Jangan Jadi Sarjana Kertas
Jumat, 27 Februari 2015
Tambah Komentar
______________
______________

Anak Desa Masuk Kampus
Ia cium tangan ayah ibu. Ramai sekali di luar. Begitulah orang-orang jika ada anak yang hendak berangkat merantau menuntut ilmu, mereka turut melepas kepergiannya. Katanya malaikat sedang melebarkan sayapnya karena Ardian sudah siap-siap berangkat menuntut ilmu. Harapan orang tua, ia jadi orang mulia, berilmu dan bermanfaat. Paling tidak ia mendapat kerjaan yang layak, bukan kerja kasar seperti pemuda kampung lainnya.Tak satupun dari keluarganya, bapak, ibu, pak lek, pak de, bulek dan pak lek, juga kakak-kakaknya yang merasakan pendidikan tingkat lanjut, mereka hanya lulusan SD. Ardian adalah satu-satunya generasi di keluarganya yang akan merasakan belajar di perguruan tinggi. Banyak yang berharap ialah yang akan jadi pemimpin di kampungya, termasuk memimpin acara-acara tradisi keagamaan.
"Ian, gima, udah siap?" tanya Ferdi lewat telepon.
"Siap."
Ia sengaja meminta teman-teman SMA nya untuk tidak datang ke rumahnya, "Ketemuan di jalan aja," katanya. Mereka naik motor semua. Sebenarnya, keluarga Ardian mau bawa mobil, ada banyak saudara dan tetangga yang mau ikut. Tetapi, Ardian tidak membolehkan. Menurutnya, itu terlalu lebbay, hanya malu-maluin di kontrakan.
Ardian berangkat. Semua melepas kepergiannya, ada yang meneteskan air mata turut merasakan naungan sayap malaikat yang memayungi sang pencari ilmu.
Baca juga: Sarjana Menganggur
***
Mahasiswa Entrepreneur
Sudah hampir separuh jalan Ardian menjadi mahasiswa. Ia banyak ikut organisasi dan menjadi pengurus di beberapa organisasi. Bahkan dia sudah biasa menjadi pembicara, bahkan motivator. Sudah tiga bulan ia tergabung di komunitas bisnis di kampusnya, bisnis jaringan alias MLM. Ia banyak mengikuti seminar motivasi dan sudah naik kelas menjadi motivator juga. Motivasinya, agar mahasiswa tidak hanya menjadi sarjana kertas yang mengandalkan ijazah mencari kerja, membawa ijazah untuk melamar di kantor-kantor untuk menjadi pegawai. Sarjana harus hidup mandiri, harus menjadi bos bagi dirinya sendiri. Begitu motivasinya.
"Nekad saja, sukses itu mudah, asal kamu mau action. Tidak punya modal, bisa pinjam, nekad saja. Temanku, anak teknik berani nipu orang tuanya, tapi demi kebaikan bersama. Ia bilang mau bayar uang praktek 1.500.000, sebulan kemudian ia kembalikan dengan jumlahh 10.000.000. Luar biasa kan."
"Iya, sih. Aku pikir-pikir dulu ya."
Rina memang tidak begitu tertarik dengan dunia bisnis. Ketertarikannya pada anak-anak sudah nampak sejak ia remaja. Ia senang dekat dengan anak-anak. Ia senang mempelajari psikologi anak. Karena itulah ia memilih jurusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Menurutnya, mahasiswa yang mencari alternatif di luar bidang yang ia tekuni adalah mahasiswa yang tidak yakin terhadap kemampuan dirinya, tidak punya prioritas, padahal untuk sukses itu perlu yakin dulu. Begitu kata para motivator MLM. Jika begitu, sudah benar Rina meyakini bahwa kesuksesan baginya adalah menjadi guru PAUD. Ia yakin itu. Jadi, tentu ia akan menolak ajakan untuk beralih pada bidang lainnya.
Ardian sering kali mengajaknya bergabung, tapi selalu dijawab dengan jawaban yang sama, "Kupikir dulu". Padahal, Ardian sudah bisa membuktikan, ia bisa menghasilkan uang banyak. "Sekarang kamu hasilkan itu, tapi apakah hidup hanya untuk mengumpulkan uang? Bukankah uang hanya alat pembayaran?" Nampaknya Rina juga agak kesal. Ardian paham itu. Rina menerka-nerka ada maksud lain selain ajakan berbisnis, dan baginya, Ardian tak istimewa. Menurutnya, hidup Ardian tak berprinsip, bergantung pada uang. "Semangat itu bukan karena akan mendapat banyak uang," katanya. "Apakah semua orang kamu ajak berbisnis? Menurutmu, tak perlu ada dokter? tak perlu ada guru? tak perlu ada politikus? tak perlu ada polisi? Begitu?!" Ardian diam tidak merespon. Ia memilih pergi meninggalkannya.
"Ditolak lagi, Bos?" tanya Rendy yang sejak tadi memperhatikan Ardian membujuk Rina.
"Biasa," jawabnya dengan wajah yang dipaksa-paksakan ceria. "Pergi dulu, Mas Bro."
"Yoi."
Baca juga: kumpulan cerpen pendidikan
"Eh, Arman. Gimana kabar? Lama tidak jumpa."
"Baik, baik. Gimana, udah skripsi?"
"Masih tinggal separuh. Nanti ajalah. Kamu?"
"Udah mau seminar. Tak usahain cepet, biar cepet kerja."
"Tidak tertarik bisnis?"
"Nantilah. Tunaikan kewajiban dari orang tua dulu. Orang tuaku sangat ingin aku jadi sarjana dan jadi guru."
"Memang ingin menjadi guru ya?"
"Iya, ingin berjuang di dunia pendidikan. Nanti akan bisnis juga, perjuangan juga butuh support dana, tapi yang tidak mengganggu aktivitas di pendidikan. Kerja dan bisnis hanya untuk dapat uang, tapi hidup harus bermakna."
bersambung...
***
Semester 7
"Ian...""Eh, Arman. Gimana kabar? Lama tidak jumpa."
"Baik, baik. Gimana, udah skripsi?"
"Masih tinggal separuh. Nanti ajalah. Kamu?"
"Udah mau seminar. Tak usahain cepet, biar cepet kerja."
"Tidak tertarik bisnis?"
"Nantilah. Tunaikan kewajiban dari orang tua dulu. Orang tuaku sangat ingin aku jadi sarjana dan jadi guru."
"Memang ingin menjadi guru ya?"
"Iya, ingin berjuang di dunia pendidikan. Nanti akan bisnis juga, perjuangan juga butuh support dana, tapi yang tidak mengganggu aktivitas di pendidikan. Kerja dan bisnis hanya untuk dapat uang, tapi hidup harus bermakna."
bersambung...
Belum ada Komentar untuk "Jangan Jadi Sarjana Kertas"
Posting Komentar