Khawatirkan Pemurtatan (Apakah) Dengan Mahalnya Pendidikan Islam (?)
Kamis, 24 Juli 2014
Tambah Komentar
______________
______________
Presiden terpilih Joko Widodo dikhawatirkan akan kafirkan Indonesia. Beberapa waktu lalu seorang ustadz bahkan menulis kekhawatirannya ini di akun twitternya. Kekhawatiran ini muncul berdasarkan rekam jejak Jokowi dan beberapa faktor lain. Bahkan ada yang khawatir akan terjadi perang jika beliau terpilih menjadi presiden.
berikut link nya voa-islam.com/read/opini/2014/03/17/29532/bachtiar-nasir-selangkah-lagi-jokowi-membuat-indonesia-kafir/;#sthash.f59evvt3.dpbs
Kekhawatiran tidak menyelesaikan masalah. Fakta tentang Islam yang saya tahu di sekitar saya memang tidak keliru jika dikatakan mengkhawatirkan kondisinya. Tetapi juga tidak tepat, atau sangat tidak tepat jika orang yang paham agama mengatakan mereka islam KTP, mereka nakal, mereka pensiun dari keislaman, mereka suka berbuat syirik, mereka hobi bid'ah, dll. JANGAN katakan itu jika belum berusaha membantu memahamkan.
Meskipun negeri ini merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar, tapi faktanya tidak mudah untuk belajar islam dengan baik. Hanya muslim yang beruang yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah islam favorit dengan sistem pendidikan yang bagus. ILMU AGAMA TIDAK SEPERTI KERIKIL DI JALANAN YANG SEMUA ORANG BISA MEMUNGUTNYA. Bahkan ilmu bahasa asing lebih mudah diakses secara gratis. Demikian pengalaman saya di daerah saya.
Banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan islam yang bagus. Meskipun mau berusaha sebisanya, tentu mereka harus memilih: memilih pendidikan non-agama karena peluang kerja lebih banyak, atau pendidikan agama dengan peluang kerja yang sempit dengan biaya yang sama-sama tidak sedikit. Tahun lalu saudara saya harus kuliah lagi di kampus non-agama karena guru agama sudah kelebihan.
Saya ilustrasikan keadaannya dalam dialog berikut:
Rakyat: Kami tidak punya uang.
Ustadz: Itu ujian iman. Berusahalah, cari ilmu meskipun biaya mahal
Rakyat: Nanti kerjanya apa?
Ustadz: Orang islam harus yakin. Tidak perlu khawatir.
Rakyat: Tak pikir dulu.
Ustadz: Jangan banyak pikir, Allah pasti menolong.
Rakyat: Tapi makan saja masih kurang-kurang, Ustadz.
Ustadz: Itu ujian.
Rakyat: Gimana kalau digratiskan saja, ustadz?
Ustadz: Terus ustadz-nya makan apa? Parkir sepeda saja bayar, masak titip anak gratis?
Rakyat: Sebenarnya ingin punya anak yang masih kecil pun sudah pintar baca Quran, tapi uangnya.
Nyamuk: Islam itu untuk orang kaya.
Biaya pendidikan yang mahal membuat orang miskin tidak bisa belajar agama dengan baik. Kalau dulu mungkin dengan mengabdi pada kyai sambil ikut mengaji, seperti Allahu yarham kyai saya dulu. Beliau adalah pembantu kyai.
Tetapi jika digratiskan, lembaga butuh biaya operasional. Ustadz profesional juga tidak murah. Ustadz juga tidak gratis kuliahnya.
Begitulah kondisi islam yang saya tahu di daerah saya. Sangat tersinggung dan sangat marah sebenarnya jika ada orang mengatasnamakan agama suci mengatakan kami islamnya separuh-separuh, bahkan dikatakan sudah kafir. Mentang-mentang kaya dan mampu belajar agama di lembaga favorit. Tetapi, memberi maaf itu lebih baik.
Kembali pada soal presiden negeri ini. Sebenarnya, keadaan generasi islam di desa atau bahkan di pinggiran kota pun bisa jadi lebih mengkhawatirkan dari presiden. Sewaktu saya bekerja di tambak, ada teman yang bercerita tentang pengalamannya ketika berada di Bali. "Orang Hidu lebih baik dari pada orang islam ya," katanya. "Baik-baik orangnya." dsb.
Masalah yang dihadapi umat tidak akan terselesaikan hanya dengan kekhawatiran, apalagi dengen menganggap saudara seiman pensiun dari agamanya. Ini menjadi tanggung jawab bersama untuk memperbaiki, bukan tanggung jawab saling menyalahkan.
berikut link nya voa-islam.com/read/opini/2014/03/17/29532/bachtiar-nasir-selangkah-lagi-jokowi-membuat-indonesia-kafir/;#sthash.f59evvt3.dpbs
Kekhawatiran tidak menyelesaikan masalah. Fakta tentang Islam yang saya tahu di sekitar saya memang tidak keliru jika dikatakan mengkhawatirkan kondisinya. Tetapi juga tidak tepat, atau sangat tidak tepat jika orang yang paham agama mengatakan mereka islam KTP, mereka nakal, mereka pensiun dari keislaman, mereka suka berbuat syirik, mereka hobi bid'ah, dll. JANGAN katakan itu jika belum berusaha membantu memahamkan.
Meskipun negeri ini merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar, tapi faktanya tidak mudah untuk belajar islam dengan baik. Hanya muslim yang beruang yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah islam favorit dengan sistem pendidikan yang bagus. ILMU AGAMA TIDAK SEPERTI KERIKIL DI JALANAN YANG SEMUA ORANG BISA MEMUNGUTNYA. Bahkan ilmu bahasa asing lebih mudah diakses secara gratis. Demikian pengalaman saya di daerah saya.
Banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan islam yang bagus. Meskipun mau berusaha sebisanya, tentu mereka harus memilih: memilih pendidikan non-agama karena peluang kerja lebih banyak, atau pendidikan agama dengan peluang kerja yang sempit dengan biaya yang sama-sama tidak sedikit. Tahun lalu saudara saya harus kuliah lagi di kampus non-agama karena guru agama sudah kelebihan.
Saya ilustrasikan keadaannya dalam dialog berikut:
Rakyat: Kami tidak punya uang.
Ustadz: Itu ujian iman. Berusahalah, cari ilmu meskipun biaya mahal
Rakyat: Nanti kerjanya apa?
Ustadz: Orang islam harus yakin. Tidak perlu khawatir.
Rakyat: Tak pikir dulu.
Ustadz: Jangan banyak pikir, Allah pasti menolong.
Rakyat: Tapi makan saja masih kurang-kurang, Ustadz.
Ustadz: Itu ujian.
Rakyat: Gimana kalau digratiskan saja, ustadz?
Ustadz: Terus ustadz-nya makan apa? Parkir sepeda saja bayar, masak titip anak gratis?
Rakyat: Sebenarnya ingin punya anak yang masih kecil pun sudah pintar baca Quran, tapi uangnya.
Nyamuk: Islam itu untuk orang kaya.
Biaya pendidikan yang mahal membuat orang miskin tidak bisa belajar agama dengan baik. Kalau dulu mungkin dengan mengabdi pada kyai sambil ikut mengaji, seperti Allahu yarham kyai saya dulu. Beliau adalah pembantu kyai.
Tetapi jika digratiskan, lembaga butuh biaya operasional. Ustadz profesional juga tidak murah. Ustadz juga tidak gratis kuliahnya.
Begitulah kondisi islam yang saya tahu di daerah saya. Sangat tersinggung dan sangat marah sebenarnya jika ada orang mengatasnamakan agama suci mengatakan kami islamnya separuh-separuh, bahkan dikatakan sudah kafir. Mentang-mentang kaya dan mampu belajar agama di lembaga favorit. Tetapi, memberi maaf itu lebih baik.
Kembali pada soal presiden negeri ini. Sebenarnya, keadaan generasi islam di desa atau bahkan di pinggiran kota pun bisa jadi lebih mengkhawatirkan dari presiden. Sewaktu saya bekerja di tambak, ada teman yang bercerita tentang pengalamannya ketika berada di Bali. "Orang Hidu lebih baik dari pada orang islam ya," katanya. "Baik-baik orangnya." dsb.
Masalah yang dihadapi umat tidak akan terselesaikan hanya dengan kekhawatiran, apalagi dengen menganggap saudara seiman pensiun dari agamanya. Ini menjadi tanggung jawab bersama untuk memperbaiki, bukan tanggung jawab saling menyalahkan.
Belum ada Komentar untuk "Khawatirkan Pemurtatan (Apakah) Dengan Mahalnya Pendidikan Islam (?)"
Posting Komentar