Featured post

Ketika Wanita Pendosa Iri Pada Muslimah Taat

Cukup menarik. Saya perlu menuliskannya web ini. Tidak sengaja saya menemukan video ini disarankan YouTube. Bisa ditonton selengkapnya di Yo...

Ibu Mertua Cantik

______________
______________

Ibu Mertua Cantik

BAB 1 : Cerita Pengantin Baru

“Aku berangkat dulu,” kata Mak Sari, pamit berangkat ke sawah, nguli.

“Bawa bekal, Mak?” tanya Wina dari ruang tamu.

Mak Sari yang sudah ada di depan ruah menghentikan langkahnya, membuka tutup timba yang dipegangnya dan mengambil bungkusan, ditunjukkan pada Wina. “Ini, nasi sisa tadi malam,” katanya.

“Tidak bau?”

“Masih enak,” katanya, lalu pergi.

Wina duduk di samping suaminya. Masih agak canggung, baru tiga hari jadi istri. Mau mandang wajahnya saja, masih canggung. Begitulah kalau langsung nikah. Di luar sudah mulai sepi, orang-orang sudah berangkat ke sawah, ada yang bekerja, ada yang hanya lihat-lihat tanamannya, ada yang mencari rumput pakan ternak. Hanya ada sebagian ibu-ibu yang tidak bekerja bersantai di rumah.

“Sepi ya?” kata Salam.

Sebenarnya di desa dia juga sama, cuma basa basi aja biar ada yang diobrolin sama istrinya.

“Ya, kayak gini di sini.”

Umumnya pengantin baru tidak ikut kerja, bersenang-senang dulu di rumah, biasanya mereka baru bekerja kalau sudah dua minggu atau sebulan kemudian. Biasanya juga kadang ada tamu juga. “Di kamar yuk,” ajak Salam.

Wina jadi bingung. Dia bertanya-tanya dalam hati, ngapain pagi-pagi di kamar? Pikirnya. Dia memandang suaminya sejenak, “Ayo,” ia nurut saja. Salam berangkat duluan ke kamar, Wina mengikuti. “Mau ngapain?” tanya Wina.

Salam tertawa. “Mumpung lagi sepi,” katanya sambil menarik Wina ke pangkuannya. Wina pasrah saja. Lagian pahalanya juga besar.

“Assalamualaikum…!” sepertinya ada tamu.

Tanggung banget. Cepat-cepat keduanya beres-beres dan segera menjawab salam, lalu keluar. Rupanya Bu Sutini, Bu De-nya Wina. Untung tidak langsung masuk, biasanya orang-orang kalau bertamu langsung masuk. Tadi Salam lupa tidak menutup pintu kamar. “Mau ngembalikan piring,” kata Bu Sutini. “Kemarin pinjam ke makmu. Sudah berangkat ke sawah ya?”

“Sudah tadi, Bu De.”

“Ya, sudah. Saya juga mau ke sawah.”

Dari ruang depan Wina melihat Bu Dini sedang duduk sendiri di teras rumahnya. Rumahnya berada di sebelah rumah Bu De-nya, rumah Bu De-nya berhadapan dengan rumah Wina. Biasanya ia temani ngobrol kalau ada tetangga lagi sendirian. Tapi, kali ini waktunya tidak tepat. Ia ajak Salam ke kamar lagi, biar tuntas.

Leni, teman akrab Wina, mau ke rumah Weni. “Mau kemana?” sapa Bu Dini.

Ia pun menghentikan langkahnya. “Ini,” katanya menunjuk rumah Weni. “Ada kan ya?”

“Tadi ada. Di dalam paling.”

Leni melihat ruang depan Wina, kacanya tembus pandang, tapi tak kelihatan ada orang. “Sama suaminya ya?”

“Iya, pengantin baru.”

“Siah…!! Pagi-pagi…!!” katanya. Leni jadi tak berani langsung ke rumah Wina. Ia duduk menemani Bu Dini di terasnya.

“Kamu masih jualan?”

“Iya. Kalau tidak jualan, dapat uang dari mana? Suami sudah diambil orang.”

“Sudah resmi cerai?”

“Belum. Ribet ngurusnya. Saya sibuk cari uang.”

“Nggak segera diurus aja, biar cepet nikah lagi.”

“Waduh, mau bisnis aja dulu, males mikir lelaki.”

“Masih muda, sudah bilang gitu.”

“Kalau kepingin, ya numpang tetangga… Hahahahahahaa….!!” candanya. Dia memang suka bercanda. Makanya dagangannya lumayan laris, orang suka sama candaannya.

“Ngawur….!!”

“Kadang mikir itu juga, tapi pikiran tak alihkan ke bisnis aja.”

“Jualan apa aja, Kamu?”

“Macem-macem, Buk. Kue, pakaian, sekarang nambah obat kuat itu. Sampeyan kalau mau pesan, buat Mas Suami.”

Bu Dini tertawa. “Tidak minum kayak gitu aja udah kualahan,” katanya. “Pengantin baru tu tawarin.”

“Iya, ntar lagi. Kok lama ya?”

“Mmm... Masih muda. Tunggu aja, ntar lagi keluar.”

“Coba tak lihat aja.”

Ia coba ke depan rumah Wina. Dilihatnya Wina sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk. Leni tertawa. Ia langsung membuka pintu dan masuk. “Keramas lagi,” katanya.

Wina tertawa saja. “Makanya, segera cari lagi kamu.”

“Hahahahaa... Happy happy aja dulu,” katanya sambil duduk di kursi.

“Dari mana kamu, Len?”

“Nggak ada, jalan-jalan aja. Eh, aku jualan obat kuat tu. Biar tambah jreng suaminya.”

Wina menghampirinya dan duduk di kursi, berhadapan dengan Leni. Salam baru saja selesai mandi. “Berapa kali sehari?” tanya Leni, agak berbisik karena ada suaminya Wina.

“Mau tahu aja,” sahut Wina. “Kamu tidak cari lagi?”

“Ada yang ngelamar kapan hari. Tapi, kayaknya orangnya suka ngatur-ngatur. Aku tidak mau ribet. Mending bisnis.”

“Namanya orang bersuami, harus patuh,” kata Wina.

“Alah... ribet! Aku ingin yang bebas. Yang penting tidur bareng aja. Siang cari uang, biar kaya.”

“Laris jualanmu?”

“Lumayan. Eh, aku lihat di sawahmu banyak kangkung liar ya?”

“Iya, banyak.”

“Tak ambil ya, setimba aja. Mau ada saudara, anaknya suka kangkung.”

“Ambil aja, tidak apa-apa.”

“Mak Sari ada di sawah?”

“Tidak. Kerja di sawahnya Bu Haji Hamidah sekarang.”

“Ow. Ya sudah, tak ambil.” Ia bangkit dari duduknya. “Lanjut lagi dah,” katanya sambil tertawa, sebelum pergi.

Wina tertawa. “Ngawur kamu.”

BAB 2 : Sang Pengantin Baru Mulai Kerja

“Sampeyan diajak kerja sama Mas Fandi,” kata Wina sama Salam.

Salam senang ada yang ngajaknya kerja. Hidup di desa harus pintar-pintar memanfaatkan peluang, tidak ada pekerjaan tetap. Di kampungnya dia sudah biasa kerja di sawah orang. Kali ini dia bekerja dengan orang-orang baru. “Suaminya Wina,” kata salah seorang ibu-ibu, rekan kerja Salam saat berangkat kerja. Salam pun berkenalan dengan mereka semua.

“Saya kemarin diundang ke Prajekan,” kata Pak Sauqi. Dia seorang seniman hadrah, tapi jadi kuli juga. “Ada tamu undangan yang cannnnntik kayak artis,” katanya.

“Siah...!! Segitunya,” sahut Pak Razaq.

“Loh, benar. Saya penasaran, kayak siapa suaminya, eh, ternyata sudah tua.”

“Bisa tu, ditunggu jandanya.”

“Hahahahaa...”

Tak lama kemudian mereka tiba di sawah tempat mereka bekerja, milik Pak Haji Abdullah. Ada beliau di sana bersama istri.

“Bu haji ni tambah seksi aja,” kata Pak Hadi.

“Kayak burung kenari,” sahut Andi.

“Ah, kamu, kebanyakan main burung.”

Saat kerja pun mereka sambil ngobrol, katanya biar tidak terasa lelahnya.

“Buk Sulis pulang ke rumahnya, katanya,” kata Buk Nanik.

“Kenapa lagi?” tanya Bu Saudah. “Bulan lalu gitu, sering ngambek dia.”

“Tengkar sama Pak Rahman?” Pak Rahman dan Buk Sulis memang baru menikah tiga bulan lalu, mereka sudah sama-sama punya cucu sebenarnya.

“Kurang jamunya Pak Rahman itu,” kata Pak Sauqi. Yang lain tertawa. “Punya istri sehat kayak gitu, mesinnya tidak diberi tenaga.”

“Tahu dari mana kamu?” kata Buk Sindi. “Katanya dimarahin itu sama Pak Rahman. Terus pulang.”

“Alah...! Itu kan alasan saja,” sanggah Pak Sauqi. “Coba minum rebusan akar putri malu, bisa bunuh tujuh ratus orang kafir,” katanya.

“Kok sampek ke orang kafir?” Kata Buk Sindi.

“Kan gituan sekali, pahalanya sama dengan membunuh seratus orang kafir di medan perang.”

Rupanya Buk Sindi tidak tahu.

“Makanya, Buk, sampeyan sering-sering gitu, biar dapat banyak pahala.”

“Hahahahaa....”

“Orang berumah tangga ini banyak pahalanya,” tambah Pak Sauqi. “Megang tangan istri, berguguran dosa, apalagi istri mencium suami, pahala lagi.”

“Nah, Buk Sindi, gimana?!” kata Pak Hadi. “Langsung praktekkan nati.”

Salam memperhatikan Pak Haji dan Buk Haji yang duduk di gazebo. Walau sudah tua, Bu haji masih terlihat cantik. Begitulah kalau terawat. Senangnya jadi orang kaya kayak beliau. Tampak santai hidupnya. Sebenarnya dari dulu Salam ingin jadi orang kaya, tapi seperti tak ada jalan. Dulu pernah diajak dagang sama temannya. Tapi dia tidak berani, takut rugi. Sekarang, teman yang mengajaknya sudah punya mobil. Tapi, ada juga yang rugi, malah punya hutang.

“Laki loyo kayak gitu, kadang bikin istri selingkuh,” kata Buk Saudah, lanjut topik tentang Pak Rahman.

“Kalau Pak Angga bagaimana, Buk?” tanya Pak Hadi. Pak Angga suami Buk Saudah.

“Dulu Buk Ina itu kan pernah dekat-dekat Pak Angga,” katanya agak berbisik. “Langsung saya larang sering keluar dia,” katanya. “Laki kalau tidak digituin, bisa lepas.”

“Hahahahaa.... Disuruh di kamar terus?”

“Iya. Dari pada tidur sama bini orang. Biar sudah.”

“Sekarang Bu Ina katanya sama Bagus ya?”

“Iya. Banyak orang tahu.”

***

Wina menyambut suaminya yang baru pulang kerja dengan senyum. Terasa hilang lelahnya begitu sampai di rumah. Salam langsung makan, santai sejenak, lalu mandi. Mertuanya juga sudah datang. Kebanyakan para kuli tani pulangnya bersamaan. Salam mengajak Wina ke kamar dan menguncinya. Maklum, pengantin baru. Mak Sari melihatnya.

BAB 3: Leni Menikah Lagi

Belum ada Komentar untuk "Ibu Mertua Cantik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel