Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

BAB 15: Jalan Sukses

______________
______________

BAB 15: Jalan Sukses

Bab 13 dan 14

Siang ini Rian main ke stand jualannya Andi di alun-alun. “Bagaimana kuliahmu?” tanya Andi. Ia ingin tahu dari teman sendiri seperti apa dunia kampus.

“Alhamdulillah lancar, cuma belum nampak jalan suksesnya.”

“Maksudmu?”

“Aku masih belum tahu caranya agar sukses di bidangku ini, persaingannya ketat. Kamu sendiri?”

“Ya, beginilah,” jawab Andi, tampak kurang semangat. “Jadi malu sama istri. Kayak numpang sama istri.” Kebetulan lagi tidak ada pembeli, tidak malu cerita hal privasi.

“Tapi, kamu kan kerja, ikut jalankan bisnisnya?”

“Iya sih, tapi kan… Seharusnya suami itu memberi… Ini kebalik, istri yang banyak memberi karena dia lebih sukses.”

Rian merasa agak tersindir. Memang benar kata Andi. Malu jadi lelaki kalau menerima pemberian dari seorang perempuan. Rian sendiri lebih parah, malah kuliahnya dibiayai istri. Sedang bisnis yang diurusnya belum berkembang. “Aku juga ingin sekali cepat sukses.”

“Kayak terhina jadi suami, kalau kayak gini.”

“Tapi istrimu sayang kan sama kamu?”

“Sayang sih iya, sayang banget malah. Cuma… ya harga diri laki-laki itu kan tangan di atas.”

“Aku juga ngurus bisnis tanaman itu,” kata Rian. “Tapi, jujur aku lebih fokus pada kuliahku. Menurutku lebih meyakinkan. Udah banyak senior yang sukses, tapi memang butuh kerja keras.”

“Itu nanti kerja di perusahaan atau bisnis?”

“Kebanyakan bisnis sih, tapi ada juga yang kerja di perusahaan.”

“Diajari bisnis juga sama dosennya?”

“Tidak. Kebanyakan belajar mandiri. Belajar-belajar di online gitu.”

“Berarti tidak semuanya di kelas?”

“Tidak. Malah lebih banyak dapat di luaran ilmunya.”

Pikir Andi, berarti tidak harus kuliah kalau begitu. “Berarti kamu banyak baca di online?”

“Iya, nonton video di YouTube juga. Makanya aku sering di wifi.id corner. Di kampus lemot.”

“Berarti kampus cuma semacam lembaga untuk dapat legalitas aja ya?”

“Iya. Kalau ke perusahaan kan butuh ijazah. Kamu gimana rencana ke depan?”

“Aku jadi lebih condong bisnis, kalau bisa semacam warung makan, atau restoran. Hehe… Tapi aku masih buta urusan begitu itu. Jualan kayak gini, dikit banget dapatnya. Sebenarnya istriku tidak nyuruh aku jaga stand, tapi aku tidak enak kalau di rumah saja.”

“Coba gabung-gabung grup bisnis online, siapa tahu dapat pencerahan.”

“Bu Rahma tidak pernah cerita, gimana bisa sukses?”

“Kalau strategi bisnis, tidak pernah cerita sih. Cuma sering nyaranin aku baca sholawat sebanyak-banyaknya, katanya biar sukses.”

“Kamu baca?”

“Jarang-jarang.”

“Sholawat yang bikin kaya ya? Aku pernah diajari dulu, katanya harus dapat ijazah.”

“Beliau dapat ijazah dari guru spiritualnya.”

“Boleh juga itu. Siapa tahu. Coba ajak aku kalau mau ke sana.”

“Kamu tertarik?”

“Siapa tahu jadi jalan sukses.”

***

Hari Ahad pagi Andi dan istri bersama Rian dan istri ke kediaman Kyai Sakir. Mereka mengendarai mobil masing-masing. Sebenarnya yang punya hajat Andi, tapi Bu Rahma selalu ada yang ingin dicurhatkan pada beliau. Setibanya di sana, Bu Rahma di depan, langsung menuju ruang tamu yang biasanya.

“Sudah isi?” tanya Kyai Sakir pada Bu Rahma.

Bu Rahma tertawa mendengarnya. “Sudah tua, Kyai,” katanya sambil tertawa.

“Tapi tidur bareng kan?!”

Rian dan Bu Rahma saling pandang sejenak. “Tidak, Kyai,” kata Bu Rahma.

“Loh…!! Istri itu wajib melayani suami,” kata Kyai Sakir. “Dosa kalau tidak menjalankannya. Suami juga tidak boleh nganggurin istri.”

Bu Rahma tertawa. Lalu menunduk malu. Jadi bingung kalau begini. Elin kaget mendengarnya, rupanya mereka belum pernah tidur bersama meskipun sudah menikah. “Ini kyai,” kata Bu Rahma kemudian. “Mas ini mau minta ijazah sholawat,” beliau niat mengalihkan topik agar tidak terus bahas soal rumah tangganya dengan Rian.

“Ow… Apa usahanya?” tanya beliau pada Andi.

“Dagang, Kyai.”

Beliau mengijazahkan sholawat jibril. “Minimal 1000 kali sehari,” kata beliau. “Sholawat itu, meskipun membacanya tidak ikhlas, tidak khusuk, bahkan niat riya’ atau pamer sekalipun, tetap dapat pahala. Ibadah lain, kalau riya’, tidak dapat pahala.”

“Qobiltu,” Andi terima ijazahnya. “Insya Allah saya istiqomahkan, Kyai.”

“Ini sudah merasakan manfaatnya,” kata beliau menunjuk Bu Rahma. “Banyak sedekah juga. Orang yang banyak melakukan amalan ibadah sunnah itu jadi dekat dengan Allah dan semakin dicintai Allah. Kalau sudah dicintai Allah, apapun yang kita inginkan, mudah dikabulkan.”

***

Tiba di rumah Rian sekitar jam 10 pagi. Bu Rahma mengajak bicara Rian. Rian paham apa yang hendak dibicarakan. Mereka duduk berhadapan. “Kalau kamu mau… Saya siap, Rian. Sudah jadi kewajiban saya.” Berat sebenarnya, tapi sudah terlanjur sah. Pikir beliau, kalau memang tidak baik, biasanya sang guru spiritual tidak akan mendukungnya. Tetapi, jujur Bu Rahma merasa aneh.

Rian memandang Bu Rahma. Terpaksa harus ia pandang sebagai istri, dirinya harus bersikap sebagai seorang suami. Pikir Rian, mungkin beliau sebagai istri ingin melakukannya. Mungkin selama ini beliau malu untuk mengatakannya? Karena sekarang sudah menawarkan, boleh dicoba. “Di kamar,” kata Rian.

“Ayo.”

Mereka pun ke kamar untuk memadu cinta. Pintu ditutup. Keduanya saling pandang, aneh rasanya. Rian jadi bingung. Pikirnya tak patut.Tetapi, Bu Rahma sudah menyatakan siap. Untuk pertama kalinya Rian dekatkah wajah dan mencium pipi istrinya.

Akhirnya, terjadi juga.

Bu Rahma dan Rian segera mandi untuk melaksanakan sholat dzuhur berjamaah. Bu Rahma agak lama mandinya. Pikirannya campur aduk: senang, merasa aneh, bahkan sedikit merasa hina. Rian agak heran karena istrinya lama sekali mandi. Bu Rahma merasa perlu menyiram-nyiram tubuhnya dengan air sebanyak-banyaknya agar lenyap pikiran yang campur aduk tak menentu.

BAB 16: Motivasi Sukses Motivator

Malam ini ada yang beda. Rian jadi ingin serumah dengan Bu Rahma. Rupanya pengalaman tadi pagi begitu indah baginya. Tidak disangka begitu indahnya. Seakan hilang rasa hormatnya dan rasa canggungnya. Sedang di sana, di kamarnya Bu Rahma duduk termenung, mengingat peristiwa tadi pagi, juga teringat mantan suaminya dulu. Dunia seakan berubah, bahkan seakan dirinya yang dulu sudah hilang.

Andi di sana juga belum tidur. Dia memandangi wajah istrinya yang sudah tertidur. Cantikya. Wanita baik yang sayang pada dirinya. Andi mencoba buka-buka YouTube sambil menggunakan headset biar tidak mengganggu istrinya. Mencoba nonton video motivasi bisnis. Dia juga sudah bergabung dengan beberapa grup pengusaha muda, meskipun banyak postingan sampah, tapi ada juga yang bermanfaat.

“Modal utama untuk memulai usaha itu bukan uang, tapi mental,” kata sang motivator di video yang Andi tonton. “Jika mental, jika mindsetnya belum dibangun, mau modal berapa juta pun tak akan berguna.” Andi mencoba mencerna, apa maksudnya. Pikirnya, memang mental dibangun bagaimana?

“Contoh mental buruk yang menghambat kesuksesan adalah mental taker, mental peminta,” lanjut sang motivator. “Kenapa? Kalau saya tanya, adakah di sini yang merasa senang jika setiap hari saya mintai uang? Walaupun hanya seribu rupiah?” Audien tertawa. “Pebisnis itu harus disukai banyak orang, jualan apapun, kalau tidak disukai orang, siapa yang mau beli. Jadi pemimpin pun sama, jika tidak disukai, akan diancam oleh anak buahnya.” Andi tertawa. Benar juga ya. “Memberi itu tidak harus berupa barang, intinya, kita menjadi orang yang selalu ingin orang lain bahagia. Jiwa, karakter seperti ini akan membuat diri kita tampak mempesona. Buat diri kita jadi orang yang selalu diingat orang.”

Pikir Andi, memang benar. Orang baik itu selalu jadi bahan cerita. Andi mencoba mencari-cari ide terkait dirinya yang jualan es buah. Apa yang bisa ia lakukan agar bisa selalu diingat orang?

“Contoh, ada seorang karyawan yang setiap pagi dan sore selalu mengucap salam pada satpam. Satpam tersebut pun selalu menjawabnya. Ini hal sepele. Suatu ketika, saat semua karyawan sudah pulang, sang satpam merasa ada yang kurang. Ia ingat-ingat, akhirnya ia teringat, belum ada yang mengucap salam. Satpam tersebut pun yakin karyawan itu masih di dalam dan mungkin sedang dalam masalah. Sang satpam pun mencarinya. Benar, ia menemukannya sedang terkunci di dalam ruang pendingin daging.” Andi geleng-geleng kepala. “Kebiasaan yang tampak sepele, tapi telah menyelamatkan nyawanya.”

Menarik sekali. Belum pernah ia dapatkan ilmu semacam ini sebelumnya. Pikirnya, berarti yang bikin sukses bukan bisnis yang kita jalankan, tapi kepribadian kita. Kita harus menjadi sosok yang istimewa bagi orang lain.

Di kamarnya Rian tidak bisa tidur. Dia terbayang istrinya terus. Tak sabar ingin segera pagi, ingin bertemu istrinya lagi. Sudah sah, pikirnya. Sepertinya hilang sudah rasa canggungnya. Rian benar-benar merasa sebagai pengantin baru malam ini.

***

Pagi ini Andi mencoba membuat poster, akan ia tempel di gerobaknya biar dilihat oleh pembeli. Ia membuat poster gambar animasi tersenyum dan kata-kata bijak. Pikirnya, hal tersebut akan menjadi pengingat, akan membuat pelanggan es buahnya ingat dirinya. "Sarapan, Mas," ajak istrinya. Andi jadi teringat, berarti dirinya harus sering melakukan hal istimewa di rumah agar istrinya selalu mengingatnya. Romantisnya. Sebelum duduk di meja makan, ia sempatkan kecup pipi istrinya. Elin tersenyum.

Di kampus Rian tidak bisa konsentrasi. Dia ke perpustakaan, tapi hanya muter-muter saja memandangi buku-buku di rak. Pikirannya ingin segera bertemu istrinya terus. Padahal hari ini ada tugas yang harus diselesaikan. Tugas kelompok sebenarnya. Ada WA dari Leo, "Ke kontrakan," katanya. Dia memang satu kelompok dengan Leo. Rian pun ke sana.

Saat duduk sambil lihat TV, Rian mendengar suara cewek di dalam kamar. Dirinya paham, pasti ada yang bawa cewek bispak alias bisa pakai atau pacarnya. "Kalau mau, ada cewek, dua," kata Leo. Sebagai lelaki normal, tertarik juga sebenarnya, tapi sudah punya istri, mending sama yang halal.

Di alun-alun, sambil jualan, Andi lanjut mencari-cari video motivasi. "Kita harus mempunyai gambaran yang jelas tentang masa depan," kata sang motivator. "Misal, anda bilang saya ingin sukses. Apa itu sukses? Seperti apa sukses? Tidak jelas gambarannya." Wah, ini menarik juga. "Masa depan harus anda definisikan. Contoh, 10 tahun lagi aku harus mempunyai warung makan, bangunannya berukuran 8x9 meter persegi, karyawannya dua, penghasilannya 20 juta per bulan. Jelas kan? Sehingga, kita akan melangkah dengan pasti dan fokus. Jika target tersebut adalah 10 tahun lagi, berarti 5 tahun lagi harus seperti apa? 3 tahun lagi harus seperti apa? enam bulan lagi harus seperti apa? Sekarang saya harus bagaimana? Tulis semua, buat perencanaan dengan target yang jelas."

Andi jadi sadar, hingga saat ini dirinya belum punya gambaran yang jelas harus seperti apa masa depannya. Semuanya masih mengalir apa adanya dan tanpa target yang jelas. Hanya sholawat yang ia baca seperti yang dianjurkan oleh Kyai Sakir. Lumayan efeknya, pikiran jadi tenang dan lebih semangat. Andi jadi ketagihan nonton video motivasi.

***

Sehabis dzuhur Rian pulang. Ia berharap istrinya sudah ada di rumahnya. Rupanya benar. Bu Rahma sudah menunggunya. Hari ini Rian sudah beda. Dia langsung menghampiri istrinya. Bu Rahma kaget mau apa dia. Rian mendekatkan wajahnya dan menciumnya. Karena sudah sebagai istri, Bu Rahma diam saja meskipun rasanya aneh, tak patut, tapi sudah jadi kewajiban istri. "Ayo ke kamar," ajak Rian. Bu Rahma kaget. Pikir beliau, kok jadi berani? Tapi... Sebagai istri, ya, mau saja.

Dunia jadi begitu indah.

Adzan ashar berkumandang. Rian terbangun. Ia bangunkan istrinya untuk sholat berjamaah. Rian tersenyum padanya. Bu Rahma membalas senyumnya. Tak pernah terpikir sebelumnya akan sejauh ini. Rasanya sudah terlanjur tenggelam. "Kamu belum makan siang?" tanya Bu Rahma.

"Nanti saja, habis sholat," jawab Rian. sampai lupa yang mau makan siang.

BAB 17: Tugas Kuliah Bikin Stres

Belum ada Komentar untuk "BAB 15: Jalan Sukses"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel