Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

Bukan Cinta Karena Tuhan

______________
______________

Dosen tak datang. Padahal sudah seperti angin berlari dari kontrakan karena motor mendadak kempes. Tapi ada untungnya juga karena belum mengerjakan tugas. Bagi mahasiswa yang sibuk, ini bencana. Bagi saya, kadang iya, kadang bukan masalah. Coba saja semua mahasiswa kompak tidak datang, dan dosennya sudah buru-buru datang untuk mengajar? Paling beliau bersyukur, tidak usah ngajar, gaji tetap dapat. Dasar nasib mahasiswa.

Cerpen cinta, cerita mahasiswa, cerpen popular
Baca: Kumpulan Cerita Mahasiswa

Sudah lah, aku ke masjid saja. Siapa tahu ada siraman cahaya. Masjid kampus memang menyenangkan, suasananya indah dan romantis. Asyik juga menyaksikan gadis-gadis berkerudung di serambi kanan. Mereka para aktivis dakwah kampus. Mereka ditakuti oleh pria nakal. Tapi, mereka juga agak manja, bahkan centil juga. Ah, namanya juga manusia. Sering kali juga berpapasan dengan yang berwajah judes, tapi cantik.

Ah, duduk di sini saja. Online sambil bersandar. Pas sekali bisa sambil lihatin bidadari yang lagi berkumpul. Mereka kelihatan serius sekali, sesekali tertawa dengan gerakan gestur tubuh mengekspresikan gembiraan yang sangat atau menertawakan sesuatu yang dianggap tidak biasa bagi mereka. Ah, aku jadi penasaran, tapi mereka selalu menjauh dari kaum adam. "Haram," katanya.

Mereka punya ciri khas. Bangga sekali mereka dengan ke-khasannya. Wah, apa aku juga harus mengikuti ke-khasan mereka jika kupilih salah satu dari mereka jadi pendamping? Ah, tidak apa-apa, tampilan kan hanya tampilan. Tak perlu menilai satu lebih baik dari yang lain. Menilai diri lebih baik itu sombong, katanya. Ya, kata ustadz waktu kajian tempo hari.

***

"Mau kemana, Rin?"

"Ngajar."

"Hari minggu, tidak libur?"

"Tidak. Mau ikut?"

"Memangnya boleh?"

"Ngajari adik-adik di panti."

"Ngajari apa?"

"Mereka itu kan juga banyak tugas dari sekolah, teman-temannya minta bantuan sama guru les-nya, mereka kan tidak ikut les."

"Terus, kamu yang bantuin? Dibayar?"

Rina tertawa.

"Kok tertawa?"

"Iya, dibayar. Rp 100.000 tiap pertemuan."

"Ngaco, kamu!"

"Mau ikut, tidak?"

"Ya udah, ikut. Dari pada tidak ada kerjaan."

Mereka berangkat ke panti. Rina memang begitu akrab denan Doni sejak mereka kelas dua SMA. Tiap hari mereka berdua, tapi hanya berteman saja, katanya. Rina memang perempuan sibuk, tidak begitu peduli tentang urusan cinta. Rina juga aktif di kegiatan-kegiatan di kampung dekat kampus. Mereka memang tinggal di dekat perkampungan, tidak di perumahan. Hampir semua penduduk kampung kenal Rina, terutama anak-anak mereka karena Rina suka anak-anak.

"Mas Doni," seorang laki-laki memanggil Doni yang lagi mengajari anak-anak bersama Rina. Doni agak canggung. Rina segera mengenalkan kalau beliau adalah putra pemilik yayasan, namanya Ustadz Salman. "Bisa bantu saya ambilkan mangga?"

"Oh, bisa ustadz."

Mereka menuju kebun buah di belakang asrama berjalan beriringan. Sambil berjalan Ustad Salman mengajak Doni ngobrol, "Pacarnya Mbak Rina, Mas?"

"Oh, bukan, Ustadz. Kami cuma temenan aja sejak SMA."

"Oh, kirain pacarnya. Mas Doni juga aktif seperti mbak Rina?"

"Tidak, Ustadz," agak malu jawabnya.

"Kami merasa terbantu sekali oleh mbak Rina. Dia baik sama anak-anak. Saya kira mas Doni pacarnya, beruntung sekali kalau dapat istri seperti dia. Dia calon ibu yang baik. Semua orang sekampung sudah tahu itu."

Doni hanya tersenyum menanggapi. Baginya, Rina tak istimewa untuk dijadikan pasangan hidup. Berteman lebih baik.

***

"Assalamualikum," seseorang memberi salam dari belakang, mengagetkannya. Doni menoleh. "Afwan, sedang apa di sini?" tanyanya.

Meski lelaki itu bertanya dengan senyum, melihat celana yang agak ke atas dan jenggot yang panjang dengan warna hitam di dahi, serta ucapan maaf menggunakn kata 'Afwan', Doni bisa menebak. Pertanyaan itu tak butuh jawaban. Sejenak Doni diam, lalu menjawab dengan tegas, "Mengamati seorang wanita di sana, wanita yang akan saya jadikan istri."

"Subhanallah, Alhadulillah." Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Firman," ia memperkenalkan diri dan mengajak duduk di lantai lagi di serambi masjid. "Saya bisa memediasi," lanjutnya.

Doni tertawa dalam hati. Bukankah aku bisa bicara sendiri? batinnya. "Terima kasih, Mas."

Mahasiswi yang dimaksud berjalan mendekati arah mereka bersama temannya. Kebetulan sekali. Doni menatapnya. Sepertinya sang gadis memahami dan menunduk. Langsung saja Doni menghadangnya dan tentu saja mengagetkan mereka. "Assalamualaikum. Saya Doni. Ada perlu. Kalau tidak bisa sekarang, mohon beri waktu di waktu yang lain." Singkat sekali dia sampaikan.

Firman mendekati mereka. "Nanti sore kalau Ukhti Anida ada waktu, bisa di sekretariat," katanya. 'Ukhti' pangilan untuk anggota perempuan organisasi mereka yang berarti saudara perempuan.

"Iya, bisa. Jam enpat," jawab Anida.

***

Hari ini benar-benar lain. Dunia berubah. Ah, seakan ulat-ulat mendadak jadi kupu-kupu tanpa perlu jadi kepompong. Doni seakan sudah benr-benar masuk ke dunia lain, seakan sudah tak lagi jadi mahasiswa. "Harus sukses!" Tarjetnya bukan lagi harus segera lulus. Semester empat baru berjalan separuh, usai semester empat, itu berarti masih separuh jalan menanti kelulusan.

Doni mulai melirik ajakan-ajakan temannya untuk berbisnis, bahkan bisnis MLM pun ia mau. Orang tidak kuliah pun bisa sukses, bisa kaya. Bahkan banyak yang sukses setelah DO (Drop Out) dari kampus. Menikah itu membuka pintu rizki. Menjadi pengusaha itu berarti memiliki 9 pintu rizki. Luar biasa. Padahal, sebelumnya ia sangat benci ajakan-ajakan bisnis dan motivasi-motivasi yang ia anggap tak masuk akal. Cinta memang seringkali membuat orang hilang akal.

Berjalan dengan badan tegak, langkah tegas dengan senyum yang selalu ditebar, itulah Doni saat ini. Dia tidak lagi di serambi masjid kampus, tapi di dalam, bahkan di barisan terdepan. "Siap berjuang untuk agama!" tegas ikrarnya. Hidup Doni lebih teratur sekarang, lebih disiplin, dan lebih ceria. Selalu tersenyum dan ramah pada semua orang. Auranya positif.

"Wah, sudah jadi ustadz ya sekarang. Bangunnya sebelum pagi."

Doni yang lagi membaca quran di teras kontrakannya kaget. "Eh, Rina. Dari mana, Rin?"

"Dari kampus, ngerjain tugas."

"Salahnya jadi mahasiswa, makan tu tugas."

"Tidak apa-apa, siapa tahu kecipratan barokahnya dosen, bisa kaya mendadak." Ia menghampiri Doni, "kamu tidak ada kuliah?"

"Ada sih, tapi kuliah tidak terlalu penting. Dosennya juga bingung, kayak tidak paham materinya."

"Eh, nih, tape. Temanku bawa tadi."

"Tape apaan?"

"Makanan khas Bondowoso. Makan aja. Manis tu."

***
Doni bersama teman-temannya membuka usaha kuliner di belakang kampus. Targetnya harus segera hidup mandiri dan menikah dengan Anida. Tidak tanggung-tanggung motor pemberian orang tuanya ia jual buat modal. Laptopnya ia gadaikan. Katanya, banyak online hanya memperbanyak dosa. Indonesia mmenurutnya terlalu longgar membiarkan pornografi di internet.

Satu minggu berjalan sudah sangat terlihat hasilnya. Doni dan keempat temannya sudah meraup untuk cukup banyak. Luar biasa. "Kalau begini terus, enam bulan saja sudah bisa beli mobil," kata Doni. Teman-temannya menyahuti dengan semangat. Yakin bersama pasti bisa.

Dua bulan berjalan, Doni krediti motor. Betapa bangganya dia meski hanya kredit. Dia ingin segera memberi tahu orang tuanya, ingin segera menentukan hari pernikahan. Ia bangga sekali bisa mendapatkan wanita yang aktif di organisasi dakwah. Artinya, ia akan tanpak berbeda di kampungnya nanti. Tentu akan lebih dihormat.

***

"Saya mencintainya karena Allah, Pak. Dia aktivis dakwah."

"Cinta karena Allah? Maksudnya?"

"Ya, cinta bukan karena nafsu, tapi untuk ibadah."

Ayahnya tersenyum, "Ibadah harus dengan wanita cantik, begitu?"

Doni terdiam.

"Kamu boleh memilih sendiri calon pasangan hidupmu, tapi harus berdasarkan akal sehatmu. Kamu punya ilmu. Apakah Tuhan menyuruhmu memilih dia?"

"Tapi dia wanita sholehah yang taat ibadah."

"Ayah paham, Nak. Apa hatimu dulu tergetar karena kualitas agamanya atau karena kecantikannya?"

Doni terdiam lagi.

"Apa jika ada wanita dengan kualitas agama sama dengan dia, tapi wajah tidak cantik, kamu akan memilihnya?"

Doni menunduk.

"Itu yang kau bilang cinta karena Allah?" Doni menatapnya. "Lebih baik jujur, Nak. Kau menyukai kecantikannya."

Hening.

"Atau kau merasa bangga mendapatkannya? Hati-hati, kamu laki-laki, kamu yang akan jadi pemimpin nanti. Berhasil mendapatkan seorang wanita bukanlah kebanggaan seorang pemimpin. Jangan mengagungkan wanita. Wanita hanyalah teman dalam menjalani hidup. Allah mengangkat derajat sesorang bukan karena kualitas pasangan yang didapatkan, tapi karena ilmu dan takwanya."

Ayah Doni masih menganut tradisi leluhur. Keluarga adalah organisasi yang utama dan memang harus diutamakan. Ia membantah pendapat yang menjelekkan pemikiran "Makan tidak-tidak makan, yang penting kumpul." Menurutnya, jika kita kumpul dengan keluarga, maka kita akan menjadi kuat. Menurutnya, tak ada organisasi yang lebih kuat dibanding ikatan keluarga. "Lihat pemerintah kita, bagaimana kelakuan mereka," katanya dulu ketika Doni masih SMA. "Mandiri itu harus, tapi jangan memisahkan diri dari organisasi bernama keluarga yang diciptakan oleh Tuhan."

Jika ingat nasehat itu, Doni merasa bersalah telah bertindak tanpa musyawarah dengan keluarga. Di kampungnya, hampir semua penduduk di sana adalah saudaranya. Masih tercatat lengkap silsilah keluarga hingga kakek dan nenek ke delapan. Mereka saling membantu. "Butuh modal untuk usaha, tidak perlu pinjam ke bank: riba," katanya.

"Usahamu baru berjalan dua bulan. Kau belum belajar bagaimana mengatur sebuah usaha, kau belum belajar mengatur orang: rekan bisnismu. Apa mereka semua akan terus menjaga kebersamaan? Kau bukan pemimpin dalam bisnismu. Artinya kau belum mandiri. Sedikit saja masalah menimpa kebersamaan kalian, hancurlah usahamu. Itu bukan pebisnis sejati."

Doni diam saja.

"Jadi, kamu mau cuti kulliah demi usahamu? dan segera menikah dengan wanita aktivis yang kau bangga-banggakan di depan wanita-wanita kampung?!"

"Iya, ayah."

"Apakah kau sudah mempertimbangkan secara matang? Apakah kau sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk usahamu?"

"InsyaAllah, jika niatnya untuk ibadah, Allah tidak akan membiarkan."

Ayah Doni tertawa mendengarnya. "Ayah bangga padamu. Kau sudah banyak berubah. Jadi, kamu tidak perlu belajar tentang managemen usaha, tentang managemen resiko, dan semacamnya? Cukup dengan meyakini Allah selalu menolongmu, begitu?"

Doni diam saja. Ia paham, ayahnya sedang marah.

"Satu hal yang perlu ayah ingatkan, jangan sekali-kali karena kau sudah melakukan semua yang kau pahami sebagai tuntunan agama, lalu kau mudah sekali mengklaim orang lain atau golongan lain keliru atau sesat, atau lebih buruk darimu dan golonganmu."

"Iya, ayah."

"Manusia masuk surga bukan karena amalnya, tapi karena rahmat Allah. Tugas orang berilmu bukan menjelekkan orang lain atau golongan lain, bukan menyalahkan orang lain, melainkan mengajarkan kebaikan dengan bijaksana."

Ibu Doni mendengarkan dari dapur.

"Ayahh dulu memaksamu untuk belajar di pesantren waktu kamu masih SMP, tapi kamu menolak. Sekarang kamu aktif di organisasi keislaman dengan ilmu agama yang terbatas. Itu boleh-boleh saja, tapi jangan sekali-kali kamu menjelekkan orang-orang yang bertahun-tahun belajar agama, hanyay karena mereka tidak bertindak sepertimu. Berbuat tanpa ilmu itu sesat. Ayah belum bisa merestui hubungan kalian sebelum kau meluruskan niatmu untuk menikah."

***

"Pak ustadz kok melamun!"

Doni kaget. "Eh, Rina."

"Habis pulang, mana oleh-olehnya?"

Done tersenyum. "Sini tak ceritain oleh-oleh."

"Dasar. Oleh-oleh, kok cerita."

"Rin, sini. Aku ada perlu."

"Kok hilang lagi senyumnya? Tidak senyum-senyum lagi?" Doni berusaha tersenyum. "Bagaimana, kapan nikahannya?"

"Ayah lebih setuju jika aku nikahin kamu."

"Apa?!"

"Tidak usah kaget. Kamu tahu sendiri ayahku."

"Takut dijelekkan budayanya ya? Anak-anak aktivis dakwah kan kurang bisa menjaga statement." Doni menatap Rina. "Aku salah ya?"

"Tidak."

"Mengajarkan kebenaran atau kebaikan itu memang harus sih, tapi caranya yang perlu diperhatikan. Psikologi lawan bicara atau pendengarnya kan juga perlu diperhatikan. Menurutku, itu sih yang perlu diperbaiki. Masih lebih banyak baiknya, kan."

"Iya. Aku terlalu terburu-buru berstatement, mengatakan gadis-gadis kampung tidak menjalankan ajaran agama."

"Dan ayahmu marah?"

"Iya."

"Niat baik, karena caranya keliru, begitu hasilnya."

Doni diam.

"Kok diam?"

"Meskipun denan nada marah, tapi ayah juga tidak salah."

"Kenapa?"

"Dia menasehatiku agar jangan mengagungkan wanita, wanita hanya teman dalam menjalani kehidupan. Kalau kupikir-pikir, memang benar sih. Aku merasa bangga bisa mendapatkan dia. Dan, ayah memintaku meluruskan niat dulu, baru beliau akan merestui."

"Bukannya kamu cinta karena Allah?"

"Ah, ayah ketawa dengar aku bilang begitu."

"Hahahahahaah..."

"Ini lagi... Ngapain ketawa juga?!"

"Lucu kamu."

Belum ada Komentar untuk "Bukan Cinta Karena Tuhan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel