Tinggalkan Saja Indonesia, Mahasiswa Bersuara
Jumat, 26 Juli 2013
Tambah Komentar
______________
______________

"Kuliah cuma gini aja," kata Fian.
"Dijalani saja. Ini sudah yang terbaik."
"Apanya yang terbaik, mana bisa maju kalau begini terus?"
Fian hobi sekali mengkritik. Sejak diterima sebagai mahasiswa dia banyak berkomentar. Dia jeli sekali melihat kekurangan-kekurangan kampusnya, juga dosen-dosennya. Karakternya memang beda dengan Dani. Dani malah tidak suka sekali dengan para kritikus. Menurutnya, kritikan itu tidak ada gunanya. Tetapi, namanya teman kost, ya diterima aja curhatan Fian.
"Sebenarnya tergantung kitanya aja sih."
Arman cuwek aja. Ia memang lebih dekat dengan laptopnya. Tetapi, ia menyimak pembicaraan kedua temannya. Namun, ia tidak pernah menanggapi. Ia sibuk dengan laptopnya.
Fian selalu panas hati mendengar respon Dani. Dani memang realis sekali. "Kita kuliah di kampus ini, bagaimana bisa tergantung kita?" Arman tertawa dalam hati.
"Kalau saya sih, jalani aja. Kalau ada yang bisa dinikmati, ya dinikmati."
"Menikmati apa?"
"Kecantikan wajah Bu Rahma. Hahahahahaaa..."
Kali ini Arman tidak bisa menahan tawa.
***
Suatu hari Fian menjadi pembicara di acara pelatihan yang diadakan salah satu organisasi di kampus. Mungkin karena dia suka mengkritik, makanya digemari para mahasiswa. Berikut ceramah dia.
Beberapa bulan lalu saya ditawari buku bagus oleh rekan kerja, yakni buku berjudul "Tinggalkan Sekolah Sebelum Terlambat". Hehe... Terus, bagaimana nasib para guru? Ada-ada saja. Banyak juga saya lihat kekaguman-kekaguman mahasiswa terhadap orang-orang sukses yang DO dari sekolah atau kampus. Bahkan ada yang kabur dari rumah.
Aneh-aneh saja.
Ada seorang blogger yang mengkritik kekaguman mereka. Kata beliau dalam tulisannya (di postingan sebelumnya), "Benarkah mereka sukses karena DO?" begitu intinya.
Seorang pemuda pendiri penyedia blog Tumblr yang dibeli Yahoo senilai US$1,1 miliar, David Karp juga berhenti dari sekolahnya, bahkan atas izin orang tuanya. Tetapi dia tidak sukses begitu saja setelah DO. Dia berhenti sekolah karena butuh waktu untuk belajar.
"Belajar"
Satu kata itulah yang perlu kita cermati. Bukan karena sulit ngerjakan banyak tugas di kampus, terus mau DO agar segera sukses. Ini perlu dipertanyakan, ingin belajar lebih giat atau malas?
Tidak perlu panjang lebar. Ada lagi yang perlu kita pelajari.
"Apakah jika tangan atau anggota badan lainnya terkena penyakit, lalu mau kita amputasi? Benarkah keinginan semacam itu langsung muncul?"
Saya yakin jawabannya, "Tidak".
Pertanyaan lagi, ketika sudah hidup lebih besar, dari individu menjadi keluarga. Berarti diri sudah bukan satu, sudah bernama keluarga. Jika istri atau suami punya sifat buruk, mau langsung dibuang? Sebagian suami akan menjawab "iya", calon penggantinya banyak. hehehe...
Bagaimana jika anak atau orang tua yang mempunyai sifat buruk?
Seorang ibu yang sejati akan sulit untuk tidak menangis.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan negeri ini?
Apakah karena pejabat atau manusia-manusianya buruk, lalu kita tinggalkan saja negeri ini?
Masih ingat kisah seorang pembunuh yang membunuh 99 orang, kemudian dia membunuh seorang abid juga yang mengatakan bahwa dosanya tidak akan diampuni? Ia kemudian bertemu seorang alim. Orang alim inilah yang mengatakan bahwa dosanya akan diampuni, dan beliau menyarankannya untuk hijrah/pindah karena penghuni wilayah itu berperilaku buruk.
Akankah kita yang di Indonesia juga begitu? Karena sulit menjadi orang baik, lalu ingin meninggalkan negeri ini? Negeri ini kaya. Tapi kita miskin. hehehe... Salah siapa? Mau saling menyalahkan?
Kemudian, bagaimana dengan sekolah? Mau ditinggalkan juga?
Jawab sendiri.
Tapi saran saya, lebih baik mari semangat belajar. Belajar dan belajar. Sesuatu yang dilihat buruk, jika itu dalam tanggung jawab orang lain, berarti itu petunjuk bahwa kita sudah ditambah ilmunya. Bersyukur.
Belajar dan bersyukur.
Ingat film 3 ideot? Si Raju? "I just say 'Thank you'" katanya, karena Tuhan telah memberinya hidup.
Sebagian audien merasa tidak nyambung, sulit memahami materinya. Sebagian lagi merasa senang. Sebagian lainnya menganggap Fian tidak kompeten.
***
"Man, kamu lagi ngapain sih?" Tanya Dani.
"Mau tahu aja," jawabnya tanpa menoleh.
"Menurutmu, Bu Rahma mau nggak, sama aku?"
"Hahahahahahaaaa.... ngawur. Sikat aja."
"Apanya yang disikat?"
"Anunya. Hahahahahaaa..."
"Aku ingin bisnis. Siapa tahu bisa sukses, kan bisa melamar Bu Rahma."
"Hahahahaa.... kebelet nikah ni. Mau kamu sama janda?"
"Kalau cantiknya kayak itu, punya cucu sekalipun, mau aku."
"Nawur, ngawur... hahahaha."
"Kemana Fian?"
"Tidak tahu, brorasi paling."
"Hahahaa... Hidup kok kerjaannya mengeluh."
"Itu namanya orang cerdas, Dan."
Belum ada Komentar untuk "Tinggalkan Saja Indonesia, Mahasiswa Bersuara"
Posting Komentar