Ujian Nasional Generasi 2013
Sabtu, 27 April 2013
Tambah Komentar
______________
______________
Generasi kita sedang diuji. Tidak hanya berupa ujian nacional/UNAS, tapi mental mereka juga. Saya yakin, mereka bukan tidak memikirkan tentang masa depan mereka. Mereka juga punya rasa khawatir tentang masa depan, bahagiakah atau kurang bahagia? Mereka butuh bimbingan, butuh teman untuk belajar menjalani hidup, belajar hidup yang lebih baik.
Ada beberapa berita tidak enak menimpa lingkungan hidup generasi kita yang bernama "Sekolah". Beberapa waktu lalu, ada berita beberapa generasi tingkat SMA tidak bisa mengikuti UNAS karena tidak ada soal. Kompas.com memberitakan bahwa penundaan terjadi di 11 propinsi (Sabtu, 27 April 2013). Komisi X DPR mendesak Mendikbud meninjau kembali PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Banyak lagi berita-berita terkait dunia generasi kita.
Generasi yang lebih muda, yakni siswa-siswi SMP dan setingkatnya, sedikit dihibur bahwa kejadian tersebut tidak akan terjadi lagi. Ternyata, kita semua sudah menyaksikan sendiri. Bahan isu kebocoran soal pun menyeruak. Bahkan ada isu jual-beli kunci jawaban soal UN.
Saya tidak hendak mengkritik pemerintah dengan tulisan ini. Bagi saya, yang tua ibarat pohon tua yang di bawahnya hidup ribuan/jutaan bibit muda. Bila terlalu memikirkan yang tua, bisa jadi yang muda terinjak-injak. Dari dulu sudah banyak yang mengkritik, toh sampai sekarang tetap begitu.
Coba bayangkan, bagaimana perasaan generasi kita ketika diingatkan oleh guru-gurunya bahwa Ujian kelulusan sudah dekat?
ketika mengikuti bimbel yang tidak gratis agar sukses mengikuti UNAS? Mereka meninggalkan hobi mereka.
ketika menyaksikan pendahulunya yang sukses UNAS ternyata menganggur?
ketika pelaksanaan UNAS sudah tinggal sehari lagi, atau bahkan sedetik lagi?
ketika mengerjakan soal-soal UNAS?
Mereka yang merasa bisa, mungkin sudah berbangga, mungkin sudah merasa menang. Tetapi, mungkin mereka khawatir lagi karena, bisa jadi, karena adanya masalah, UNAS diulang. Atau kecewa ketika membaca berita bahwa pak menteri didesak untuk meluluskan semua peserta UN; karena berarti, yang ikut bimbel atau yang tidak, sama saja.
Bila kita pikir, untuk apa sebenarnya generasi kita belajar?
Untuk siapa sebenarnya program pendidikan dibuat?
Dan untuk apa sebenarnya UN?
Saya ingin mengutip pidato seorang siswi lulusan terbaik di Amerika, Erica Goldson, 25 Juni 2010. Berikut sedikit kutipannya:
... ... ...Saya tekankan bahwa saya ini seorang manusia, seorang pemikir, seorang petualang – bukan seorang pekerja. Pekerja adalah seseorang yang terjebak di dalam pengulangan – budak dari sistem yang dibuatkan untuknya. Tapi kini, saya sudah berhasil menunjukkan bahwa saya adalah budak yang terbaik. Saya sudah melakukan apa yang diminta sebaik mungkin. Di saat yang lain duduk di kelas, mencoret-coret di kertas dan akhirnnya menjadi seniman besar, saya duduk di kelas, mencatat dan menjadi seorang peserta ujian yang hebat. Di saat yang lain datang ke kelas tanpa menyelesaikan pekerjaan rumahnya gara-gara sibuk membaca apa yang menjadi ketertarikan mereka, saya selalu mengerjakan semua tugas yang diberikan. Di saat yang lainnya menggubah musik dan menulis lirik, saya memutuskan untuk mengambil kredit pelajaran tambahan walaupun saya tidak membutuhkannya. Saya jadi berfikir, kenapa saya sampai mau ada di posisi ini? Ya, saya pantas mendapatkannya, tapi terus apa? Saat yang meninggalkan institusi pendidikan, akankah saya berhasil atau tersesat selamanya? Saya tidak tahu harus berbuat apa dengan hidup saya; saya tidak punya minat apapun, karena saya menganggap setiap mata pelajaran sebagai pekerjaan, dan saya unggul dalam setiap pelajaran semata karena hanya ingin unggul, bukan karena ingin belajar. Dan jujur, saya sekarang ketakutan. Selengkapnya
Entah berita tersebut benar atau tidak. Tetapi saya sepakat dengan yang dikatakan Goldson.
Seharusnya yang tua tidak mudah mengatakan, "kalau kamu begini, kamu akan begini jadinya. kalau tidak begitu, kamu tidak akan begini atau begitu, dan semacamnya." Itu berarti bahwa yang tua selalu benar, dan kata-kata yang tua berarti surga. Sementara kata-kata yang muda adalah neraka. Seolah-olah demikian maksudnya. Yang muda tidak akan hidup di jaman yang tua. Mereka akan hidup dijamannya. Apakah dengan kemampuan menjawab soal-soal UNAS, mereka sudah menjadi manusia yang berkualitas seutuhnya? Saya yakin, dalam diamnya, mereka berdoa pada Tuhan-nya, meminta agar ia berhasil di bidang yang ia minati, bukan bidang yang dipaksakan. Toh, sampai saat ini, belum pernah saya dengar berita orang yang ahli di semua bidang ilmu.
Mereka dipaksa meninggalkan yang mereka minati dan dipaksa mengikuti yang dibuat oleh yang tua. Tetapi jika mereka gagal: gagal mengikuti konsep yang tua, dan kehilangan yang diminati, apa kata yang tua?
Apalagi terjadi insiden semacam ini. Siapakah yang mau tertawa?
Dari pengalaman saya. Seolah-olah, apabila mengutamakan minat pribadinya, siswa tidak akan menjadi manusia yang lebih baik? Hal-hal yang baik di jaman yang tua, belum tentu tetap baik di jaman yang muda. Baik di sini, belum tentu baik di sana. Teringat lirik puisi almarhum W.s Rendra dalam puisi pertemuan mahasiswa UI 1977, "... Orang berkata, 'Kita punya maksud baik', dan kami bertanya, 'Maksud baik saudara untuk siapa?'...".
Wahai yang tua, ketika kalian mengatakan atau memberikan sesuatu yang menurut kalian baik pada generasi, apakah itu benar-benar pemberian? Ataukah itu wujud usaha pemenuhan nafsu kalian untuk memaksa generasi meniru cara hidup kalian (Dengan kata lain, untuk menunjukkan bahwa kalianlah yang terbaik), begitukah? Dan yang kemudian tidak pernah baik?
Mungkin generasi kita ingin menyampaian pada yang tua, "Bolehkah kami memilih?" tetapi jiwa mereka sudah terlanjur dipenuhi ketakutan.
Belum ada Komentar untuk "Ujian Nasional Generasi 2013"
Posting Komentar