Dosenku Tak Lebih Pintar Dariku
Selasa, 24 Februari 2015
Tambah Komentar
______________
______________

Faiz mendengarkan dengan khusuk. Ceramahnya luar biasa: membuka hati yang tertutup, membuka jendela dunia yang tak nampak. Dosen yang satu ini memang terkenal pandai bicara. Beliau sering tampil menjadi pembicara di acara-acara kampus.
"Kalau bukan kita, kaum intelektual, siapa lagi yang memikirkan nasib mereka? Pemerintah? Mereka sibuk rebutan kursi, kerjaannya tengkar melulu, pencitraan melulu."
Baca juga: kumpulan cerpen pendidikan
Faiz tersenyum mendengarnya. Seakan ia berada di dunia lain. Pikirnya, pak dosen ini sangat luas wawasannya. Seumur-umur baru kali ini Faiz ketemu orang secerdas ini. Seperti malaikat pikirnya. Para kyai dan ustadz di kampung, yang ia tahu, tidak ada yang secerdas beliau. Beliau telah membukakan pintu dunia baru bagi Faiz dan ia telah memasukinya.
Tetapi ada tanya di benaknya. Pak dosen sibuk mengajar mahasiswa. Jadwalnyay padat. Beliau juga harus ngoreksi tugas-tugas mahasiswanya. Bagaimana beliau bisa meluangkan waktu untuk mereka orang-orang yang butuh uluran tangan kaum intelek? Membaca makalah yang dibuat oleh semua mahasiswanya butuh waktu yang lama, apalagi mencermati kekurangan dan kesalahannya. Atau makalah-makalah itu tidak dibaca oleh beliau? Masak langsung dibuang?
Faiz bergabung dengan salah satu organisasi pergerakan islam di kampusnya. Yang ia tahu, mereka sering mengadakan acara bakti sosial. Mereka sering terlibat dalam masalah-masalah sosial seperti membagikan daging kurban, pengobatan gratis, mengatasi korban gempa, hingga demo menolak pembukaan usaha tambang yang dinilai merugikan rakyat.
Faiz duduk di paling depan. "Kita yang muda tak boleh lemah, tak boleh malas...!!" Pekik kakak senior di hadapan para anggota baru yang sedang mengikuti diklat. "Tenaga dan pikiran kita dibutuhkan. Kalau perlu, nyawa pun kita relakan.,,!!" Faiz agak kaget. Seperti mau perang saja, pikirnya. "Kitalah agent of change, agen perubahan. Kitalah yang akan merubah keadaan negeri ini."
Faiz sudah resmi menjadi anggota baru, sudah dinyatakan lulus perekrutan meskipun sempat beberapa ketiduran saat menjalankan sholat malam karena tidak terbiasa. Satu yang terasa berat baginya: puasa. Tetapi ia harus membiasakan karena begitulah para senior mencontohkan.
Hari ini pertama kalinya ia ikut kegiatan sosial. Bakti sosial tersebut berupa pembagian pakaian muslimah dan sarung, serta uang. Sasaran bakti sosial tersebut adalah warga desa Tegal dan desa Silowangun. Faiz tahu dua desa tersebut. Tidak jauh beda dengan desanya.
"Kita bukan tidak toleran," kata kakak senior yang menjadi korlap. "Tetapi kegiatan kristenisasi di dua desa berpenduduk muslim tersebut dapat menyebabkan kerusuhan. Di sana banyak kyai, banyak ustadz. Jika kristenisasi dibiarkan, besar kemungkinan para pemuka agama, tokoh agama seperti kyai dan ustadz akan marah. Sehingga kerusuhan pun bisa terjadi."
Menurut Faiz itu benar. Seharusnya penyebaran agama itu kepada warga yang belum beragama atau kepada warga yang menganut agama atau kepercayaan yang mrugikan rakyat. Tetapi apa ada ya? Menurut cerita senior, sudah ada lebih dari 20 orang yang pindah agama di dua desa tersebut. 20 orang tersebut dikucilkan oleh warga yang lain, bahkan sempat dilempar batu hingga pecah kepalanya. Jika jumlah mereka semain banyak, bisa terjadi perang saudara.
"Maaf, Kak..." Faiz mencoba bertanya. "Apa kita juga akan menemui pimpinan umat kristiani?"
"Ow, tidak. Menyebarkan agama itu hak mereka. Itu kewajiban mereka. Ajaran agama mereka mewajibkan itu. Yang hendak kita lakukan adalah memberi pemahaman pada warga bahwa kita sebagai umat islam harus melindungi iman kita dari godaan-godaan yang merusak. Kita pahamkan pada mereka, bahwa iman tak boleh ditukar dengan harta. Kita tunjukkan pada mereka bahwa saudaranya yang seiman peduli pada mereka. Untuk itu kita harus sering membantu mereka."
Pikir Faiz, sebenarnya kita umat islam juga wajib menyebarkan ajaran agama islam. Kepada siapa kalau bukan kepada umat yang beragama lain? Umat kristiani juga kan? Dia mau tertawa. Rebutan umat, pikirnya.
Semakin lama di organisasi, semakin banyak kegiatan sosial yang diikuti oleh Faiz. Pengalaman itu telah merubah pandangannya. Bahkan ia merasa kegiatan belajar di kampus tak lebih berarti dibanding kegiatan sosial. Dan ia ingat ceramah dosen luar biasa yang kaya kata-kata indah. Faiz mempertanyakan beliau karena tidak pernah ikut dalam kegiatan bakti sosial. Dosen yang lain memang tidak ada yang ikut. Jangan-jangan beliau hanya pintar bicara, pikirnya.
Bersambung... Mahasiswa: Peran Sosial, Cinta dan Cita-cita
Belum ada Komentar untuk "Dosenku Tak Lebih Pintar Dariku"
Posting Komentar