sudah lama Facebooknya tidak dibuka, pemberitahuannya banyak. Ada yang tag gambar sapi belgian yang sangat dikenal sebaai sapi terbesar. Ada yang share pakan fermentasi untuk sapi. Ada yang share foto istri yang ikut merumput, membuat ia teringat pada anak pak haji Fauzi: cantik. Ia tersenyum membayangkan negeri kangguru.

Karena tidak bisa tidur, ia mengambil kertas dan bolpen. Diperhatikannya buku-buku peternakan yang ia baca. Ruupanya koleksi bukunya belum cukup. Masih banyak hal yang perlu ia tahu. Dia coba browsing tentang bisnis peternakan dunia, tentang impor dan ekspor sapi. Australia ia dapati menjadi pengekspor terbesar. Luar biasa negeri kanguru tersebut.

Ruupanya dirinya sudah keliru ingin berhenti sekolah. Dia harus datang ke negeri kangguru tersebut, belajar cara beternak sapi. Luar biasa, pikirnya, jika nanti dia yang ekspor sapi ke Australia dari indonesia. Hayalan anak muda memang cukup tinggi, tetapi hayalan inilah yang memotivasinya. Banyak motivator bilang, tidak ada yang tidak mungkin selagi kamu mau berjuang.

Dirinya tentu akan merubah cerita peternakan sapi di Indonesia. Jika mimpinya menjadi kenyataan, Indonesia bukan lagi importir, tapi sebaliknya, ekspor sapi ke negeri kangguru itu.

Bersambung...ke Sepasang Merpati di Dahan Angsana

Belum ada Komentar untuk "Exportir Sapi ke Australia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel