Bukan Cinta Buta
Rabu, 05 Juni 2013
Tambah Komentar
______________
______________

Jam menunjukkan 23.30, mataku mulai perih, tapi aku masih enggan beranjak mendekati ranjang. Aku masih fokus pada laptop di depanku. Tiba-tiba ponsel berdering.
Marcell is calling ....
Apa yang harus kulakukan? Menjawab, atau mengabaikan? Tanpa sadar jempolku menggeser ke arah kanan. Ya, aku menjawabnya. Ah, aku paling tak bisa menahan diri untuk menyepelekan panggilanmu.
"Hm ...."
"Hai ... cewek aneh!" Sapaan khas darimu itu terdengar meriah.
"Brisik!"
"Wakakaka ...." Kau selalu saja menertawaiku tanpa sebab.
"Oppo Vivo?"
"Wakakaka ...."
"Apaan?"
"Lu beneran kaga punya perasaan apa-apa ama gue?"
"Insyaf lu kapan, Paijo?"
"Wakakak ...."
"Wokokoko ...."
"Wakakaka ...."
"Ketawa aja terus ampe geraham lu patah."
"Wakakak ... dasar cewek aneh!"
"Makasih, thank's for the sweetest title."
"Wakakaka ...."
"Gue matiin nih kalo lu cuma mo jual gigi," gertakku.
"Jangan!"
"Apaan nelpon malem-malem? Mo ngabisin kuota gratisan?"
"Wakakaka ...."
"Iiihhh ...."
"Once again I ask you, please jawab sejujurnya." Nadamu terdengar serius.
"Lu salah minum obat, apa bijimane?"
"Say love, please!"
"Kagak!" Selalu aku mengelak.
"Sure?"
"Beud."
"Syukurlah."
"Apaan coba?"
Hening sejenak.
"Gue lolos LPDP."
Deg!!!
Bagai belati tajam mencungkil hati tanpa ampun, mengeluarkan paksa dari tempatnya. Sakit sekali. Aku tak siap mendengar itu, sungguh aku tak siap melewati hari tanpamu. Tanpa basa-basi kumatikan telepon secara sepihak. Kuharap kau tak mendengar isak tangisku.
Mendengarmu lolos seleksi LPDP ke Australia, sebagai sahabat seharusnya aku bahagia, bangga, dan mengapresiasi, bukan? Lalu dengan gemetar kutulis sesuatu untukmu, memastikan bahwa aku baik-baik saja.
"Maaf, barusan batre low, bukan batre gue. Btw, selamat ya! I proud of you. Wish you all the best, pokoknya. Terus, moga di sana nanti lu dapet cewek cantik, baik en kaga aneh. Kasian lu kalo terlalu menjiwai kejombloannya, hehehe ...." Kukirim pesan WA itu dengan deraian air mata, menahan sesak yang kian nyata.
Dulu, kau bilang aku aneh. Menurutmu, kebiasaan dan kata-kataku anti mainstream. Kau selalu menertawai setiap ucapan yang keluar dari mulutku. Aku risih, seharusnya kau bilang aku lucu dan menyenangkan, iya kan?
Ah ... sekarang aku malah kecanduan dibilang aneh olehmu. Kau terlampau sering menyematkan panggilan itu, hingga aku merasa nyaman. Kemudian menyadari antara kita ada cinta yang tumbuh dengan sendirinya.
Kita sahabat, selamanya sahabat. Terlalu tegas perbedaan di antara kita. Bukannya aku tak mau membalas cinta yang kau tunjukkan. Namun, aku menjaga kemungkinan yang lebih sakit jika kita memaksakan.
"Dasar gak peka!" Begitu katamu.
Kau pikir aku boneka yang tak punya perasaan? Aku tahu, sungguh aku mengerti maksudmu. Namun, sekali lagi, hatiku tak mau membiarkan cinta buta, yang pada akhirnya akan lebih sakit karena tak dapat memilikimu.
Kuharap kita tetap bisa bersahabat. Aku akan mencoba melepas semua tentangmu, meski itu tak mudah. Karena sebentar lagi aku akan menikah dengan pilihan orang tuaku. Dia Muslim dan se-suku denganku.
Baca juga: Kau Gerimis Menghapus Kemarau
Belum ada Komentar untuk "Bukan Cinta Buta"
Posting Komentar