Dosenku, Maaf Ku Tak Paham
Senin, 20 April 2015
Tambah Komentar
______________
______________

"Salim..."
Menyapa dan berlalu. Ah, cowok yang satu ini memang menjadi perhatian banyak gadis. Bentuk wajah kearab-araban, kulit putih cerah, tinggi, hidung mancung. Ditambah Bahasa Indonesia yang tak begitu fasih, cukuplah buat bahan tawaan dan jalan untuk P-E-D-E-K-A-T-E. Sebenarnya Ia bukan bule. Dia orang indonesia asli, tulen, dan terlahir di negeri ini, di desa, dari keluarga petani. Entah mimpi apa ibunya hingga melahirkan anak setampan dia.
Senyum, sapa, canda, gurau. Begitulah ia. Tetapi jalannya cepat, disiplin, sering di perpustakaan. Tasnya selalu berat. "Aku pinjam lima buku di perpustakaan," jawabnya saat ditanya oleh Herdi. "Pake KTM Mukhlis sama Ridho." Tetapi ketika ada temannya, ia tinggalkan aktivitas membacanya.
Karena hobi membaca, tentu ia banyak pengetahuan, dan suka debat juga, tetapi sambil gurau. Sebenarnya ia fasih berbahasa Indonesia, hanya saja logat daerahnya kental sekali. Itulah yang selalu jadi bahan tawaan, saat ia debat dengan dosen, atau saat presentasi. "Saya tidak akan merubah logat saya, kasihan orang yang punya hutang," candanya disela presentasi di kelas, "Jadi sedih kalau tidak ada yang lucu."
Ayah Salim memang orang yang disiplin. Meskipun beliau hanya seorang petani, tapi semua aturan dari leluhur ia patuhi: tak boleh potong kuku malam hari, tak boleh tidur saat petang, tak boleh tidur di pagi hari, dsb. Salim nurun watak bapaknya. Satu lagi, ia sangat membenci menyia-nyiakan waktu.
"Kamu jomblo ya?" tanya Vina saat duduk berdua dengannya.
"Karena saya orangnya tak sabaran."
"Apa hubungannya?"
"Kalau pacaran, kan cuma dilihatin. Tindakannya nunggu nanti setelah nikah."
"Ah, aneh..!!"
"Memangnya kamu mau jadi istri aku?"
"Ich... Baru semester dua."
"Gitu aja sewot. Kamu cantik, Vin, sayangnya tidak menarik."
"Maksudnya?!"
"Nggak tahu."
"Dasar...!!"
***
"Kenapa, Wan? Kok melamun?"
Wawan memang pendiam, tak banyak bicara. Suka menyendiri. Seringkali Salim mendekatinya agar ia tak sendirian dengan pikiran kosong. Ia tahu Wawan kurang percaya diri.
"Ke perpusakaan, yuk?"
Seperti biasa. Mereka ke lantai dua. Salim selalu mengajaknya membaca buku-buku psikologi dan motivasi. Ia tahu Wawan membutuhkannya. Salim langsung ambil empat buku. "Kamu baca semua, Lim?" Salim hanya tersenyum dan membawanya ke meja. Ia buka catatan kecilnya dan mulai membaca sambil sesekali mencatat.
"Buku apa itu?"
"Hmm... tidak tahu," sambil tersenyum Wawan menjawab dengan tidak yakin. "Sepertinya bagus."
Salim hanya tersenyum.
***
"Salim...!!"
Salim kenal suara yang memanggilnya. Dewasa, cantik, rajin, perfeksionis, tapi suka maksa.
"Salim, kamu udah selesai tugasnya Bu Tuti?"
"Hah..!!" Salim kaget. "Tugassss...??"
"Dorrr...!!! Lupa...?!"
"Lagian, dosen ini tidak serius sih. Selalu tampak tak siap. Penjelasannya tidak nyambung."
"Wah, hebat kamu..."
"Aku ke perpustakaan aja."
"Nggak masuk?"
"Sibuk."
Wulan bingung. Tak ada yang ia anggap lebih sempurna dari dirinya selain Salim. Ia kejar Salim ke perpustakaan. Masih ada waktu 10 menit. Ia juga penasaran kenapa Salim selalu duduk di kursi paling belakang setiap kuliahnya Bu Tuti. Dosen ini memang terkenal paling banyak ngasih tugas. Banyak mahasiswa mengeluhkannya.
Salim sedang duduk dengan setumpuk buku, satu ia pegang. Wulan langsung mendekatinya dan duduk di sampingnya. "Bantu aku ngerjain tugas...!!" Ia menarik lengan Salim dan menutup buku yang ia baca.
"Kalau istriku begini, tak pisah ranjang setahun."
"Iya sudah, terserah. Ayo, ini gimana? Nomor tiga dan empat saja."
Salim membacanya. Tersenyum. "Saya tidak yakin beliau paham tentang ini."
"Tidak apa-apa. Yang penting aku selesai. Kamu paham, kan?"
"Iya. Aku paham kalau yang buat soal juga bingung."
"Ich... Ayo, ke kelas...!!" Ia menarik lengan Salim dengan paksa.
Terpaksa Salim masuk ruang kelas. Diam mendengar marahan Bu Tuti. Salim marah, tapi bingung. Tak layak mahasiswa menentang dosen, apalagi perempuan. Salim tak menyangka di kampusnya ada dosen yang kualitasnya begitu. Menurutnya, Bu Tuti seperti guru SMA. Kurang tepat mengajar mahasiswa.
"Tumben kamu duduk di depan?!"
Salim hanya tersenyum.
***
Mumpung akhir pekan, Salim pulang kampung. Lumayan, meski cuma dua hari, bisa bantu orang tua di sawah. Musim tanam baru saja mulai. Semua petani pada sibuk ngurus sawah. "Buk, cewek di kota cantik-cantik." Ibunya tersenyum. "Kapan-kapan tak ajak ke sini."
"Jangan diajak ke sawah. Nanti hitam. Hilang cantiknya."
Bapaknya tidak banyak tertawa, juga tampak tak ceria. Salim paham. Musim panen kemarin, kata ibu, hasilnya sedikit. Padahal biaya produksi naik. Ia menghabiskan banyak waktunya di sawah, seakan memaksa tanahnya untuk menghasilkan lebih banyak lagi. Tetapi, beginilah hidup. Teori kehidupan tak selalu menaklukkan kenyataan. Kalau nanti Salim sudah sukses, tak perlulah orang tuanya bekerja di sawah lagi. Ia yang akan mencukupinya. Makanya ia rajin sekali belajar.
"Mbak Rina, sering datang, Buk?"
Ibunya menoleh ke bapaknya yang lagi sibuk sendirian di petakan sawah satunya. "Iya, sering. Kamis kemarin ke sini, pinjam uang," agak berbisik takut didengar sang suami. Rina adalah satu-satunya kakak perempuan Salim. Ia dinikahkan waktu usianya masih 14 tahun. Suaminya buruh tani, mantan ustadz di pesantren dulu. "Tak kasih uang sama beras. Tak bawain lauk juga."
"Suaminya kerja apa?"
"Tidak ada, cuma buruh tani. Orang pada susah sekarang."
"Saiful sudah sekolah?"
Saiful adalah anaknya Rina. Ia sudah berusia lima tahun sekarang.
"Mau sekolah gimana, wong bapaknya nggak punya uang!"
Salim terdiam.
"Minggu lalu, Si Rizki pulang."
"Rizki? Yang kuliah di Jogja itu?"
"Iya. Sudah wisuda, tapi pulang minta uang sama bapaknya. Katanya mau usaha di sana."
"Usaha apa?"
"Tidak tahu. Katanya, kalau kerja ke orang, gajinya kecil; kayak jadi budak. Bapaknya jual sawah; yang itu dijual semua, dua petak; buat modal."
"Jurusan apa kuliahnya?"
"Katanya jurusan yang bisa jadi guru gitu."
"Ow."
"Si Mia itu jurusan apa? Katanya gajinya empat juta sebulan."
"Sudah lulus?"
"Belum. Katanya, kalau jurusannya dia cepet kerja."
"Jurusan apa? Di tempatku tidak ada."
***
"Habis pulang kampung, Rek. Mana oleh-olehnya...?" Arika menyapa Salim di lobi.
"Bawa oleh-oleh kemenyan."
"What...?! Kemenyan..!!"
"Mau dukunin kamu tu, Ka," sahut Rahman.
"Aku mau didukunin," tambah Lia.
Sebenarnya Salim sedang tak seceria hari-hari sebelumnya. Teman-temannya tahu itu. Hanya saja, mereka sudah paham, ia orang yang tabah, sabar, dan memang ramah. Pandangan Salim tidak fokus. Pikirannya tak menentu. Seakan ia ingin ke sawah lagi dan menumbuhkan benih yang unggul agar hasil panen melimpah. Agar aayhnya tersenyum. Tetapi, itu hanya angan. Pura-pura saja ia tersenyum. Namun, seolah ia sudah bosan berpura-pura.
Zaki lari-lari dari pengajaran. "Pak Teguh tidak ada. Ditukar sama Bu Tuti."
Spontan kaget semua. "Tugasnya...?!"
"Biasanya kan Salim sudah ngerjakan," celetuk Titin.
"Kecuali mata kuliahnya Bu Tuti," sahut Wulan.
Salim mendapat SMS dari teman baru, pebisnis jamur tiram. Sebenarnya, SMS tersebut lebih penting dibanding kuliah Bu Tuti yang sangat teoritis dan tak jelas, menurutnya. Tetapi, sudahlah, ia masuk saja. Ia pilih kursi paling belakang. Buka buku hortikultura. Membaca. Cuek saja sama mahluk di sekitarnya.
"Beda cuaca, beda kualitas tanah, beda air, beda hama. Tentu penanganan juga beda." Salim mencatat beberapa hal penting di buku tersebut. "Alam terus berubah, para ahli yang lahir pada jaman dahulu sudah mati. Ilmu mereka sudahh banyak tidak sesuai." Bu Tuti sudah memulai ceramah, tapi Salim tak mendengarnya. Ia menganggap penulis buku yang dipegangnya lebih nyaring suaranya dan lebih penting isinya.
Masih terus terbayang wajah bapaknya yang tak ceria di sawah kemarin. Masih terngiang cerita ibu tentang kakak perempuannya yang hidup kekurangan, cerita si Rizki dengan gaji kecil. Mungkin saja bapaknya khawatir setelah ia lulus nanti, ia juga akan pinjam uang dan minta jualkan sawah. Hidup memang harus dipikirkan dengan serius. Hidup tak main-main.
Masih ia ingat waktu ia minta dikuliahkan. Pak De yang membantu melunakkan hati ayah agar mengijinkan. Salim yakin sekali akan menjadi pebisnis yang sukses. Ia ingin mengembangkan pertanian di negeri ini. Pak De yang bijaksana yang banyak menyadarkannya.
"Salim," Bu Tuti memanggilnya. Salim tak sadar hingga Wawan yang disampingnya menyadarkannya. "Melamun?"
"Tidak, Bu."
"Coba jelaskan ulang cara mengatasi hama tanaman berbahaya..!"
"Hama apa, Bu?"
Teman-temannya tertawa. "Mikirin siapa sih...!!" kata teman-temannya. "Patah hati ya..."
"Diracun, Bu."
"Pernah ke perpustakaan kamu?"
"Sering ke sawah, Bu. Tapi tidak ada hama di sawah. Jadi, saya belajar cara meningkatkan hasil produksi."
"Ow, jadi kalau sudah kena hama, baru mau belajar?"
"Bukan begitu, Bu. Ini soal prioritas."
"Gaaaaayaa....!!! wkwkwkwk. Ahli peertanian, Rek," seru teman-temannya. "Prioritas, katanya...!!"
"Calon pebisnis, Bro. Harus gitu," sahut Salim, mencoba menceriakan perasaan. "Masak semua dipelajari? Kan harus jelas tarjet dan sasarannya."
Bu Tuti tampak tidak terima. Ia diam. Berpikir. "Praktek itu harus. Tetapi kalian bukan kuli. Kalian akan menjadi petani berilmu. Harus banyak pengetahuan; bahkan akan jadi konsultan pertanian," terangnya.
"Penyakitnya kan sudah ganti baru, Bu? Apa teori di buku masih berlaku?"
"Ya berlaku lah. Kamu kok mau menentang ilmuan."
"Kalau ilmu mereka itu berguna, kenapa hama penyakit tidak tuntas, Bu? Bukankah buku pertanian itu menumpuk di perpustakaan?" Teman-teman Salim hanya diam, membiarkan ia berdebat dengan Bu Tuti. "Bahkan penyuluh pertanian di daerah saya malah banyak tanya pada petani. Itu fakta."
"Kamu ini masih mahasiswa..."
"Maksudnya?!"
"Tugasmu memperbanyak bekal ilmu dulu..."
"Apa mungkin langsung mendadak jadi konsultan pertanian setelah lulus? Jika tak pernah tahu tanah."
Sepertinya kisah Rizki sangat mengganggu pikirannya. Tak pantas sarjana pertanian minta jual sawah. Tetapi jika ia tak sigap hadapi situasi, tak cekatan menghadapi keadaan, bisa jadi ia tergilas jaman dan gagal.
"Kalau jenis hama saja kamu tidak tahu, bagaimana bisa mengatasinya..." Respon Bu Tuti kurang nyambung. Kondisi kelas tidak kondusif buatnya. "Dan mahasiswa itu harus bisa belajar mandiri."
Salim diam. Marah. Ingin keluar. Kuliah tak gratis. Ia buang uang, buang waktu. Ia relakan aktivitas pribadi demi mendapatkan ilmu dari dosen; bukan tugas kuliah yang tak jelas tujuannya. Ia juga menduga-duga tugas yang banyak diberikan oleh Bu Tuti hanyalah cara beliau menutupi kekurangannya.
"Apa boleh ikut ujian saja, Bu?" tanya Salim. "Biar saya belajar mandiri saja."
"Maumu apa sih..?!!!"
Kali ini Bu Tuti benar-benar marah. Beliau tak kuasa menahan emosi. Matanya berkaca-kaca. Ia masukkan semua buku di meja dosen kedalam tasnya. Sudah, selesai kuliahnya. Beliau keluar.
"Kalau hanya begini, ngapain repot-repot ke kampus..?!" Teriak Salim. "Buang waktu..!!" Tak nampak lagi Salim yang kemarin. Seakan ia mewakili bapaknya yang hanya diam saja di sawah kemarin. Semua diam. Kaget. Terkejut. Tak ada yang menduga Salim seberani itu. Ia pendiam, santun, dan ramah. Wawan memegang bahu Salim; menenangkannya. Salim keluar. Pergi.
***
Bu Tuti langsung pulang. Ia liburkan kuliah berikutnya. Ia memang merupakan dosen yang selalu padat jam ngajarnya. Dia juga ngajar di kampus lain, juga di SMK. Memang, dengan kesibukan sedemikian padat, ia tak sempat menambah ilmu, apalagi mengamati perkembangan pertanian di kehidupan nyata. Bisanya hanya membaca buku, itu pun hanya saat mau ngajar saja.
Baginya, yang penting ia bisa memenuhi kebutuhan putra putrinya. Bisa memenuhi kebutuhan mereka. Bisa membayar biaya sekolah mereka. Mengurus anak sendirian tanpa suami memang tak mudah. Apalagi dengan skill yang terbatas. Kuliah S2-nya pun jadi terbengkalai karena kesibukannya. Padahal, tak layak seorang dosen hanya lulusan S 1.
Belum ada Komentar untuk "Dosenku, Maaf Ku Tak Paham"
Posting Komentar