Cerpen: Guruku Jahat, Aku Tidak Suka (1)
Sabtu, 05 November 2016
Tambah Komentar
______________
______________

Ratih kaget mendengarnya, tetapi ia memang bukan tipe orang reaktif. Sulit sekali untuk bereaksi, apalagi menanggapi. Hanya memandang sejenak dan diam, atau sejenak menghela nafas menghilangkan sesak di dada.
"Sindy...!" Ari memperingatkan adiknya.
Ratih diam saja tidak berkomentar. Seakan ia pasrahkan Sindy pada Ari.
"Sebel, punya guru nyebelin...!!"
"Hus...!! Mulutnya, tidak sopan...!! Saya tampar kamu...!!"
"Ari, Ari... Sudah," kali ini Ratih tak tahan diam, ia tegur Ari. "Jangan kasar begitu sama adikmu."
"Murid itu harus hormat sama guru," tambah Ari dengan suara datar.
"Guru kayak gitu mau dihormat?! Sampek kiamat, tidak akan...!!" sahut Sindy ketus. "Nyebelin...!!"
"Apa jika ibu begitu, juga tidak kamu hormat...??!!" Amarah Ari naik lagi.
"Ari... Sudah, sudah, berhenti...!!"
Ratih yang dari tadi membaca majalah di ruang tengah mendekati Ari yang berdiri di depan Sindy yang sedang main game. "Jangan kasar sama adikmu?" nasehatnya.
"Kakek dulu yang ngajari Ari agar hormat pada orang tua dan guru."
Ratih menghela nafas, seakan sesak oleh kebingungan.
"Guru kan harus sayang sama murid, bukan marah-marah melulu," tambah Sindy. "Sudah tidak menarik, sukanya marah. Kalau sampek dia mukul Sindy lagi, tak laporin polisi saja...!!"
"Apa jika ayah dan ibu yang memukulmu, juga mau kamu laporkan polisi?!" Bentak Ari.
Sebagai anak laki-laki, semasa kecilnya, Ari dididik sangat disiplin, terutama oleh kakeknya. Orang-orang menganggap cara mendidik kakeknya sangat keras. Cara beliau mendidik sudah dianggaptak menarik, tidak berlaku untuk jaman sekarang. Katanya ini adalah jamannya orang pintar berilmu, jamannya orang-orang kreatif. Mendidik dengan kekerasan itu tidak kreatif namanya.
***
Sudah larut sekali. Jalanan sudah sepi. Malam semakin dingin. Sindy belum pulang. "Kemana adikmu, Ari?" tanya Ratih pada anak sulungnya itu. Ia tampak sangat khawatir. Suaminya seakan tak peduli, asik nonton bola di sofa. "Coba kamu cari ke rumah temannya." Tetapi Ari tampak tak semangat, enggan beranjak. Namun, akhirnya ia pun ambil helm dan berangkat mencari Sindy.
Ratih memandangi suaminya, tapi sepertinya tak ada harapan untuk sekedar curhat saja, apalagi memintanya mencari Sindy yang belum pulang hingga larut begini. Ia mendengar suara motor di depan, tapi bukan motor Ari. Dilihatnya. Ternyata Sindy dibonceng teman lelakinya. Mereka berciuman sebelum Sindy masuk rumah. Ratih hanya menelan ludah, bingung mau berbuat apa, hanya menunggu Sindy di pintu.
Sindy menyalaminya dan mencium tangannya.
"Kakakmu mana?"
"Tidak tahu. Paling lagi sama pacarnya."
Sindy langsung masuk kamar dan tidur.
Jam dinding sudah jam 11.20. Sudah larut sekali. Kegelisahan Ratih beralih pada Ari yang tak kunjung pulang. Ia coba telpon, tapi HP-nya tidak aktif. Suaminya mematikan TV dan masuk ke kamar. Tinggallah ia sendiri dengan kegelisahan.
Malam begitu panjang. Tidak ia kunci pintu depan, dibiarkan terbuka. Angin malam bebas masuk, terasa menusuk-nusuk dinginnya. Tetapi Ari tidak kunjung datang. Sesekali Ratih tertidur dan terbangun lagi.
Tak terasa pagi pun datang. Ia masih di kursi, tertidur. Suaminya membangunkannya dan menyuruhnya segera cuci muka. "Ari belum pulang, Pak."
"Nanti juga pulang."
Matahari mulai meninggi, Ari pun datang. Ratih langsung menghampirinya, "Dari mana saja kamu?" Lampu sein motor Ari yang sebelah kanan pecah. Ari langsung masuk rumah, Ratih mengikutinya. "Apa yang terjadi Ari?" Ari menyandarkan badannya ke sandaran kursi dan menghela nafas panjang.
"Tadi malam Ari dicegat segerombolan anak muda, Ma."
"Apa?!"
"Untungnya ada polisi yang sedang patroli. Hampir saja mereka merampas motor dan dompet."
"Kamu di kantor polisi semalaman?"
"Iya, ternyata mereka masih pelajar, enam orang dari mereka satu sekolahan dengan Sindy. Bahkan ada yang satu kelas."
"Astaghfirullah...!!"
Ratih teringat teman lelaki Sindy yang mengantarnya tadi malam. Jangan-jangan ia salah satunya. Ratih cemas, bingng. Rasanya ingin ia pindahkan Sindy agar jauh dari teman-temannya yang sudah jadi preman. Namun, ia bukan tidak tahu kalau tak hanya satu dua siswa dari berbagai sekolah yang terlibat tindak kriminal. Berita semacam itu sudah menyebar luas.
Bersambung ke Guruku Jahat, Aku Tidak Suka 2
Belum ada Komentar untuk "Cerpen: Guruku Jahat, Aku Tidak Suka (1)"
Posting Komentar