Cerpen: Pak Lurah Kesiangan
Sabtu, 05 November 2016
Tambah Komentar
______________
______________

"Baru bangun, Pak?" sapanya.
"Sudah dari tadi. Ada apa?" aku pura-pura tidak tahu.
"Pak Karman ditangkap," jelas Pak Sukir setengah berbisik. "Tadi malam Pak Sodiq sama Pak Maimun juga sudah ditangkap."
Lewat depan rumahku Pak lurah bersama rombongan membawa Pak Karman dengan tangan terikat. Ada lima orang berseragam seperti polisi turut serta. Aku tidak kenal mereka.
"Coba dari dulu begini, kan aman," komentar Pak Rahmat. "Desa ini sudah jadi sarangnya maling, rampok, pemabuk, penjudi, pelacur juga ada. Kemaksiatan meraja lela."
Pak Rokib diam saja. Tiga kali beliau hilang sapinya. Dua motornya juga hilang. Bahkan istri dan mertuanya dua kali jadi korban pemerkosaan. Pak lurah hanya berucap prihatin atas peristiwa itu. Pak Rokib bukanlah satu-satunya korban kejahatan di desa ini. Katanya pelakunya akan dipenjara, tapi mana buktinya. Kayak orang sakti aja Pak lurah ini.
"Anak kelas enam SD sudah berani mencuri," kata Pak Sukir. "Heran saya. Padahal sekolah tambah maju, guru tambah banyak. Bayaran guru juga tambah mahal, motornya keren-keren."
"Jaman kita sekolah dulu, cuma tiga kan gurunya ya kang," tambahku.
"Iya. Kayak kurang diberi nasehat, anak jaman sekarang maunya aneh-aneh. Padahal sekolahnya pulang sore."
"Les itu kang."
"Lah iya, buat apa kalau kelakuannya malah begini. Pelaku kejahatan ini kan banyak anak mudanya. Sekarang sudah tidak ada yang tidak sekolah. Dulu jarang yang sekolah. Si Firman yang alumni pesantren malah dilarang ngadakan pengajian sama pak lurah."
"Takut sesat ajarannya, Kang. Firman kan mondoknya jauh."
"Tapi kan, anak-anak yang ngaji ke dia alim-alim, sopan-sopan. Rajin sholat. Iya kan?" beliau menatap kami. Aku menanggapinya dengan senyum. "Dulu Pak Lurah memelihara bajingan, pengajian yang dilarang. Sekarang kena batunya."
"Kalau belum kena sendiri, memang begitu..."
"Ini kan sejak istrinya digilir 13 pemuda, bahkan ada anak SD yang ikut dalam aksi kejahatan tersebut, katanya. Baru dia bertindak. Ini bukan demi rakyat, tapi balas dendam."
Aku tersenyum. Sepertinya Pak Sukir sangat tidak suka Pak Lurah. Maklum, beliau memang pendukung lawan saat pemilihan lurah dulu. Dulu beliau dukung Ustadz Hamdi, ayah Firman. Tetapi beliau kalah. Masyarakat di desa ini memang tidak tertarik dengan hal-hal yang berbau agama.
"Sudah mulai panas, waktunya ke sawah."
"Saya juga mau ngarit."
Belum ada Komentar untuk "Cerpen: Pak Lurah Kesiangan"
Posting Komentar