Dialog Cinta Antara Ashar dan Maghrib
Senin, 27 April 2020
Tambah Komentar
______________
______________

Cerpen ini merupakan Lanjutan dari Janda tak masalah asal cantik
Menanti Jodoh Terbaik Dari Allah
Rusmi mengajak Warda ke rumahnya sehabis sholat ashar agar Ari bisa bicara langsung. Ia turut bahagia jika mereka berjodoh. Warda biasa aja, ia tidak menduga kalau akan dikenalkan sama seorang pemuda. Dia memang sedang menanti jodoh terbaik dari Allah. Ari sama Taufiq duduk di ruang depan. Ari memandangi Warda yang terus mendekat, dalam hati ia berdoa untuk jodohnya. Warda langsung masuk dan duduk bersama mereka. Bahkan ia langsung mengambil kue yang ada di meja dan mencicipinya. "Tidak kemana-mana, Cowok-cowok ni?" tanyanya, becanda. "Udah pada punya pacar?"Taufiq tersenyum. "Teman saya mau kenalan sama Mbak Warda.”
Warda biasa aja, "Saya Warda," katanya. Santai sekali dia meresponnya sambil makan-makan.
Ari jadi grogi. Tanpa pemanasan Taufiq langsung bilang begitu. Ari tidak terlalu ceroboh, ia paham cara memilih jodoh menurut islam walau dia tidak pernah belajar di pesantren. Bahkan dia pernah membaca buku yang menjelaskan tentang tanda tanda jodoh menurut islam. Wah, apakah Ari sudah melihat tanda-tanda itu? "Mbak Warda bisa bahasa Arab," tanya Ari.
"Hahaha... Dulu lancar, sekarang sudah lupa," jawabnya sambil mengambil lagi kue di meja.
"Kalau baca kitab yang tidak ada harakatnya?"
"Masih."
Ari diam sejenak. "Mbak Warda single parent sekarang?"
Warda kaget. "Kok tanya itu?!"
"Yaaa... Siapa tahu jodoh."
Warda tertawa tapi ditutupi dengan telapak tangan kirinya. "Saya sudah tua. Orang mana sampean?"
"Orang sini juga, dekat dari sini."
"Ow... Sarjana kayak Taufiq juga?"
"Iya."
"Lagi cari jodoh, ceritanya?"
"Tidak juga sih. Tadi lihat sampean waktu nyambut tamu, terus tanya-tanya sama Taufiq."
Warda tertawa. "Terus?"
"Jodoh kan rahasia Allah. Jika memang jodoh, pasti jadi."
Warda menutupi wajahnya. "Malu aku." Ari menatapnya. "Sampean masih muda, lebih tua saya."
"Tapi tidak dilarang kan?"
"Sampean sarjana, kenapa tidak nyari gadis kota? Gadis kota cantik-cantik, gaul-gaul."
Anak kampung yang berpendidikan hingga SMA, apalagi sampai kuliah, biasanya sudah tidak mau melirik wanita yang tak berijazah, sekalipun bertahun-tahun belajar di pesantren. Wanita kampung tomatis tereliminasi tanpa istikharah jodoh. Sangat berbeda dengan zaman sebelum tahun 2000, santrilah yang mahal nilainya.
"Yang cantik dan gaul banyak, tapi yang berahlak seperti santri, jarang."
"Wah... Jadi ge-er."
"Orang kota, kebanyakan, mengedepankan akalnya. Semua diukur dengan logika. Jadi sering mengkhawatirkan masa depan dan sulit bersyukur.” Warda tersenyum dan berhenti ngemil. “Saya juga tumbuh dewasa dengan science, bukan ilmu agama. Dulu saya kira hidup akan bahagia dengan menguasai science. Ternyata, hidup tidak selalu sesuai dengan akal kita. Sukses karir, uang banyak, tapi hati tidak tentram." Warda tersenyum. Mungkin terasa aneh baginya ada pria lebih muda nembak dirinya. "Saya kagum dengan orang-orang pesantren yang saya kenal."
“Sampeyan umur berapa?”
“Tiga puluh empat.”
“Lebih tua saya dua tahun.”
“Cuma dua tahun kan.”
“Kenapa tidak mencari yang lebih muda saja?”
"Tapi Allah sudah mempertemukan dengan sampeyan."
Warda tertawa. "Yakin...?!"
"Saya khawatir jika menikah dengan gadis yang terlalu muda, khawatir dia tidak bahagia. saya sudah meninggalkan kebiasaan anak-anak muda modern. Saya sudah tidak mendengarkan musik, tidak tertarik lagi dengan hiburan-hiburan. Saya ingin hidup seperti santri."
"MaasyaaAllah."
"Saya ingin bisa bahasa Arab dan baca kitab dan menghafal Quran." Warda tersenyum. Sepertinya ia tidak menemukan kata-kata untuk menanggapinya. "Saya ingin hiasi rumah dengan lantunan Quran dan kitab-kitab ulamak. Wanita modern tidak tertarik dengan itu." Warda menghela nafas panjang. "Jika sampeyan tidak keberatan, saya lamar untuk saya jadikan istri."
>>>bersambung
Belum ada Komentar untuk "Dialog Cinta Antara Ashar dan Maghrib"
Posting Komentar