Penggagas Kurikulum 2013 Sungguh Luar Biasa
Rabu, 16 Juli 2014
2 Komentar
______________
______________
Kurikulum baru 2013 diharapkan oleh penggagasnya mampu membawa pendidikan di negeri ini menjadi lebih baik. Namun, berbagai tanggapan bermunculan dari berbagai kalangan. Ada yang bilang hanya alat bisnis, hanya untuk uang, hanya buang waktu, buang tenaga, dan buang pikiran, ada yang bilang hanya buang-buang uang. Tapi ada juga yang memuji.
Menarik membaca tulisan Pak Mochamad Syafei di kompasiana. Berikut saya kutip paragraph yang cukup menarik.
Pelatihan guru dilaksanakan dalam kondisi yang sangat mepet. Baru akhir tahun pelajaran, pelatihan implementasi kurikulum baru dilaksanakan. Selama 5 hari. Apa yang didapat? (1) ceramah tentang alasan atau rasional kehadiran bayi kurikulum dengan mengumbar begitu banyak kekurangan kurikulum lama dan membaik-baikkan kurikulum baru dengan perbedaan yang bagai langit dengan bumi, (2) ceramah tentang teknis kurikulum baru harus dilaksanakan (tentang silabus yang belum jelas milik siapa dan sudah sah apa belum, tentang RPP yang juga belum bisa gambaran pelaksanaan di lapangan) (3) praktik mengajar apa adanya dan tak ada perbedaan sama sekali dengan yang lama (hanya ada istilah-istilah baru yang dipaksakan). (edukasi.kompasiana.com/2014/07/15/kemendikbud-nafsu-gede-stamina-memble-664365.html)
Sedikit membuat saya mau tertawa ketika membaca kalimat “(1) ceramah tentang alasan atau rasional kehadiran bayi kurikulum dengan mengumbar begitu banyak kekurangan kurikulum lama dan membaik-baikkan kurikulum baru dengan perbedaan yang bagai langit dengan bumi”. Wkwkwkwkwkwk…
Jika ada bintang pemain bola yang sudah mencetak goal 1000 kali, lalu sekali dia gagal, maka kebanyakan orang akan membicarakan kegagalan itu, bahkan pujiannya akan dialihkan pada pemain baru yang baru mencetak 10 goal. Begitulah manusia, manusia secara umum, termasuk yang menjelek-jelekkan kurikulum lama dan membangga-banggaka kurikulum baru buatannya. Mungkin saya keliru menilai.
Saya lulusan SMK (STM). Sekolah ini saya pilih atas dorongan ketakutan tidak bisa bekerja. Sebab, motivasi sekolah yang saya dapatkan sejak kelas 3 SD begitu. Sekolahlah agar mendapat kerjaan yang enak. Padahal saya sendiri menyukai sastra, suka baca dan menulis, suka binatang. Kacau sudah jadinya.
Promosi SMK waktuu itu adalah mencetak lulusan yang siap pakai. Masih ingat waktu guru olah raga melatih kami ala militer: lari, push up, sit up dengan tarjet tertentu, katanya agar mampu kerja mulai pagi sampai sore. Jalan pun harus gesip, sigap dan cepat. Sehingga, saya pun menjadi orang yang cepat jalannya.
Berita perubahan kurikulum saya dengar waktu kelas 2 SMK, tapi yang berubah hanya kelas 1 waktu itu. Jadi saya tidak kebagian. Katanya kurikulumnya berubah menjadi KBK. Saya pun bertanya-tanya pada adik kelas. “Hebat ya kamu, kurikulummu kan berbasis kompetensi, jadi kamu pasti lebih hebat dari saya?” Tanya saya. Yang saya Tanya malah menjawab dengan senyuman, “Semogalah,” katanya.
Tahun 2008 masuk kuliah setelah keluyuran tanpa pendidikan selama 3 ahun. Saya memilih FKIP Bahasa Inggris. Wah, ternyata sudah berubah menjadi KTSP. Apalagi nih? Tahun 2012 saya mengajar di SMP dengan kurikulum KTSP yang saya tidak begitu paham sepak terjangnya. Saat itulah saya mendengar kabar tanda kelahiran kurikulum 2013. Rekan-rekan guru pun mulai desas-desus tentang ini. “Belajar lagi, pelatihan lagi,” kata sebagian mereka.
Sebagai guru yang masih tergolong junior, saya kok merasa ketinggalan banget. Belum tuntas belajar kurikulum sebelumnya, lah, kok sudah diganti. Sempat putus asa, apa sebaiknya menekuni pendidikan nonformal, sebab setahu saya anak-anak yang intar di sekolah adalah hasil belajar tambahannya di lembaga kursus. Berperan di lembaga pendidikan ini sepertinya lebih baik.
Lembaga pendidikan nonformal juga mampuu mengurangi pengangguran yang cukup signifikan. Berikuut saya mengutip dari situs sebelah.
Direktur Pembinaan Kursus dan Pelatihan, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal (PAUDNI) Wartanto, berpendapat bahwa lembaga kursus dan pelatihan turut andil dalam menurunkan tingkat pengangguran di Indonesia. Dia lalu menunjuk data 2010 yang menyebutkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia masih berkisar di angka 8,14 juta jiwa. Jumlah tersebut turun di akhir 2011 menjadi hanya sekitar 7,7 juta jiwa.
Dari total peserta yang dididik lembaga kursus, sekitar 78 persen dapat bekerja dan sekitar 9 persen merintis wirausaha. “Ini luar biasa. Ini gambaran yang saya katakan dapat mengurangi pengangguran. Kursus ini sangat penting untuk menunjang (penurunan tingkat pengangguran) itu,” ujar Wartanto ketika mendampingi Direktur Jenderal PAUDNI, Lydia Freyani Hawadi dalam jumpa pers, Jumat (17/02) di Kantor Kemdikbud, Jakarta. (home.hipki-kotatasik.net/lembaga-kursus-ikut-andil-atasi-pengangguran/)
Program wajib belajar 9 tahun sepertinya kurang tepat jika kurikulum berubah kurang dari 9 tahun. Lihat saja KBK tahun 2004, tahun 2006 sudah berubah menjadi KTSP, lalu tahun 2013 muncul yang baru lagi. Indonesia memang luar biasa. Saya berharap ada aktifis pendidikan yang mempunyai lembaga yang tidak mengikuti orang atau lembaga bingung. Katanya Pesantren Gontor tidak mengikuti program pemerintah, jika benar, semoga segera lahir yang lainnya, agar pendidikan di negeri ini tidak mencetak orang bingung.
tulisan yang mencerahkan
BalasHapussaya juga bingung tulisan ini mengarah pada apa.
BalasHapus